Menelisik Gagasan al-Wahdah al-Muthlaqah Ibnu Sab’in

Pernah dengar nama Ibnu Sab’in? Nama lengkapnya ‘Abd al-Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr, atau lebih dikenal sebagai Ibnu Sab’in. Ibnu Sab’in sendiri dikenal sebagai seorang sufi sekaligus filsuf dari Andalusia kelahiran Valle De Ricote, Murcia tahun 614 H 1217 M dengan gelar Quth al-Din (Qutub Agama).

Dalam jejak tradisi filsafat Islam di wilyah Barat, Ibnu Sab’in ini juga dikenal sebagai wakil terakhir dari tradisi intelektual filsafat Islam dari Maghrib, Andalusia. Ibnu Sab’in juga tercatat sebagai sintesis antara praktik kehidupan spiritualitas dan doktrin intelektual pada kemurnian teologi Islam di tanah Andalusia.

Meskipun demikian, nama dan pemikirannya di ruang civitas akademika kalah populer dengan nama-nama seperti, al-Qusyairi, al-Hallaj, Suhrawardi, al-Ghazali, Abu al-Hasan al-Syadzili, dan Ibn al-‘Arabi, serta tokoh sufi lainnya. Padahal, dalam hal banyak pemikiran antara para filsuf dan sufi, Ibnu Sab’in adalah pengikut doktrin “keesaan absolute” di mana dalam pandangannya hanya wujud Allah dan sama sekali bukan yang lain.

Pandangannya ini dikenal sebagai kritik atas para pemikir Islam awal yang dianggap tak memiliki jangkauan luas pada “kesatuan absolut” atau “transendensi kesatuan wujud”, dalam bahasa sufistik tasawuf gagasannya ini dikenal sebagai al-Wahdah al-Muthlaqah. Di mana konsep ini merupakan implementasi dari paradigma teologis yang menolak konsep dualisme wujud.

Dalam konsep al-Wahdah al-Muthlaqah Ibnu Sab’in, wujud hanya satu, yaitu an sich Allah saja, sementara wujud-wujud yang lain hanya wujud Yang Satu itu sendiri. dengan kata lain, wujud-wujud selain Yang Satu tersebut, tak ada sama sekali. Bagi Ibnu Sab’in, eksistensi hanya bersifat singular atau tunggal. Oleh karena itu, kalau dicermati secara esensial gagasan al-Wahdah al-Muthlaqah Ibnu Sab’in ini terlihat simplistik.

Baca Juga:  Seni Agar Allah Jatuh Cinta ala Sufi (Bagian 2)

Gagasan al-Wahdah al-Muthlaqah Ibnu Sab’in kurang populer di kalangan kajian keislaman, utamanya di Indonesia, bila dibandingkan dengan kajian al-Wahdah al-Wujud Ibn al-‘Arabi. Mungkin karena dianggap secara kronologis, pengistilah al-Wahdah al-Muthlaqah Ibnu Sab’in megadopsi istilah al-Wahdah al-Wujud-nya Ibn al-‘Arabi yang justru banyak didapati dalam karya-karya Ibnu Sab’in sendiri.

Namun, kalau kita percaya pada penuturan William Chittick di beberapa karyanya seperti, The Sufi Path of Knowledge: Pengetahuan Spiritual Ibnu al-‘Arabi (2001), istilah al-Wahdah al-Wujud pertama kalinya dipopulerkan Shadruddin al-Qunami (w. 637 H/1274 M), murid setia sekaligus anak tiri dari Ibn al-‘Arabi. Dan, di kemudian hari dipopulerkan oleh generasi sesudahnya semisal Ibn Sab’in (w. 646 H/ 1248 M), dan Alifuddin a1-Tilimsani (w. 690 H/1291 M).

Isitlah al-Wahdah al-Wujud Ibn al-Arabi, maupun al-Wahdat al-Muthlaqah Ibnu Sab’in yang oleh sebagian kalangan intelektual Muslim seringkali dipahami dalam konotasi sama, yaitu sama-sama merujuk pada konteks wujudiyah. Tak ada penjelasan mendalam terkait pemakaian kata al-Muthlaqah dalam konsep sebagai ganti dari kata al-Wujud, boleh jadi mengandung maksud, dan makna tertentu.

Yang pasti dan sangat jelas, konsep al-Wahdah al-Muthlaqah Ibnu Sab’in ini adalah menempatkan ketuhanan dalam ranah serta pada wilayah yang sangat absolut. Bagi Ibnu Sab’in, wujud Allah merupakan sumber dari segala yang ada pada masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Wujud materi yang saat ini tampak adalah merujuk pada wujud yang bersifat rohaniah. Dengan demikian, gagasannya ini berusaha menafsirkan wujud yang bercorak spiritual bukan lagi bercorak material.

