Allah Swt. telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya penciptaan untuk mencapai kesempurnaan agung dan mulia di hadapan-Nya. Hal ini dapat dibuktikan melalui firman-Nya yang berbunyi: “…. dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” (QS. Al-Isra: [17]: 70). Dalam argumentasi penciptaan (burhan-e fitrah) juga dijelaskan tujuan utama penciptaan manusia ialah menyempurnakan dirinya di realitas, sebagaimana ia diciptakan dalam keadaan sempurna dan hendaknya kembali dalam keadaan sempurna.
Namun untuk kembali dalam keadaan suci, manusia membutuhkan berbagai usaha dalam kehidupannya, sebagaimana diterangkan dalam surah Al-Isra ayat 84 yang artinya, “Katakanlah (Muhammad), setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing…” . Mengomentari ayat ini, para filsuf Muslim, seperti Syekh Israq dan Mulla Sadra memandang manusia dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan yang agung dan transendental melalui berbagai usaha penyucian diri. Artinya, kesempurnaan diberikan kepada mereka yang berusaha untuk mencapai kesempurnaan dirinya, bukan orang lain.
Berangkat dari wacana kesempurnaan di atas, Ayatullah Makarim Shirazi—salah satu filsuf dan mufasir alas Persia abad 21—menjelaskan, Allah swt. telah memerintahkan seluruh orang beriman dalam surah Al-Baqarah ayat 183 untuk berpuasa selama sebulan penuh untuk meningkatkan ketakwaannya di hadapan Allah swt. Ayatullah Makarim Shirazi menilai bahwa puasa di bulan Ramadan merupakan motivasi awal kepada setiap orang beriman untuk menyempurnakan dirinya yang ditandai dengan praktik atau usaha membersihkan dirinya, seperti ibadah di 3 malam Lailatul Qadar, berpuasa selama sebulan penuh, syahadah Sayyidina Ali, dan memperingati nuzul Al-Qur’an.
Berbagai peristiwa yang terjadi dalam bulan suci Ramadan dapat membantu seluruh orang beriman untuk mencapai kesempurnaan agung sebagai ciptaan terbaik di muka bumi, sebagaimana dalam surah At-Tin yang mengucapkan 3 kali kata sumpah pada 3 ayat pertama surah At-Tin untuk mendeskripsikan kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia di hadapan Allah swt.
Aktualitas dari berbagai proses ibadah pembersihan diri selama sebulan penuh, ialah Idulfitri. Makarim Shirazi memaknai kata id berarti kembali (boz gast). Sedangkan kata fitri, ialah permulaan dan penciptaan. Berdasarkan dua pemaknaan ini, ia menyimpulkan bahwa kembalinya manusia pada permulaan penciptaan dirinya yang bersifat suci dan sempurna. Adapun dalam analisa filosofis, Makarim Shirazi memandang makna dari idul fitri ialah proses kembalinya insan sebagai ciptaan yang sempurna di muka bumi sebagai makhluk ilahi.
Manusia secara eksistensi terbagi dua dimensi, yaitu fisik dan jiwa. Makarim Shirazi menyebutkan bahwa proses kembalinya kesucian dan pembersihan eksistensi manusia terjadi pada jiwa, bukan pada fisik manusia. Kesempurnaan jiwa akan mempengaruhi pengetahuan manusia untuk melakukan berbagai tindak dan perilaku kebaikan, seperti jujur, mengendalikan nafsu, dan menambah ketakwaan. Berbagai impak pengetahuan dan perilaku akan mempengaruhi kehidupan manusia untuk bertindak berdasarkan pada akhlak yang mulia tanpa dipengaruhi atau dikendalikan oleh hawa nafsunya. Akibatnya, manusia dapat meningkatkan eksistensinya sebagai ciptaan ilahi yang terus mengalami pergerakan kesempurnaan jiwa di realitas.
Lebih lanjut, Ayatullah Makarim Shirazi menambahkan bahwa manusia yang telah mengaktualkan berbagai ibadah pembersihan dan penyucian diri di Idulfitri diharapkan untuk terus menjaga kesempurnaan dirinya pascaperayaan Idulfitri, sebagaimana telah dijelaskan bahwa konsep Idulfitri dalam pandangan Makarim Shirazi sebagai motivasi awal bagi setiap manusia untuk menyempurnakan dirinya di realitas secara keberlanjutan. Kesempurnaan secara keberlanjutan selaras dengan fitrah manusia yang mengharapkan kesempurnaan abadi. Dengan demikian, dapat dipahami bersama bahwa falsafah Idulfitri Makarim Shirazi ialah motivasi awal manusia untuk menyempurnakan dirinya secara berkelanjutan.
Makarim Shirazi mempertegas konsep Idulfitri melalui hadis, “Setiap hari adalah Id bagi mereka yang tidak melakukan dosa. Hari Id adalah kembalinya manusia pada fitrah dan asalnya di hadapan Tuhan”. Dari hadis tersebut, Makarim Shirazi menyebutkan bahwa Idulfitri terjadi setiap hari bagi mereka yang tidak melakukan dosa di muka bumi sebagai ruang kesucian dirinya untuk kembali pada fitrah sebagai makhluk terbaik di atas makhluk lainnya.
Di satu sisi, Makarim Shirazi memandang bahwa Idulfitri dalam hadis tersebut mengaktualkan tujuan penciptaan manusia, ialah menyembah dan bertakwa di hadapan Allah swt. “Setiap hari adalah Id bagi mereka yang tidak melakukan dosa”, sebagaimana termaktub dalam surah Az-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi; “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyebah-Ku”.