Mengenal Hermeneutika Al-Qur’an Irfan Ahmad Khan
Dalam perkembangan studi Al-Qur’an, hermeneutika sebagai ‘seni’ memahami dan menafsir semakin diterima dan terintegrasi dalam ilmu tafsir. Meski banyak penolakan dari sebagian kalangan Muslim karena metodologinya yang dipandang amat memperlakukan kitab suci Al-Qur’an sebagai ‘buku catatan’ semata.
Secara umum, cendekiawan Muslim seluruh dunia abad ini telah terbuka dengan metodologi interpretasi teks kelahiran tanah barat itu sebagai disiplin ‘pembantu’ tafsir. Terlepas dari perdebatan pro-kontra hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an (lihat Sebuah Kritik: Hermeneutika Alquran – Alif.ID). Tulisan ini hendak mengenalkan salah satu gagasan hermeneutika Al-Qur’an cendikiawan Muslim, mufasir cum filsuf Muslim India, Irfan Ahmad Khan.
Sekilas tentang Irfan Ahmad Khan
Irfan Ahmad Khan lahir di Saharanpur, Uttar Pradesh, India pada 7 April 1931. Pada mulanya, ia adalah lulusan Fisika, Kimia, dan Matematika dari Aligarh Muslim University (AMU) tahun 1952. Minatnya berbelok ketika ia masuk ke Thanwi Darasgah tahun 1954 sampai 1958. Thanwi Darasgah adalah sejenis sekolah lanjutan atau kursus lanjutan yang diperuntukkan bagi sarjana lulusan sains untuk belajar ilmu Islam.
Thanwi didirikan Abul A’la Maududi (w.1979) tahun 1950 dan tutup tahun 1960. Di sekolah inilah, hasrat keilmuan`Khan beralih dari sains kepada ilmu agama. Khan belajar metodologi memahami Al-Qur’an nazm dari Maulana Jalil Ahsan Nadvi (w. 1981). Nazm adalah metodologi memahami Al-Qur’an yang diinisiasi oleh Maulana Hamid al-Din Farahi. Prinsipnya adalah bahwa terdapat koherensi struktural dan tematis, baik pada suatu surah, di antara kelompok surah-surah, kelompok surah yang berdekatan, dan Al-Qur’an secara keseluruhan. Sekilas, metodologi ini terasa mirip dengan aliran strukturalisme-nya F. De Saussure dan kawan-kawan.
Selesai belajar dari Thanwi Darasgah, Khan belajar filsafat barat, teologi, dan agama-agama India di AMU dari tahun 1958 sampai 1973. Ia memperoleh gelar BA dalam teologi dan MA dalam filsafat. Pada 1974 dia melanjutkan studinya di University of Illinois di Chicago (UIC). Di UIC Khan mendapatkan gelar MA dalam fisafat tahun 1977, dan Ph.D filsafat tahun 1986 dengan disertasi “The Thing-Event Distinction”. Di UIC, konsentrasinya adalah filsafat dan mistisisme Islam. Di akhir 80-an, ia belajar di School of Religion di Universityof Iowa, School of the Art Institute of Chicago, dan Amaerican Islamic College di Chicago. Irfan Ahmad Khan meninggal pada 3 April 2018 di Chicago di usia ke-86. Sepintas perjalanan akademik Irfan Ahamd Khan tersebut membentuk pemikiran Khan, terutama soal Al-Qur’an, tafsir, dan hermeneutika.
