Menyelami Pemikiran Sang Arif Kontemporer: Edisi Ziarah Makam Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat

Jangan terlalu memikirkan dunia, karena perkara fana adalah milik-Nya. Jangan terlalu fokus pada masalah rezeki, karena Dia telah menentukannya. Fokuslah, bagaimana Anda meridai segala ketentuan-Nya, sehingga Dia akan rida kepadamu, mencukupimu dari berbagai perkara duniawi”- Ayatullah Taqi Bahjat

Sebelum kembali ke tanah air, saya berencana menghabiskan waktu untuk melakukan safari spiritual dan intelektual di negeri para Mullah ini. Salah satu tokoh kharismatik yang ingin saya ziarahi adalah Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat, seorang arif ternama Republik Islam Iran. Beliau telah menghidupkan nuansa sufistik dari berbagai studi kajian; baik filsafat, ulumul Quran, etika, maupun sosial. Safari spiritual ini dimaksudkan untuk mengenal lebih jauh peradaban pemikiran arif kontemporer. Perjalanan menuju makam Ayatullah Bahjat kami tempuh selama 2 jam dari Tehran. Makam sufi agung tersebut terletak di kawasan makam suci Sayyidah Fathimah Ma’shumah di kota Qom—sebuah provinsi di Iran yang terletak sekitar 156 km barat daya ibu kota Tehran.

Biografi Singkat

Muhammad Taqi Bahjat, dalam pembacaan literatur pemikir Iran kontemporer, merupakan salah satu ahli ‘irfan yang lahir pada tahun 1916 M di kota Fuman, bagian utara Republik Islam Iran. Beliau lahir dalam keluarga yang taat beragama. Pada usia 16 bulan, ia kehilangan sosok Ibu tercinta. Sehingga Ayatullah Taqi Bahjat dibesarkan dan dibimbing oleh ayahnya, Karbalai Mahmud, yang berprofesi sebagai pembuat roti tradisional Iran di kota Fuman. Karbalai Mahmud mengajari Ayatullah Taqi Bahjat beberapa pengetahuan dasar, seperti akidah, Al-Qur’an, dan ilmu akhlak.

Selain mendapat pendidikan dasar bersama sang Ayah, Ayatullah Taqi Bahjat juga senantiasa mengikuti berbagai seminar dan kajian akhlak bersama para lulusan Najaf di kota kelahirannya. Sentuhan pendidikan para lulusan Najaf, ditambah motivasi yang kuat, mendorong Ayatullah Taqi Bahjat untuk melanjutkan pendidikannya ke Najaf, Irak. Di kota ilmu ini, ia dibimbing langsung oleh Ayatullah Syekh Murtadha Thaliqani untuk memahami pengetahuan ilmu Islam, seperti ushul fikih, akhlak, dan ‘irfan. Ia berhasil menyelesaikan studi pada tahun 1934 M.

Baca Juga:  Abu Bakr Al-Razi (1): Akal dan Kenabian, Kritik terhadap Agama-Agama Wahyu

Setelah menyelesaikan studi di Najaf, Irak, Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat memutuskan untuk kembali ke Iran di tahun 1944. Ia pun menetap beberapa bulan di kampung halamannya dalam rangka berjumpa dan bersilaturahmi kepada sanak saudara. Setelah beberapa bulan, ia memutuskan untuk hijrah ke kota Qom dan mempengaruhi berbagai pemikiran para ulama Islam kontemporer, seperti Seyyed Abidin Bozorgi, Jawadi Amuli, Murtadha Mutahhari, Muhammad Yazdi, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, dan Ali Akbar Mas’udi Khomeini dalam bidang ‘irfan, teologi, ilmu Al-Qur’an, etika, dan politik.

Atas pengaruh dan pandangannya di berbagai bidang ilmu pengetahuan, Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat dipandang sebagai salah satu marja kontemporer. Banyak ilmuwan atau intelektual yang menukil karya dan pemikirannya. Hingga akhir hayatnya di tahun 2009, Ayatullah Taqi Bahjat dimakamkan tepat di pusara Sayyidah Ma’sumah, Qom.

Beberapa Pemikiran Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat

Salat

Salat dalam pandangan Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat merupakan prinsip dasar keyakinan dan kesadaran manusia terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan Pencipta segala sesuatu di dunia. Muhammad Ayatullah Taqi Bahjat menggunakan kata agohi dalam pemaknaan salat daripada kata ’ilm yang mendeskripsikan bahwa pemaknaan salat adalah suatu perilaku yang dilakukan berdasarkan pengetahuan individu daripada penggunaan kata ’ilm yang sekadar tahu tanpa dilakukan dalam kehidupan.

