Islam dan Kehendak Bebas Manusia (4): Konsistensi dan Konteks Konsep Kemahakuasaan Tuhan dan Kebebasan Manusia

Mungkin akan ada yang mengira bahwa Al-Qur’an tidak cukup konsisten dalam pernyataannya soal kebebasan berkehendak manusia. Sebab, selain ada ayat-ayat tentang kebebasan itu, ada pula ayat seperti ini: “Mereka (manusia) tidak akan menghendaki sesuatu, kecuali Allah yang menghendakinya,” atau seperti ini: “Tuhanlah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian kerjakan.”

Para ahli kalam di masa lalu dibuat bingung oleh inkonsistensi Al-Qur’an  ini. Dan mereka memilih untuk menjadi reduksionis demi membebaskan jiwanya dari kebingungan itu. Asy’ariyah dan ahlul hadits memutuskan untuk meletakkan Kemutlakan Kehendak Tuhan di posisi pertama, dan tidak membiarkan ada celah bagi pemikiran bahwa manusia punya kebebasan atas nasibnya, atau pemikiran bahwa Tuhan harus menjadi adil sebagaimana keadilan itu dipahami oleh manusia. Bagi mereka ini, sekali pun Tuhan menjebloskan seorang muttaqin ke dalam jahannam, itu tetaplah sebuah keadilan.

Reduksionisme ahli kalam membuat ajaran Islam menjadi penuh pertentangan yang tidak masuk akal—bahkan sebenarnya pertentangan yang tidak diperlukan. Al-Qur’an selalu konsisten dalam pendiriannya bahwa manusia harus memiliki kebebasan dan bahwa Tuhan adalah Tuhan yang adil dan rasional.

Ayat-ayat, “Mereka (manusia) tidak akan menghendaki sesuatu, kecuali Allah yang menghendakinya,” atau “Tuhanlah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian kerjakan,” digunakan Al-Qur’an untuk merespons kepercayaan Jahiliah bahwa Tuhan tidak mampu melakukan apa-apa atas manusia.

Al-Qur’an  membalik secara total kepercayaan Jahiliah tersebut, dan kemudian meneguhkan kepercayaan baru bahwa Tuhan bukan sekadar pencipta alam semesta saja, melainkan juga yang mengaturnya, membimbingnya, dan berkuasa selamanya atasnya.

Dalam hal pandangan-dunia, Al-Qur’an konsisten dalam kepercayaan akan Kekuasaan Tuhan Yang Maha Besar, yang meruntuhkan kepercayaan bahwa Tuhan tidak berfungsi apa-apa selain pencipta semata. Begitu pula, Al-Qur’an  konsisten bahwa Tuhan juga yang memberi anugerah khas kepada manusia berupa ilmu pengetahuan dan kehendak bebas. Menurut Al-Qur’an, disebabkan manusia memiliki kebebasan untuk menentukan perbuatannya, maka karena itulah ia dapat masuk ke dalam sistem moralitas Tuhan (bahkan satu-satunya ciptaan Tuhan yang terikat dengan moralitas ini).

Baca Juga:  9 Nasihat Buya Syakur Yasin yang Bikin Hati Adem

Moralitas religius Al-Qur’an kira-kira berbunyi: Manusia yang menggunakan potensi dan pengetahuannya untuk kebaikan, maka Tuhan akan merahmatinya. Manusia yang sebaliknya, maka Tuhan akan memberikan balasan setimpal atasnya.

Apabila Al-Qur’an tidak lagi berkata demikian—dengan anggapan bahwa ia mengajarkan sebuah konsep kemutlakan takdir Tuhan dan tidak adanya pilihan bebas bagi manusia untuk berbuat—maka Al-Qur’an  akan mengkhianati prinsip-prinsipnya sendiri, dan secara tidak wajar justru kembali meneguhkan kepercayaan Jahiliah yang sendari awal ia tolak.

Mengatakan bahwa Tuhan bebas berbuat semau-Nya (tanpa prinsip keadilan) atas manusia adalah tidak berbeda dengan mengatakan bahwa nasib manusia berada dalam permainan takdir. Cukup mengherankan, ketika Al-Qur’an  tidak pernah berhenti menyebut aspek Kemahaadilan Tuhan dan rasionalitas kebebasan manusia dalam bertindak, ternyata konsep Tuhan dan nasib fatalistik menjadi konsep tentang Tuhan yang paling dominan dipercayai di dunia Islam.

Ayat-ayat Al-Qur’an  mengenai Kemahakuasaan Tuhan atau Kekuasaan Penuh Tuhan atas seluruh makhluk, termasuk manusia, pada dasarnya tidaklah untuk dibaca sebagai pernyataan bahwa kebebasan telah dicabut dari manusia. Tidak ada ayat suci Al-Qur’an  yang satu kali pun pernah menyampaikan hal seperti itu. Kemahabesaran Tuhan bukan berarti bahwa Dia adalah Tuhan yang tidak memiliki prinsip-prinsip keadilan dan rasionalitas dalam perbuatan-Nya.

Konsep Al-Qur’an mengenai Tuhan yang berkeadilan dan rasional tersebut terlihat begitu jelas dalam keutuhan pandangan-dunianya. Ditambah lagi, dengan melengkapi keterangan-keterangan dari konteks, situasi, dan mukhathab yang Al-Qur’an respons secara langsung, kita bisa mengerti alasan mengapa Al-Qur’an  menyodorkan konsep yang seperti itu?

