Ramadan: Madrasah Spiritual Orang-Orang Beriman (Bagian 2)

Syekh Ibrahim bin ‘Ubaid Âli ‘Abd al-Muḥsin menyebutkan bahwa Ramadan adalah bulan kesabaran, dan pahalanya adalah surga. Pada bulan berkah ini, rezeki orang-orang beriman ditambah, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, setan-setan yang durhaka dan jahat dibelenggu, dan pintu-pintu kasih sayang (rahmat) Allah dibuka lebar bagi orang-orang yang berbuat kebaikan nan bertakwa (‘Uqûd al-Lu’lu’ wa al-Marjân fî Waẓâ’if Syaḥr Ramaḍân, 1981: 30). Mengapa Ramadan disebut bulan kesabaran? Sebab, pada bulan itu orang-orang beriman wajib berpuasa selama sebulan penuh. Kewajiban ini disebutkan secara tegas dalam surah al-Baqarah (2): 183, yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”.

Mengapa Allah mewajibkan puasa selama sebulan penuh kepada orang-orang beriman semata? Sebab, puasa adalah ibadah yang berat, yaitu menahan makan, minum, melakukan hubungan seksual, dan mengendalikan diri dalam berbicara, melihat, dan mendengar mulai waktu fajar hingga waktu magrib, serta memperbanyak ibadah kepada Allah. Dengan demikian, hanya orang-orang berimanlah yang bersedia hati dan sanggup menjalankan perintah Ilahi yang berat tersebut (Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1: 417- 419).

Mereka, dengan keimanannya kepada Allah, akan mengorbankan kesenangannya, mengubah kebiasaannya, dan menahan nafsunya demi menjalankan perintah Allah. Mereka yang biasanya makan dan minum pada siang hari akan berpuasa ketika memasuki bulan Ramadan meskipun tidak ada orang yang melihat. Sebab, mereka percaya bahwa Allah senantiasa melihat. Mereka yang biasanya tidur nyenyak pada dini hari akan bangun untuk sahur agar bisa melaksanakan perintah Allah (berpuasa) dengan baik (hlm. 417- 418).

Mengendalikan Dua Syahwat yang Sangat Membahayakan

Tujuan puasa adalah la‘allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa), sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah (2): 183. Menurut Syekh Yusûf al-Qaraḍâwî, setiap ajaran Islam yang dibebankan kepada umat Islam memiliki hikmah, dan seluruh hikmah serta kemaslahatan dalam ketaatan itu kembali kepada mereka. Sebab, Allah sama sekali tidak butuh terhadap mereka. Sebaliknya, mereka sangat fakir (butuh) kepada Allah. Oleh karena itu, tidak satu pun ketaatan yang memberikan manfaat kepada Allah, dan tidak satu pun kemaksiatan yang memudaratkan-Nya, karena Allah adalah Zat Yang Maha Kaya dan Maha Berdiri Sendiri (Taysîr al-Fiqh fî Ḍaw’i al-Qur’ân wa as-Sunnah (Fiqh aṣ-Ṣiyâm), 1993: 11-12).

Baca Juga:  Telaah Sosiologis Rasionalisme di Awal Islam (2): Irasionalitas Dunia Arab sebelum Islam

Imam Fakhruddîn ar-Râzî menyebutkan bahwa makna la‘allakum tattaqûn adalah puasa mewariskan takwa, karena puasa bisa melemahkan syahwat dan mengendalikan hawa nafsu. Sedangkan syahwat merupakan asal (sumber) perbuatan-perbuatan maksiat. Terkendalinya syahwat dan hawa nafsu ini bisa mencegah keburukan, kesombongan, perbuatan-perbuatan keji, dan meremehkan (menganggap tidak penting) kemewahan dan kelezatan dunia (At-Tafsîr al-Kabîr, Juz 5, 1981: 76 dan Imam Jalâluddîn as-Suyûṭî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẓîm, hlm. 26).

Oleh karena itu, puasa merupakan salah satu sarana yang paling utama untuk membersihkan jiwa dan ibadah yang paling kuat untuk mengendalikan hawa nafsu. Makanya, puasa diajarkan dalam setiap agama sejak zaman Nabi Adam, Mesir kuno, Yunani, Romawi, masa Nabi Musa as. dan Nabi Isa as. hingga masa Nabi Muhammad saw. Bahkan puasa juga diajarkan dalam tradisi orang-orang yang menyembah berhala dari dahulu hingga sekarang (Syekh Ahmad Musṭafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, Juz 2, 1946: 68).

Selain itu, puasa adalah sarana untuk latihan mengendalikan diri, mendidik keinginan, dan mengekang hawa nafsu. Sebab, puasa melemahkan dan mengekang syahwat perut (makan dan minum) dan seksual. Sementara naluri manusia memang senantiasa berusaha keras untuk memuaskan syahwat perut dan seksual ini. Dua syahwat ini (perut dan seksual) sangat mempengaruhi hidup manusia. Dengan demikian, ketika dua syahwat ini tidak bisa dikendalikan, maka kemanusiaan seseorang akan rusak berubah menjadi kebinatangan. Sebaliknya, ketika seseorang bisa mengendalikan dan mengontrol dua syahwat tersebut, maka kemanusiaannya akan meningkat (Tafsir al-Azhar, hlm. 418 dan At-Tafsîr al-Kabîr, hlm. 76).

Oleh karena itu, ketika seseorang banyak berpuasa, maka dua perkara itu (syahwat perut dan seksual) menjadi mudah baginya, dan beban (kesukaran) keduanya menjadi ringan untuk ditangani. Hal ini pada gilirannya akan mencegah orang itu melakukan perbuatan-perbuatan haram dan keji, dan menganggap remeh kelezatan dan gemerlap dunia. Semua ini menyatukan berbagai sebab ketakwaan kepada Allah. Sebab, kecintaan kepada makanan (untuk memuaskan syahwat perut) dan pernikahan (untuk memuaskam syahwat seksual) lebih dahsyat daripada kecintaan kepada perkara-perkara lain. Ketika kita mudah bertakwa kepada Allah dengan cara meninggalkan keduanya (memuaskan syahwat perut dan seksual), maka bertakwa kepada Allah dengan cara meninggalkan perkara-perkara lain adalah lebih ringan dan mudah (At-Tafsîr al-Kabîr, hlm. 76).

Baca Juga:  Haji adalah Arafah dan Arafah adalah Makrifat

Dengan demikian, makna al-Baqarah (2): 183 itu adalah: “Aku mewajibkan puasa (Ramadan) kepada kalian agar kalian―dengan puasa itu―menjadi orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang Aku sanjung dalam kitab-Ku. Dan Aku telah menginformasikan bahwa kitab-Ku itu (Al-Qur’an) adalah petunjuk bagi mereka (orang-orang yang bertakwa)” (hlm. 76) (bersambung). Wallâhu A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

0 Shares:
You May Also Like