Mencintai Makhluk, Dicintai Khalik (Bagian 1)

Salah satu cabang keimanan yang harus dimiliki oleh setiap mukmin adalah mencintai manusia seperti dia mencintai dirinya sendiri. Sebab, iman seorang mukmin tidak akan sempurna sampai dia mencintai saudaranya (baik Muslim maupun non Muslim) seperti dia mencintai dirinya sendiri. Oleh karena itu, setiap mukmin harus memperlakukan semua saudaranya sebagaimana dia ingin diperlakukan (baik menyangkut nasihat, hukuman, pekerjaan, maupun menyangkut hubungan muamalah secara umum), tidak boleh menyakitinya, dan menjaga kehormatannya. Dalam hal ini, ketika dia mengetahui kebaikan saudaranya, maka tampakkanlah. Namun, jika dia mengetahui aib saudaranya, maka rahasiakanlah (Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Qāmi‘ augyān, hlm. 27).

Kasih sayang merupakan sifat yang agung, yang dengannya Allah menyifati para sahabat, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Fatḥ (48): 29. Bahkan berkasih sayang kepada manusia (at-tawaddud ilā an-nās) merupakan akal (pikiran dan kepandaian) yang paling agung setelah iman kepada Allah. (Habib Zein bin Smith, Fawā’id al-Mukhtārah, 2008: 460 dan Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Naā’i al-‘Ibād, hlm. 28).

Oleh karena itu, Islam sangat mendorong umat Islam agar berkasih sayang kepada sesama makhluk yang ada di muka bumi, seperti manusia (baik mukmin maupun kafir), binatang (baik piaraan maupun liar), maupun lainnya. Hal ini berdasarkan beberapa hadis, seperti “Allah tidak akan menyayangi orang yang tidak menyayangi manusia,” “Barang siapa yang tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi,” dan “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Allah Yang Maha Penyayang. Sayangilah para penduduk bumi, maka para penduduk langit akan menyayangi kalian” (Mawsū‘ah Narah an-Na‘īm, 1998, VI: 2095-2096 & 2101 dan Naā’i al-‘Ibād, hlm. 3).

Menurut Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, salah satu bentuk menyayangi manusia―selain kemurahan hati dan empati―adalah memintakan ampunan dan rahmat kepada Allah untuknya. Ketika kita menyayangi penduduk bumi, maka Allah dan para malaikat―yang merupakan penduduk langit, di mana jumlah mereka lebih banyak daripada penduduk bumi―akan menyayangi kita (Naā’i al-‘Ibād, hlm. 3).

Baca Juga:  Sisi Metafisik Nabi Muhammad

Selain itu, kasih sayang merupakan salah satu jalan cepat yang bisa mengantarkan seorang sālik sampai kepada Allah. Bahkan perkara pertama yang akan diangkat (dihaturkan) ke hadirat Allah dari umat Islam adalah kasih sayang dan empati, sebagaimana dikatakan oleh Abu Abdillah bin ‘Auf. Nabi Musa as. pernah bertanya kepada Allah tentang orang yang paling dicintai-Nya. Allah menjawab, “Orang yang paling Aku cintai adalah orang yang ketika mendengar saudaranya yang mukmin tertusuk duri, maka dia bersedih seakan-akan dia sendiri yang tertusuk duri tersebut” (Syekh Abdul Wahhab asy-Sya‘rani, Tanbīh al-Mugtarrīn, hlm. 121). Syekh Abdul Qadir al-Jailani menyebutkan bahwa dirinya bisa sampai kepada Allah karena kemurahan hati, tawaduk, dan hati yang selamat (dari penyakit-penyakit hati), bukan karena banyak mengerjakan salat malam dan puasa sunah (Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Salālim al-Fualā’ ‘alā Hidāyah al-Ażkiyā’ ilā arīq al-Awliyā’, hlm. 14).

Menurut Imam Hasan al-Bashri, salah satu tanda wali Abdal adalah memiliki kasih sayang dan empati yang besar kepada orang-orang Islam. Maka dari itu, Syekh Ma‘ruf al-Karkhi menyebutkan bahwa barang siapa yang membaca doa “Allāhummaram ummata muammadin. Allāhumma ali ummata muammadin. Allāhumma farrij ‘an ummati muammadin (Ya Allah, sayangilah umat Muhammad. Ya Allah, perbaikilah umat Muhammad. Ya Allah, lapangkanlah umat Muhammad)” setiap hari, maka dia dicatat sebagai bagian dari wali Abdal (Tanbīh al-Mugtarrīn, hlm. 121-122).