Dua karya pentingnya tentang Al-Qur’an di antaranya, Reflection on the Qur’an, Understanding Surahs al-Fatihah and al-Baqarah (2005), dan An Exercise in Understanding the Qur’an: An Outline Study of the last thirty Divie Discourse (Surah 85-114) (2013). Khan menulis sejumlah artikel dan menyampaikan beberapa kuliah tentang Al-Qur’an. Karya-karya dan video kuliahnya dapat di akses di http://quranicunderstanding.com/. (Azmat, 2017: 80)
Hermeneutika Al-Qur’an Khan berpijak pada dua hal; Al-Qur’an (dan hadis) dan filsafat barat modern. Pandangannya tentang hermeneutika Al-Qur’an juga merupakan buah dari refleksi panjang dan mendalam atas Al-Qur’an melalui metodologi nazm. Di sisi filsafat, hermeneutika Al-Qur’an Khan sangat mengakar pada filsafat analitik. Filsafat analitik bergerak pada analisis konseptual dengan cara ‘mencincang-cincang’ konsep-konsep kompleks menjadi konsep paling sederhana untuk kemudian dianalisis. Tokoh pentingnya adalah G. E. Moore, Bertrans Russel, F. P. Ramsey, John L. Austin, dan Wittgenstein I. Filsafat analitik sering dihadapkan dengan filsafat kontinental sebagai filsafat yang bergerak pada ranah analisis hakikat eksistensi manusia. Menurut Khan, filsafat analitik telah membawa filsafat ke ranah yang lebih konkret alih-alih abstrak dan metafisik.
Selayang Pandang Hermeneutika Al-Qur’an Khan
Ontologi dan epistemologi itu dua hal yang tak terpisahkan. Setiap bentuk ontologi menuntun pada sebuah epistemologi (lebih jauh, aksiologi), dan setiap epistemologi berdasar pada ontologi tertentu. Ontologi membicarakan tentang keadaan hal ihwal; filsafat tentang ‘ada’. Sementara epistemologi membicarakan tentang bagaimana mengetahui keadaan hal ihwal itu mungkin dan menyelidiki batas-batas pengetahuannya; filsafat tentang pengetahuan. Titik berangkat hermeneutika Khan ada pada ontologi dan epistemologinya.
Bagi Khan, manusia memiliki batas-batas kemampuan memahami dan mengetahui yang terus berkembang dan meluas seiring dengan perkembangan intelektual dan spiritualnya untuk mengetahui keadaan, makna atau hakikat suatu hal. Batas kemampuan manusia memahami atau batas epistemik inilah yang tidak mengizinkan manusia untuk mengetahui hal-hal yang berada di luar jangkauannya.
Menurut Khan, seiring dengan perkembangannya, batas pengetahuan manusia terus meluas. Perkembangan keilmuan, teknologi, filsafat, sastra, dan seni rupa, membuat pemikiran manusia terus berkembang. Kalam Ilahi Al-Qur’an dan riwayat hadis Nabi tetap sama dan tak berubah, namun kapasitas memahami pembacanya yang mengalami perkembangan dan perubahan yang membuka kemungkinan tafsir baru (Khan, 2005: 4).
Instrumen pemahaman manusia, dalam terang Khan, berupa sam’a-basyar-fuad (pendengaran, penglihatan, dan pemikiran/intuisi). Mengutip surah 16:78 dan 32:7-9, Khan membagi sam’a-basyar-fuad menjadi dua; yakni yang biologis dan yang spiritual. Yang biologis objek pengetahuannya adalah fenomena alam, sedangkan yang spiritual—salah satu—objek pengetahuannya adalah kalam Ilahi/ayat Al-Qura’n dan makna di sebaliknya.
Tingkat kapasitas pengetahuan spiritual manusia menentukan pemahaman spiritualnya dalam menggapai makna Al-Qur’an. Dengan kapasitas tersebut yakni sam’a-basyar-fuad spiritual, manusia ‘diberkahi’ tanggung jawab untuk menginterpretasi dan memahami kebenaran Al-Qur’an sesuai dengan batas-batas epistemiknya masing-masing. Berkembangnya kapasitas epistemik manusia untuk memahami dan munculnya persoalan-persoalan baru, turut menentukan pemahamannya akan rahasia-rahasia dan dimensi makna lain yang terkandung dalam Al-Qur’an. Meskipun demikian, menurut Khan makna esensial Al-Qur’an tetap sama, tauhid. Hanya saja ia dipahami lebih baik, konkret, dan canggih seiring dengan ‘perjumpaan-perjumpaan’ baru dan sentuhan langsung oleh pembacanya. (Khan, 2005: 10)
Dengan pandangan ini jelas, menurut Khan, tidak boleh ada otoritas tafsir yang mengklaim paling benar dibanding tafsir lain karena kapasitas memahami manusia dalam menginterpretasi Al-Qur’an beragam tingkatannya. Maka, tindak menafsir dan menakwil atau menginterpretasi menjadi proses yang terus berlanjut dalam hajat menyibak dimensi-dimensi baru Qur’ani yang belum terungkap sebelumnya.