Keyakinan dan kesadaran manusia terhadap eksistensi Tuhan akan membangun aktivitas penghambaan untuk memahami bahwa eksistensinya bersifat terbatas, jika dibandingkan dengan keberadaan-Nya sebagai wujud mutlak. Ketakwaan akan membatasi perilaku dan tindakan manusia dari berbagai hal yang dipandang tercela dalam rangka mencapai kebahagiaan di hari akhir.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa urgensi utama dari salat, ialah: Pertama, membangun kesadaran dan keyakinan manusia terhadap hakikat eksistensi dirinya di dunia. Kedua, membangun jati diri yang bertakwa dan taat dalam ruang peribadahan untuk bersaksi keesaan Tuhan dan kebenaran eksistensi kenabian sebagai utusan-Nya. Ketiga, mencegah manusia dari berbagai perilaku tercela di realitas. Keempat, manusia memiliki pola pikir yang bersifat optimis untuk mencapai kehidupan yang sempurna pascakehidupan dunia.

Baca Juga:  Seni Agar Allah Jatuh Cinta ala Sufi (Bagian 3)

Takwa

Takwa dalam pandangan Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat, dapat dipahami melalui dua pemaknaaan, antara lain: takwa bermakna umum berarti ketundukan seorang hamba kepada Tuhan dan menghindari berbagai larangan-Nya. Sedangkan, takwa bermakna khusus adalah peleburan seorang hamba untuk percaya, yakin, dan patuh kepada Tuhan atas dasar cinta.

Takwa dalam pandangan umum ditinjau berdasarkan tujuan dan maksud untuk mencapai suatu nilai yang lebih baik pascakehidupan dunia, sebagaimana doktrin agama mengajarkan kepada para pengikutnya. Sedangkan, takwa bermakna khusus ialah usaha yang dilakukan seorang pecinta untuk mendekati sosok yang dicintai tanpa maksud dan tujuan selain memperoleh cinta dan harmonisasi antara dirinya dan Tuhan sebagai sosok yang dicintai. Berdasarkan penjelasan pembagian ini, Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat memandang bahwa takwa dalam pemaknaan khusus memiliki nilai filosofis yang sangat dalam bagi diri seorang hamba untuk beribadah berdasarkan cinta kepada-Nya. Ibadah tidak sebatas dipandang sebagai pernyataan keyakinan dan kepercayaan hamba, melainkan sebuah pernyataan cinta dan kasih sayangnya kepada Tuhan.

Adapun urgensi takwa menurut Ayatullah Bahjat, yaitu: Pertama, memahami hakikat eksistensi dirinya dan Tuhan dalam ruang lingkup cinta. Kedua, memahami esensi ibadah kepada Tuhan. Ketiga, menyadari tujuan utama dari praktik ibadah yang berbasis pada nilai cintai. Keempat, mengetahui kedudukan hamba dan Tuhan di realitas.

Hakikat Jiwa

Jiwa dalam pandangan Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat, sebagaimana pandangan para filsuf ialah kesempurnaan yang dimiliki manusia yang bersifat potensial. Potensialitas jiwa bergantung pada tubuh untuk menyempurnakan berbagai dayanya. Selain menyakini jiwa sebagai potensialitas, Ayatullah Taqi Bahjat juga memandang bahwa jiwa merupakan jalan menuju Tuhan, karena pada dasarnya manusia dapat mencapai perjalanan spiritual melalui kesempurnaan jiwanya dengan mengaktualkan paradigma dan perilakunya di realitas.

Baca Juga:  Ijtihad Kebangsaan R.K.H. Abdul Hamid Baqir

Di satu sisi, Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat juga memandang bahwa jiwa merupakan salah satu jalan menuju Tuhan dalam pembacaan teologi. Hal itu karena jiwa merupakan substansi immateri manusia yang senantiasa mengalami aktualitas pasca kehidupan duniawi. Artinya, jiwa bersifat abadi, sedangkan tubuh akan mengalami kehancuran di dunia, sebagaimana Plato dan Ibn Sina berpandangan demikian. Keabadian jiwa mendeskripsikan bahwa manusia akan mengalami kehidupan baru, setelah dunia dalam bentuk yang bersifat halus. Jika jiwa manusia tidak dilatih dan disucikan di dunia, maka kondisi jiwa akan mengalami deaktualisasi yang mendeskripsikan kelemahan dan kecatatan jiwa individu pascakehidupan dunia di realitas.

Adapun Urgensi Hakikat Jiwa, antara lain: Pertama, manusia mengetahui hakikat dirinya. Kedua, manusia memahami tujuan kehidupan dunia untuk mencapai kehidupan immateri. Ketiga, manusia menyadari potensi dirinya di realitas. Berdasarkan tiga pemikiran Ayatullah Taqi Muhammad Bahjat, kita dapat memahami bahwa manusia memiliki berbagai ruang potensi untuk memahami hakikat dirinya perihal takwa dan ibadah. Urgensi pemikirannya mengantarkan beliau sebagai salah satu pemuka agama dan arif yang disegani dan disayangi di berbagai kalangan, baik di masa hidupnya maupun setelah kematiannya. Setiap hari para peziarah datang berkunjung dan meramaikan pusaran sang arif kontemporer itu, untuk berdoa dan mengenang berbagai karya dan pemikirannya di berbagai ilmu pengetahuan.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Historisitas Khittah NU

Berawal dari teman-teman Gusdur (K.H. Abdurrahman Wahid) yang banyak mengatasnamakan diri sebagai pencinta NU (Nahdlatul Ulama). Kendati demikian,…