Baik Allah maupun Nabi Muhammad saw. adalah Sama-sama Penyayang

Habib Zein bin Smith menyebutkan bahwa Allah akan memperlakukan seseorang di hari kiamat kelak sesuai perlakuannya kepada saudaranya ketika masih hidup di dunia. Jika dia memperlakukan saudaranya dengan kasih sayang, kebaikan, dan kemanfaatan (seperti memberikan perlindungan dan membuat tempat berteduh untuk peristirahatan orang-orang), maka Allah akan memperlakukannya dengan hal yang sama (Fawā’id al-Mukhtārah, hlm. 460).

Baca Juga:  Suluk Makrifat ala Al-Ghazali

Allah sendiri adalah Zat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang, sebagaimana disebutkan dalam Bismillāhir-ramānir-raīm. Dia telah mewajibkan atas diri-Nya sifat rahmat (kasih sayang) kepada seluruh makhluk-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam al-An‘am (6): 12. Al-A‘rāf (7): 156 menyebutkan, “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” Ayat ini menunjukkan bahwa rahmat (kasih sayang) Allah meliputi seluruh makhluk (bahkan iblis sekalipun), baik di bumi maupun di langit (Syekh Wahbah az-Zuḥailî, at-Tafsîr al-Munîr, 2009, IV: 157 & V: 132).

Allah memilih nama ar-Ramān dan ar-Raīm daripada nama-nama-Nya yang lain dalam Bismillāhir-ramānir-raīm merupakan sebuah petunjuk bahwa kasih sayang Allah mendahului amarah-Nya. Dalam kitab yang berada di atas Arasy tertulis, “Inna ramatī taglibu gaabī (sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku).” Oleh karena itu, setiap orang hendaknya menyayangi dan mengasihi saudaranya karena mengikuti dan meniru Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah berfirman dalam kitab Injil, Wahai anak Adam, jika engkau menyayangi, maka engkau akan disayangi. Sebab, bagaimana mungkin kamu mengharap kasih sayang Allah kepadamu, sementara kamu tidak menyayangi hamba-hamba-Nya?” (Syekh Ihsan Jampes, Sirāj aālibīn, Juz I: 5 dan Mawsū‘ah Narah an-Na‘īm, hlm. 2091).

Allah mengutus Nabi Muhammad saw. sebagai rahmat bagi sekalian alam, sebagaimana disebutkan dalam al-Anbiyā’ (21): 107 dan beberapa hadis, seperti: “Aku adalah rahmat yang diberikan (untuk sekalian alam)” dan “Aku diutus sebagai rahmat, dan aku tidak diutus sebagai penyiksa.” Menurut Syekh Abul ‘Abbas al-Mursi, seluruh nabi diciptakan dari rahmat. Sedangkan Nabi Muhammad saw. adalah rahmat itu sendiri. Berkat Nabi Muhammad saw. rahmat Allah yang berupa alam semesta dan seluruh isinya diciptakan. Berkat Nabi Muhammad saw. alam semesta dan seluruh isinya disayangi oleh Allah. Dan berkat Nabi Muhammad saw. pula seluruh kebaikan, cahaya (petunjuk), dan keberkahan dari awal penciptaan hingga akhir penciptaan ditampakkan dalam kehidupan. Maka dari itu, salah satu nama Nabi Muhammad saw. adalah ramah (kasih sayang), nabiyyur ramah (Nabi kasih sayang), dan rasūlur ramah (Rasul kasih sayang) (Syekh Muhammad al-Mahdi, Maāli‘ al-Masarrāt bi Jalā’i Dalā’il al-Khairāt, 1289: 77-78, 84, 95).

Baca Juga:  Tiga Kiat Hidup Bahagia dan Damai ala Buya Syakur Yasin

Bahkan Allah menamai Nabi Muhammad saw. dengan dua nama terbaik (al-asmâ’ al-khusnâ)-Nya  sekaligus, yaitu ar-Ra’uf dan ar-Raîm, sebagaimana disebutkan dalam at-Taubah (9): 128. Makna ar-Ra’uf adalah sangat pengasih kepada orang-orang yang lemah, susah, menderita, dan tertindas. Sedangkan makna ar-Raîm adalah umum kepada siapa saja, yaitu kasih sayang kepada semua orang, baik dalam keadaan susah dan lemah maupun dalam keadaan bahagia dan jaya (At-Tafsîr al-Munîr, VI: 93-94). Allah memberikan dua nama terbaik-Nya sekaligus tersebut hanya kepada Rasulullah saw. Maka dari itu, tidak ada satu pun para nabi di muka bumi ini yang memiliki dua nama terbaik Allah sekaligus selain Rasulullah saw (Syekh Aḥmad aṣ-Ṣâwî, Tafsîr aâwî, II: 176). Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Akam.

0 Shares:
You May Also Like