Menebarkan Kebaikan: Tadabur Ayat Terakhir Surah Ad-Duha bersama Fakhruddin Ar-Razi

Fakhruddin Ar-Razi dilahirkan di kota Rayy, Iran. Bertepatan pada bulan Ramadhan 544 H. Ia merupakan salah satu tokoh muslim yang sangat berperngaruh pada era klasik. Fokus utamanya adalah sebagai seorang teolog beraliran asy’ariyyah dan mufasir Al-Qur’an.

Fakhruddin Ar-Razi memiliki karya monumental mengenai tafsir yang berjudul Mafatih al-Ghaib “kunci-kunci keghaiban”. Kitab tafsirnya tersebut dikenal sangat filosofis dan banyak menjadi rujukan hingga sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa dirinya memiliki keluwesen dalam berbagai bidang keilmuan.

Mafatih al-Ghaib juga memiliki nama lain yaitu Tafsir al-Kabir. Banyak daripada ahli tafsir menyatakan bahwa corak penafsiran yang dilakukan oleh Ar-Razi bersifat tahlili (analisis). Corak tersebut terlihat ketika Ar-Razi melakukan penafsiran atas suatu ayat yang sifatnya kauniah, maka pendekatan yang ia gunakan cenderung mengarah kepada argumen-argumen mutakalim dan filsuf. Sedangkan apabila ia menafsirkan ayat-ayat ahkam, maka pendekatan yang dilakukan menyesuaikan dengan argumen para imam mazhab.

Menyoroti ayat terakhir dalam surah Ad-Dhuha yang berbunyi “Wa amma bini’mati rabbika fahaddits” (Terhadap nikmat Tuhanmu, ceritakanlah/nyatakanlah [dengan bersyukur]). Ar-Razi menjelaskan bahwa kandungan ayat tersebut sangat penuh makna sehingga ia membaginya menjadi tiga penjelasan.

Pertama, yang dimaksud dari nikmat dalam ayat tersebut adalah Al-Qur’an, hal ini karena Al-Qur’an merupakan mukjizat dan warisan terbesar yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhamamd SAW. Menurutnya, bentuk mensyukuri nikmat tersebut dapat dilakukan dengan membaca dan merenungkan kandungan yang terdapat dalam Al-Qur’an itu sendiri.

Kedua, yang dimaksud dari nikmat dalam ayat tersebut adalah nubuwat atau diutusnya seorang Nabi. Tentunya Nabi dalam konteks ayat ini adalah Nabi Muhammad SAW yang memiliki visi besar yaitu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, cara mengaplikasikan nikmat tersebut adalah menghayati kehidupan Nabi Muhammad SAW dan menjadikannya sebagai suri tauladan teragung.

Baca Juga:  PERTAMA KALI TERJAGA TENTANG KESATUAN TRANSENDENTAL AGAMA-AGAMA

Ketiga, yang dimaksud nikmat pada ayat tersebut adalah terpenuhinya kebutuhan seseorang. Oleh karena itu, jika seseorang telah dipenuhi kebutuhannya oleh Allah, maka ia harus membagikannya kepada sesama, terkhusus mereka yang membutuhkan seperti pengemis dan anak yatim.

Dari ketiga hal di atas, Ar-Razi menegaskan bahwa jika seseroang berbuat baik, diutamakan baginya untuk menceritakan perbuatannya tersebut. Hal ini bertujuan sebagai motivasi kepada sesama agar saling berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Tentunya, menceritakan kebaikan tersebut harus diniatkan semata-mata ikhlas karena Allah dan demi kemaslahatan bersama, bukan diniatkan untuk berbuat riya’ atau pamer.

Ayat tersebut memberikan arahan kepada seorang muslim agar selalu berusaha untuk menebarkan kebaikan kepada sesama dan semesta. Dari membaca Al-Qur’an, menelusuri hikmah diutusnya Nabi Muhammad SAW, sampai berbagi kepada pengemis, anak yatim dan orang yang membutuhkan bantuan. Segala bentuk praktik tersebut hanya bertujuan agar kita selalu tenggelam dalam kecintaanya kepada Allah SWT. Wallahua’lam bisshawab.

0 Shares:
You May Also Like