Kadang kita berencana. Kadang rencana kita bersesuaian dengan rencana-Nya, kadang tidak. Kadang kita tidak berencana, tapi Dia berencana. Maka, dalam keadaan apa pun, rencana-Nya yang selalu terjadi.
Baru 4 bulan yang lalu saya berziarah ke Irak. Ziarah itu terwujud berkat sesuainya rencana saya dengan rencana-Nya. Dan kali ini saya sudah berada di Uzbekistan. Sebuah negeri yang selama ini baru saya ketahui secara samar-samar sebagai terletak di Asia Tengah.
Bukannya saya tak pernah punya rencana. Tapi belum pernah saya tahu persis, bahwa rencana berziarah sufi ke Asia Tengah itu berarti saya berencana pergi ke Uzbekistan. Karena saya tahu ada banyak negara berakhiran “istan” di wilayah ini. Ada Tajikistan, Kazakhstan, Kirghystan, ada juga Turkmenistan, Tataristan, dan mungkin masih ada “istan-istan” lain.
Lalu tentu saja saya tahu ada kota bernama Bukhara dan Samarkand. Tentang Bukhara saya tahu di sana pernah hidup ahli hadis besar bernama Imam Bukhari. Tentu saja kuliner khas bernama Nasi Bukhari, yang berasal darinya. Samarkand? Saya hanya pernah dengar bahwa ini adalah kota tua—seperti Bukhara—tempat khazanah kisah eksotis keagamaan terbetik. Termasuk Kisah Seribu Satu Malam. Tapi saya tak pernah tahu bahwa inilah kota-kota penting yang menyimpan banyak sejarah peradaban. Apalagi Termez, sebuah kota lebih kecil yang berbatasan dengan Afghanistan.
Memang Yayasan Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf—yang saya dirikan bersama Mas Azam Bakhtiar, seorang peneliti muda di bidang Al-Qur’an dan ‘Irfan—pernah punya rencana untuk merutinkan ziarah sufi ke berbagai negeri. Bahkan pernah sekali rencana itu kami wujudkan, dalam bentuk ziarah ke para sufi di Turki. Tentu saja termasuk di dalamnya Jalaluddin Rumi dan Syamse Tabrizi. Serta Shadruddin Qunawi. Ketiganya hidup di Kota Konya, yang legendaris.
Tapi setelah itu, semua rencana harus terhenti karena Pandemi. Padahal rencana sudah disusun, meliputi ziarah ke Maroko, Tunis, dan mungkin Aljazair—yang diupayakan bermula dari Andalusia—lalu ke India dan Kashmir, Mesir dan Hadhramawt, Irak dan Iran. Termasuk juga ke Asia Tengah itu. Di sinilah Tuhan mengintervensi…
Ketika sedang mereka-reka tentang rencana terbaik untuk melanjutkan kembali program ziarah sufi yang terputus itu, tanpa dinyana dan diduga, masuklah seorang sahabat baru yang luar biasa ke dalam kehidupan kami. Saya mendengar dari seorang teman, bahwa Mas Agustinus Wibowo, seorang petualang backpacker tangguh, yang pernah menziarahi banyak tempat di Asia Tengah, bahkan hingga tinggal selama 3 tahun di Afghanistan, ternyata menyelenggarakan acara perlancongan ke Uzbekistan.
Mas Agus sebetulnya sudah lama saya kenal, khususnya sebagai penulis luar biasa. Apa yang ditulisnya selalu mencengangkan, story telling-nya mengasyikkan, bahasanya indah. Tapi, lebih dari itu semua, pesan-pesan yang disampaikannya amat mendalam—hingga bernuansa filosofis, bahkan spiritual. Sebelum ini, anak muda asal Lumajang yang tampil amat sederhana ini, telah banyak dikenal dengan buku-buku best-seller-nya yang berjudul Tapal Batas, Titik Nol, Garis Batas, Selimut Debu, dan Jalan Panjang untuk Pulang. Bukunya yang terakhir—dan sudah banyak mendapatkan pujian, sampai-sampai penulisnya disebut sebagai “Jarred Diamond atau Yuval Noah Harari Indonesia”—berjudul Kita dan Mereka, diterbitkan oleh Mizan. Amat memesona. Bahkan, direncanakan di bulan Desember nanti, sebuah film serial yang dibuat berdasar buku Agus yang berjudul Titik Nol itu, akan tayang sebagai film seri di Netflix. Adalah Denny Sumargo yang memerankan Agus di dalamnya.
Tapi, baru belakangan saya mengetahui bahwa, bersama beberapa temannya, dia telah menyelenggarakan tour ke Uzbekistan. (Belakangan juga ke Laos, dan—saat menulis ini—dia sedang bersiap-siap untuk memimpin sebuah rombongan untuk melakukan perjalanan dari Uzbekistan ke Tajikistan, melalui darat, selama 14 hari. Menembus batas-batas negeri dan kawasan-kawasan tertutup. Melalui jalanan pegunungan yang rumit, diselingi menginap di rumah-rumah penduduk).
Maka saya pun minta dipertemukan dengan anak muda luar biasa yang amat rendah hati ini. Belakangan saya tahu, Agus—begitu kami memanggilnya—segera saja tampak sebagai seorang anak muda penghayat Budhisme yang amat rendah hati dan lembut tutur-katanya. Makin kami saling mengenal, makin terasa terlalu banyak kesamaan di antara kami—khususnya dalam pemahaman kami tentang spiritualitas keagamaan. Pandangan-pandangannya tentang ajaran Budhisme, terasa banyak kesejalanannya dengan pemahaman saya tentang sufisme.
Maka kami pun bertemu. Merancang program bersama ke Uzbekistan. Kali ini, agak berbeda dengan program-program wisata budaya yang sudah pernah diselenggarakan Agus dan teman-teman melalui perusahan tournya yang diberi nama Wesgo—yang berarti “wes!” (sudahlah, ayo kita) “go’ (jalan) saja!—perjalanan akan berwarnakan ziarah sufi. Bismillah!