Aspek terpenting dalam hermeneutika Al-Qur’an Khan adalah sifatnya yang dinamis. Berkenaan dengan kedinamisan ini, Khan memandang bahwa Tuhan menciptakan sekaligus menuntun. Artinya, Tuhan tidak hanya berhenti menciptakan semesta di masa lalu, melainkan Dia juga menciptakan hari ini, esok dan masa depan. Tuhan, dengan demikian juga menuntun/memberikan petunjuk pada masa lalu, masa kini dan berlanjut ke masa depan kepada seluruh ciptaan-Nya, terutama manusia. Khan memahami aktifitas mencipta Ilahi ini sebagai fenomena semesta yang terus berlanjut. Oleh karenya, Tuhan selalu dalam tindakan mencipta dan menuntun yang dinamis; terus berlanjut.
Pemahaman Khan tentang perbuatan Tuhan yang dinamis tersebut tersebut memiliki peran penting dalam hermeneutika Al-Qur’an-nya. Khan mengkritik pemahaman tafsir mainstream Al-Qur’an yang bersandar pada kitab-kitab sekunder seperti asbabun nuzul (sebab turunnya Al-Qur’an) dan al-nasikh wa al mansukh (dalil-dalil pembatalan ayat Al-Qur’an) untuk menggapai maknanya. Ia, sebaliknya meyakini bahwa ketersingkapan makna autentik Al-Qur’an tergantung pada kapasitas spiritual memahami manusia.
Menyandarkan makna Al-Qur’an hanya pada kitab sekunder semata akan mereduksi dan membatasi wawasan Al-Qur’an pada konteks masa sebab turunnya, tanpa mencari maknanya untuk dibaca hari ini. Ini sama saja menggantungkan hal yang sudah jelas dan terbuka dengan sendirinya, yakni Al-Qur’an, pada hal yang belum tentu kejelasannya, dalam hal ini catatan-catatan sebab pewahyuan dalam asbabun nuzul, tafsir, dan kitab sekunder lain (Khan, 1987: 40). Khan juga menolak menjadikan usul tafsir sebagai satu-satunya metodologi memahami Al-Qur’an, karena tidak memadai, serta menyerukan agar memahami Al-Qur’an melalui bahasa Al-Qur’an sendiri (Khan, 2005: 24).
Seiring bergulirnya zaman, pengalaman manusia, situasi dan kondisi yang sama sekali baru, pengetahuan manusia mengalami kemajuan. Oleh karenanya, jika Al-Qur’an ingin tetap bertahan dalam arus perubahan ini, maka ia harus dibaca dengan pemahaman yang segar dan baru. Relevansi Al-Quran untuk hari ini dan masa depan sama pentingnya dengan kemunculannya di masa Nabi dan sahabat. Maka, menjadikan zaman Nabi dan para sahabat sebagai referensi utama dalam memaami Al-Qur’an, mengesampingkan pemahaman baru, membuat tadarus Al-Qur’an hari ini hanya sebagai kajian sejarah semata.
Ijma’ dan qiyas memang berperan penting dalam membawa Al-Qur’an agar tetap relevan. Namun, bagi Khan, adalah mustahil menyerupakan segala konteks masa kini dengan masa lalu untuk memperoleh pemahaman Al-Qur’an yang sempurna. Upaya menarik kesimpulan dengan pendekatan ‘mencari kemiripan‘ kasus semacam ini justru mengesampingkan kemungkinan makna yang boleh jadi sangat berbeda, baru, dan signifikan untuk situasi yang sama sekali baru dan belum terpahami dalam terang situasi masa dulu (Khan, 1987: 50). Akhirnya, simpulan teks tidak selalu sama untuk setiap zaman. Contoh paling dekat dapat kita lihat dalam penerapan hukum.