Untuk menegaskan konsep al-Wahdah al-Muthlaqah-nya ini, Ibnu Sab’in dalam beberapa catatan sering mengemukan landasan normatif dari argumentasi yang secara umum berpijak pada firman Allah dalam Al-Qur’an. Semisal, surat al-hadid berbunyi, “Dia Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin” dan surat al-Qashash berbunyi, “Setiap sesuatu yang ada di alam semesta ini pasti binasa, kecuali Allah”. Interpretasi ini, bagi Ibnu Sab’in wujud hanya satu, tidak dua, apalagi banyak sekali.

Baca Juga:  Iman Perlu Bagi Kebahagiaan, Iman Perlu Bagi Pengetahuan yang Lebih Tinggi

Untuk mempermudah pemahaman gagasan al-Wahdah al-Muthlaqah Ibnu Sab’in seringkali menganalogikan wujud pada suatu lingkaran, di mana porosnya wujud yang mutlak, sedangkan wujud yang ada dalam lingkaran hanya bersifat nisbi. Bagi Ibnu Sab’in, keduanya tak ada bedanya, keduanya tetap satu, sebab yang mutlak bisa dilihat dalam yang nisbi, antara keduanya, sama-sama mutlak.

Selain itu, Ibnu Sab’in juga mengembangkan konsep gagasan al-Wahdah al-Muthlaqah pada kajian yang filosofis seperti, etika material dan juga jiwa dan akal budi yang jelas-jelas tak memiliki wujud. Bagi Ibnu Sab’in, keduanya ini berasal dari wujud yang satu, dan yang satu ini tak terbilang. Demikian hal terkait masalah moralitas juga ditandai sebagai dari corak kesatuan mutlak.

Untuk mencapai kesatuan mutlak dalam gagasan al-Wahdah al-Muthlaqah ini Ibnu Sab’in ini seseorang harus melakukan al-Muqarrab Ila Allah atau mengakraban diri pada Allah. Individu yang ingin mencapai al-Wahdah al-Muthlaqah merupakan individu yang terdapat dalam dirinya segala kesempurnaan, baik itu seorang faqih, teolog, filsuf maupun sufi.

Di samping harus menguasai keilmuan tahqiq, suatu kemampuan pemahaman nalar yang menggabungkan dengan prinsip-prinsip nalar syariat, di mana nalar dan syariat berfungsi mengantarkan seseorang menempuh ke jalan perealisasi kesatuan mutlak. Ungkapan la Maujuda Illa Allah atau tak ada wujud selain Allah yang seringkali kita dengar adalah penzikir dalam zikir ini adalah yang berzikir. Tingkatan dan keadaan yang terjadi pada penzikir bagian dari zikir yang dilakukan.

Di tataran ini banyak kalangan beranggapan kalau gagasan Ibnu Sab’in ini hampir sama dengan gagasan para pendahulunya, misalnya mirip dengan konsep Haqiqah al-Muhammadiyah atau Quthb-nya Ibn Faridh dan Ibn al-‘Arabi, dan juga hampir dengan konsep Insal Kamil al-Jilli (1365-1424 M).

Baca Juga:  Telaah Sosiologis Rasionalisme di Awal Islam (3): Rasionalisme yang Islam Tawarkan

Dalam Budd al-‘Arif yang merupakan karya satu-satunya Ibnu Sab’in yang sampai pada kita, dimulai dengan ulasan logika dan diakhiri dengan ulasan metafisika. Dan, dianggap sintesis ajaran-ajaran metafisikanya yang sulit dicerna, karena mengandung kalimat-kalimat kabalistik, maknanya tak mudah dimengerti.  Gagasan al-Wahdah al-Muthlaqah Ibnu Sab’in ini menolak logika Aristotelian dan menggantinya dengan logika yang didasarkan pada konsepsi plural bercorak iluminatif.

Bagi Ibnu Sab’in, logika iluminatif ini atau logika pencapaian kesatuan mutlak bisa dicapai dengan melalui jalan penalaran lewat hembusan Ilahi. Di mana setiap manusia yang mencapainya bisa melihat suatu yang belum pernah dilihat dan mendengar apa yang belum didengar sebelumnya. Ibnu Sab’in menyebut logika ini bercorak intuitif, bukan lagi logika bercorak rasionalitas.

Dengan gagasan al-Wahdah al-Muthlaqah-nya ini banyak dari kalangan intelektual Muslim yang mensejajarkan pemikiran Ibnu Sab’in dengan pra pemikir besar seperti, Suhrawardi, Mulla Sadra dan Ibn al-‘Arabi sebagai guru spiritualitas Islam yang mengkombinasikan kemurnian jiwa dengan kesempurnaan intelektual sehingga menciptakan sintesis antara kehidupan spiritual dan pemikiran spekulatif, antara sufisme dan filsafat Islam.

0 Shares:
You May Also Like