Puasa membersihkan dan menyucikan jiwa dari akhlak yang tercela dan berbagai macam keburukan. Selain menyucikan jiwa, puasa juga mempersempit dan mengekang jalan dan cara setan. Disebutkan bahwa hasrat seksual merupakan senjata setan yang paling membahayakan dalam menggoda manusia. Oleh karena itu, sebagian sekolah psikologi menyatakan bahwa hasrat seksual itu adalah penggerak yang paling utama bagi seluruh perilaku manusia (Imam Ibnu Kaśîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẓîm, 2000: 236 dan Syekh Yusûf al-Qaraḍâwî, Taysîr al-Fiqh fî Ḍaw’i al-Qur’ân wa as-Sunnah (Fiqh aṣ-Ṣiyâm), 1993: 13).
Sementara puasa memiliki pengaruh yang sangat kuat untuk melemahkan dan mengendalikan dorongan hasrat seksual dan meninggikan kedudukannya, terutama ketika puasa itu senantiasa dilakukan karena mengharap balasan dari Allah. Kedudukan hasrat seksual itu akan tinggi jika disalurkan secara benar sesuai aturan syariat Islam. Sebaliknya, hasrat seksual akan menjadi hina dan bahkan menjadi sumber penyakit dan malapetaka jika disalahgunakan atau disalurkan secara tidak benar yang menyimpang dari aturan syariat Islam. Disebutkan bahwa penyebab timbulnya kerusakan dan penyakit-penyakit yang dialami tentara-tentara di Barat sekarang adalah penyalahgunaan hasrat seksual (Fiqh aṣ-Ṣiyâm, hlm. 13).
Dengan demikian, puasa Ramadan merupakan anugerah agung yang diberikan Allah kepada umat manusia, terutama orang-orang beriman. Sebab, puasa Ramadan adalah madrasah khusus yang disediakan Islam setiap tahun bagi orang-orang beriman untuk mendidik perilaku dan aktifitas mereka berdasarkan nilai-nilai yang paling agung dan moral yang paling tinggi. Sementara kita memang dituntut untuk senantiasa membersihkan ruhani dan jasmani serta melatih, mendidik, dan memperbarui kesadaran diri secara terus menerus; salah satunya dengan puasa Ramadan (Fiqh aṣ-Ṣiyâm, hlm. 15 dan Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1: 420).
Oleh karena itu, barangsiapa yang menginginkan karunia Allah dalam madrasah khusus (bulan Ramadan) tersebut dengan melaksanakan puasa secara baik seperti diperintahkan oleh Allah dan melaksanakan ibadah-ibadah secara baik seperti disyariatkan oleh Rasulullah saw., maka dia akan lulus dari ujian dan keluar dari madrasah khusus dan musim agung (bulan Ramadan) tersebut dengan mendapatkan keuntungan perniagaan (dengan Allah) dan keberkahan transaksi (dengan Allah). Keuntungan tersebut adalah memperoleh ampunan dari Allah dan bebas dari api neraka. Dua hal inilah merupakan keuntungan yang paling agung bagi orang-orang beriman (Fiqh aṣ-Ṣiyâm, hlm. 15-16).
Makanya, Syekh Yûsuf al-Qaraḍâwî menegaskan bahwa orang yang paling sial dan rugi adalah orang yang terhalangi untuk mendapatkan rahmat Allah pada bulan Ramadan. Orang akan menerima rahmat Allah jika dia menghadap kepada Allah dan bersungguh-sungguh dalam berzikir, bersyukur, dan memperbaiki ibadah kepada-Nya. Sebab, Ramadan adalah musim kebaikan, di mana pada bulan Ramadan inilah kebaikan-kebaikan dilipatgandakan, ampunan Allah sangat diharapkan, dan kecintaan kepada kebaikan bertambah (lihat akun Twitter @alqaradawy, 04/04/2022).
Menurut Buya Hamka, Rasulullah saw. telah memberikan contoh untuk mengisi bulan Ramadan dengan berbagai macam ibadah dan kebaikan, seperti salat Tarawih, qiyâm al-lail, memperbanyak baca Al-Qur’an, tadarus, bersedekah, memberi makan fakir dan miskin, dan memberikan jamuan meskipun dengan seteguk air, sebutir kurma, dan sepiring nasi (Tafsir al-Azhar, hlm. 425). Ibadah lain yang penting dilakukan pada bulan Ramadan adalah iktikaf, tafakur, muhasabah, memperbanyak zikir dan salawat, mencari ilmu, dan lainnya.