Khan menghendaki agar Al-Qur’an hari ini dibaca seolah-olah makna autentik Al-Qur’an dapat secara langsung turun terpancar dalam konteks situasi sosio-historis kini pembacanya; seperti Tuhan berbicara langsung padanya di hadapan situasi yang konkret. Barulah setelah itu, kata Khan, pembaca “mengkonsultasikan” dan membandingkan hasil pemahamannya pada otoritas tafsir yang ada, baik pada mufasir maupun membuka kitab-kitab tafsir. Namun Khan menyarankan untuk tidak berhenti atau ‘kalah’ pada pemahaman otoritas itu, dan melangkah lebih jauh dengan terus-menerus mengasah kapasitas pemahaman spiritual dalam menyelami ayat-ayat Al-Qur’an. (Khan, 2005: 24)
Apakah dengan begitu, berarti problem yang dihadapi pada masa Nabi atau turunnya ayat-ayat Al-Qur’an tidak bernilai atau tidak begitu penting untuk pembacaan masa kini dan masa depan? Kata Khan, itu semua penting dan bernilai bagi sejarawan saat hendak melakukan studi sejarah Al-Qur’an. Khan tidak melupakan pentingnya nilai moral dan pengingat kisah Nabi untuk pembaca masa kini. Namun, fungsi utamanya itu sama seperti kisah nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad bagi umat Nabi Muhammad pada masanya; pengingat dan pelajaran moral untuk umatnya masa itu (Khan, 2005: 29). Meski demikian, kisah-kisah itu tidak memberikan ‘solusi pasti’ yang dapat diterapkan baik secara langsung maupun secara analogis pada situasi yang baru.
Khan tidak mengingakari peran penting hadis dan sunah Nabi dalam menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an. Baginya, signifikansi hadis Nabi dalam memahami dan menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an terletak pada fakta bahwa Nabi Muhammad memahami Al-Qur’an dalam terang situasi dan kondisi sosio-historisnya sendiri dengan arahan dan tuntunan Tuhan masa itu. Dengan ini, Khan ingin mengatakan bahwa setiap Muslim seharunya melakukan hal serupa, yakni membaca, memahami, dan memaknai Al-Qur’an sesuai dengan situasi, kebutuhan, dan konteks sosiohistorisnya sendiri. Dengan kata lain, Khan hendak menyampaikan bahwa Al-Qur’an hendaknya selalu dikonkretkan pada setiap masa pembacanya, kini dan nanti (Khan, 2005: 12). Maka, ruh rahmatan lil alamin Al-Qur’an berada pada kemampuannya untuk mengkonkretkan diri di setiap masa.
Khan tetap berpegang teguh bahwa konkretisasi Al-Qur’an paling sempurna adalah pada masa Nabi karena Nabi terpelihara dari kesalahan (ma’sum), namun, kesempurnaan tersebut tidak menutup dan mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan konkretisasi dan interpretasi Al-Qur’an yang muncul atas situasi dan konteks yang lebih kompleks pada masa-masa setelahnya.
Hermeneutika Al-Qur’an Khan, dengan demikian mengumandangkan bahwa tindak menginterpretasi selalu berada dalam proses memahami teks dan kapasitas spiritual diri, dan bukannya produk mushaf jadi-selesai di hadapan pembaca yang pasif. Al-Qur’an semestinya diperlakukan sebagai teks yang “menunggu” untuk ditafsirkan secara aktif. Metodologi yang coba diajukan Khan adalah dengan memahami Al-Qur’an melalui Al-Qur’an itu sendiri. Sumber-sumber sekunder hanya berfungsi layaknya informasi tambahan.