Mengapa Al-Qur’an  mengatakan kepada lawan bicaranya bahwa Tuhan adalah entitas yang paling berkuasa atas kehidupan manusia? Hal ini disebabkan oleh lawan bicara Al-Qur’an—yaitu Arab Jahiliah—yang mempercayai bahwa kehidupan manusia berada di “tangan” takdir, yang mereka sebut dengan nama dahr (waktu). Pola pikir Jahiliah ini mengandung unsur fatalisme yang amat kuat, yang tidak menyediakan tempat bagi manusia untuk mempunyai harapan pada masa depan yang lebih baik, atau untuk beprikir bahwa ia bisa bangkit mengubah nasibnya sendiri.

Baca Juga:  Mencari Fikih Penuh Rahmah, Mencari Tasawuf Penuh Rahmah

Sebagai akibat dari pesimisme yang fatal ini, akhirnya masyarakat Arab Jahiliah jatuh pada kepercayaan materialistik bahwa hidup hanya berlaku di dunia, tidak akan ada sambungannya, tidak perlu ada pengadilan akhir, dan tidak perlu risau pada perbuatan zalim dan dosa. Konsekuensi logis dari kepercayaan ini adalah adat Jahiliah kemudian menyuruh manusia untuk terlena pada nikmat badani dan bendawi dunia (bagi mereka yang lahir dalam keluarga dan suku penguasa yang kaya raya), atau tenggelam dalam putus asa musibah (bagi mereka yang lahir dalam keluarga dan nasab yang biasa-biasa saja).

Secara amat drastis dan dramatis, Al-Qur’an  menganulir pola pikir tersebut. Bagi rangkaian kata-kata indah yang keluar dari lisan Muhammad Saw ini, adalah absurd menyandarkan nasib kepada takdir. Ketika alam semesta ini memiliki Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Adil, dan Maha Penyayang, mengapa kita harus percaya pada pola pikir yang fatalistik. Al-Qur’an  menegaskan kepada oposisinya itu bahwa bukan takdir yang paling berkuasa atas nasib kita; melainkan Tuhan-lah yang berkuasa. Akan tetapi, penegasan Quranik ini bukan sekadar menukar posisi dahr (takdir) dengan Tuhan. Dahr atau takdir adalah sebuah konsep abstrak, yang tidak logis, dan tidak berprinsip.

Sementara Al-Qur’an  mengajukan kepercayaan bahwa nasib manusia berada di tangannya sendiri, dan kemampuannya itu diperoleh dari Tuhan yang menciptakan dirinya, menyayanginya, dan selalu berlaku adil kepadanya.

Al-Qur’an  membawa sebuah pergeseran paradigma atas fatalisme Jahiliah. Hal ini karena Tuhan yang Muhammad Saw perkenalkan dalam Al-Qur’an  bukanlah Tuhan zalim yang semena-mena dan mau berlaku seenak-Nya atas segenap ciptaan-Nya. Meminjam kata-kata Mustafa Akyol, Tuhan yang Islam perkenalkan adalah a God with Principle, Tuhan dengan prinsip-prinsip ketuhanan-Nya; yaitu bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, sekaligus juga Maha Adil dan Maha Penyayang.

Baca Juga:  Ibnu Rusyd: Syariat dan Takwil

Sementara itu, kita melihat Asy’ariyah dan ahlul hadits terjebak pada obsesi ideologisnya sendiri untuk membela Kemahakuasaan Tuhan, dan di saat yang bersamaan menolak prinsip-prinsip lain dari ajaran Al-Qur’an  tentang Tuhan, bahwa Tuhan itu selain Maha Kuasa, juga Maha Adil, dan Maha Penyayang.

Teologi predeterministik ini akhirnya jatuh pada pola pikir fatalistik, yang seolah hanya mengganti posisi dahr dan takdir dalam kepercayaan Jahiliah dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebaliknya, pandangan-dunia Quranik justru hadir untuk menentang predeterminisme dan fatalism ini yang meletakkan manusia sebagai makhluk tak bernilai dan lemah di hadapan takdir.

Narasi Al-Qur’an  bahwa Tuhan itu Maha Kuasa juga tidak boleh dipotong dari kelanjutannya bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa itu telah menganugerahkan sesuatu yang spesial kepada manusia, yang tidak Dia berikan pada makhluk lainnya, bahkan makhluk suci dan terpuji bernama malaikat. Sesuatu yang spesial itu adalah ilmu pengetahuan dan kehendak bebas.

Karena kecerdasan manusia, yang sudah pasti adalah anugerah Tuhan pula, maka manusia dijadikan oleh Tuhan sebagai satu-satunya yang dapat dipercaya mewarisi dan mengurusi planet Bumi—yaitu dengan menjadi khalifah (mandataris) Tuhan di sana. Dan, karena sudah dikaruniai kehendak dan kekuatan, manusia bertanggung jawab untuk menggunakan potensi miliknya itu semua demi menciptakan kebaikan bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Sejak Al-Qur’an  menantang oposisinya yang fatalis, Al-Qur’an  memandang manusia sebagai bermartabat tinggi, berkehendak bebas, berakal cerdas, dan berkemampuan untuk menciptakan peradaban sesuai dengan mandat Tuhan kepadanya.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Tentang Neraka

Haidar Bagir Pembina Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf Di antara salah satu masalah yang perlu dijelaskan berkaitan…