Menumbuhkan Kepekaan dan Kepedulian Sosial
Puasa memiliki faedah dan kemaslahatan bagi umat manusia yang sangat banyak, baik secara individu maupun secara sosial. Faedah puasa secara individu adalah: pertama, membersihkan jiwa dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dan melatih jiwa untuk menyempurnakan ibadah hanya karena Allah meskipun dua hal ini diperoleh dengan mengekang hawa nafsu dan membebaskannya dari kesenangan-kesenangannya. Sebab, jika seorang mukmin berkehendak, maka dia bisa saja makan, minum, dan melakukan hubungan seksual pada siang Ramadan tanpa diketahui oleh siapa pun. Akan tetapi, dia meninggalkan semua itu hanya demi Allah.
Kedua, menyehatkan jiwa dan raga; ketiga, mendidik kehendak dan jihad melawan hawa nafsu; keempat, membiasakan dan mendidik kesabaran; kelima, melawan kesenangan-kesenangan; dan keenam, merasakan nikmat Allah. Sebab, ketika kita terbiasa merasakan kenikmatan-kenikmatan, maka kita tidak akan merasakan betapa berharganya nikmat-nikmat itu. Sebaliknya, kita akan merasakan dan mengetahui betapa berartinya nikmat itu ketika ia sudah tiada. Artinya, kita akan merasakan nikmatnya kenyang dan segar ketika sedang lapar dan haus. Kita juga akan merasakan nikmatnya sehat ketika sedang sakit (Fiqh aṣ-Ṣiyâm, hlm. 12-14).
Adapun faedah puasa secara sosial adalah mewujudkan persamaan di antara orang kaya, fakir, pemimpin, dan rakyat dengan melaksanakan kewajiban yang sama. Orang-orang beriman yang berpuasa (baik kaya, fakir, pemimpin, maupun rakyat) akan merasakan perasaan yang sama pada siang bulan Ramadan, yaitu rasa lapar dan dahaga. Selain itu, puasa juga meningkatkan kesadaran, kepekaan, dan kepedulian sosial, terutama terhadap orang-orang lemah dan fakir miskin. Sebab, puasa menumbuhkan sensitivitas perasaan yang lembut, simpati, dan kasih sayang, di mana perasaan ini akan mendorong (melahirkan) kedermawanan dan pemberian. Melalui puasa ini akan tumbuh perasaan dalam jiwa orang-orang mampu dan kaya raya terhadap penderitaan orang-orang lemah dan fakir miskin (Syekh Wahbah az-Zuḥaili, Tafsîr al-Munîr, Jilid 1, 2009: 498 dan Fiqh aṣ-Ṣiyâm, hlm. 14).
Dengan demikian, ketika seseorang lapar karena berpuasa, maka dia akan teringat dan memikirkan nasib orang-orang lemah dan fakir miskin. Sehingga puasa itu mendorong dirinya untuk membantu dan menghibur mereka. Simpati dan kasih sayang kepada sesama ini merupakan salah satu sifat orang-orang beriman, sebagaimana disebutkan dalam al-Fatḥ (48): 29. Makanya, Rasulullah saw. menamai Ramadan―salah satunya―dengan bulan pertolongan dan pelipur lara (syahr al-muwâsâh). Dan beliau sendiri merupakan orang yang paling dermawan dengan kebaikan-kebaikan di bulan Ramadan melebihi angin yang berembus (Tafsîr al-Munîr, hlm. 498 dan lihat akun Twitter @alqaradawy, 11/04/2022).
Namun demikian, semua faedah puasa, baik menyangkut jasmani, ruhani, kesehatan, maupun sosial, masih bergantung kepada sikap adil (seimbang) ketika berbuka dan sahur. Sebab, jika kita tidak bisa berlaku adil dalam mengkonsumsi makanan dan minuman ketika berbuka dan sahur (seperti berlebihan dan kekenyangan atau telat berbuka dan tidak bersahur), maka kita tidak akan mendapatkan faedah puasa. Sebaliknya, kita akan mendapatkan kemudaratan, bahaya, dan penyakit (Tafsîr al-Munîr, hlm. 498).
Selain itu, Islam juga memberikan beberapa aturan untuk mendapatkan faedah puasa tersebut, seperti mengendalikan lisan, menjaga pandangan mata, dan mencegah diri dari gibah, fitnah, adu domba, dan permainan (hiburan) yang haram (Tafsîr al-Munîr, hlm. 498). Menurut Buya Hamka, puasa melatih orang-orang beriman untuk mengendalikan diri, baik ketika berpuasa maupun ketika berbuka (dan sahur), sehingga takwa yang menjadi tujuan puasa betul-betul digapai.
Ketika seseorang tidak bisa mengendalikan diri saat berbuka dan sahur, maka dia akan menghabiskan belanja secara boros (sehingga belanja sebulan sama dengan belanja setahun). Selain itu, dia akan kekenyangan, sehingga malas untuk beribadah, seperti Tarawih dan tadarus, karena sudah mengantuk. Orang yang berpuasa tanpa mengendalikan diri ini tentu memiliki peluang kecil untuk mendapatkan faedah takwa (Tafsir al-Azhar, hlm. 418-419).
Wallâhu A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…