Secara ringkas prinsip pokok hermeneutika Al-Qur’an Khan, berbunyi, “The act of understanding a text by someone involves striving to develop an insight into its meaning through building one’s own direct relationship with its verbal content” (Khan, 2013). Dengan mengatakan, “dengan membangun hubungan langsung seseorang dengan kandungan verbal (proposisi teks Al-Qur’an)”, terlihat jelas nuansa filsafat analitik pada hermeneutika Al-Qur’an Khan.
Sumbangsih Irfan Ahmad Khan pada hermeneutika Al-Qur’an mendobrak pandangan lama tafsir klasik, bahkan dalam level tertentu hermeneutika klasik romantisisme yang ngotot bahwa makna teks hanya ada di benak pengarang saja. Pembaca tidak memperoleh akses ke sana selain hanya sedikit saja dari proses olah gramatika teks dan analisis melelahkan psikologis pengarang yang telah jauh terpisah. Paul Ricoer adalah salah satu yang menyerang hermeneutika ini, dengan gagasan bahwa teks memberikan kemungkinan-kemungkinan tak terhingga untuk memperoleh makna baru sesuai degan bagaimana, dengan cara apa, di mana, dan oleh siapa ia dibaca. Ia mengusulkan adanya dialektika antara pembacaan masa kini dan pembacaan masa lalu; antara objektifitas teks dan subjektifitas pembaca.
Metodologi hermeneutika Al-Qur’an Khan mensyaratkan otonomi pembaca dalam memahami teks. Jika tafsir klasik berupaya menduduk-jelaskan Al-Qur’an pada konteks kemunculannya semata, maka Hermeneutika Khan ingin, memakai istilah H. G. Gadamer, meleburkan horizon makna teks agar pesan universalnya ‘terbuka’ untuk setiap zaman di mana ia dibaca.
Pembaca tetap dapat menjadikan kitab tafsir sebagai pegangan dalam memahami Al-Qur’an. Namun sumber ini mestinya menempati posisi sekunder yang berfungsi sebagai catatan atau informasi petunjuk tambahan dalam memahami dan bukannya menjadi teks penjelas utama Al-Qur’an. Pembaca mengambil manfaat dari catatan-catatan tafsir-tafsir tersebut sembari tetap menjalankan proses interpretasi lebih jauh sesuai kapasitas spiritual sam’a-basyar-fuad-nya dalam memahami Al-Qur’an.
Proses interpretasi ini bukanlah proses statis yang sekali jadi selesai, melainkan proses dinamis yang selalu berkembang seiring meluasnya batas epistemik pembaca pada setiap ‘perjumpaan-kembali’ pembaca dengan teks. Pertanyaannya, jika kapasitas epistemik pembaca berbarengan dengan kewajibannya memahami kandungan Al-Qur’an. Lalu, bagaimana dengan pembaca yang tidak mengerti bahasa Arab? Dikutip dari My Personal Encounters with Late Dr Irfan Ahmad Khan|AMUST, Irfan Ahmad Khan berpesan begini, Understanding the Quran in Arabic directly is critical for each Muslim individually. Wallahu’alam.
Daftar Bacaan
Irfan Ahmad Khan, “Authenticity and Development of Islamic Thought,” dalam International Journal of Islamic and Arabic Studies Vol. 4, No. 2 (1987)
Irfan Ahmad Khan, An Exercise in Understanding the Qur’an: An Outline Study of the Last Thirty Divine Discourses (Surah 85–Surah 114) (Chicago: Association of Qur’anic Understanding, 2013)
Irfan Ahmad Khan, Reflections on the Qur’an, Understanding Surahs al-Fatiḥah and al-Baqarah (Leicestershire, UK: Islamic Foundation, 2005)
Tanveer Azmat, “An Introduction to th Qur’anic Hermeneutic of Irfan A. Khan,” dalam Islamic Studies Vol.56, No. 1/2 (2017)
www.amust.com.au/2018/05/my-personal-encounters-with-late-dr-irfan-ahmad-khan/