Akhir tahun selalu menjadi titik penting bagi setiap orang untuk me-review perjalanan hidupnya. Berhenti sejenak untuk melakukan muhasabah diri; mensyukuri setiap kebaikan yang mampu ditunaikan dan merevolusi ketidakpantasan yang pernah dilakukan.
Namun, muhasabah diri bukanlah perkara yang mudah dilakukan, benar bukan? Mengapa? Karena tak punya waktu; waktunya habis untuk melihat orang lain ketimbang diri sendiri dan tak punya kemauan; entah karena acuh pada diri sendiri atau tak tahu cara melakukannya, atau juga karena faktor lain, saya tidak tahu.
Yang saya tahu, Al-Qur’an dengan indah mengingatkan setiap jiwa yang beriman untuk melakukan muhasabah diri untuk hari kemudian. Menariknya, ayat muhasabah ini diapit dengan perintah bertakwa. Ketakwaan adalah hulu-hilir dari mereka yang selalu muhasabah diri. Perhatikan ayat berikut,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18)
Selanjutnya, apa sih tolok ukur atau barometer dalam muhasabah diri? Dengan apa kita menilai perbuatan kita yang telah lalu? Dari mana kita tahu suatu perbuatan pantas atau tidak dilakukan?
Mungkin akan banyak jawaban yang muncul, tapi saya memilih satu jawaban, yaitu cinta. Iya benar, cinta. Cinta yang berada dalam diri kita, nurani kita dan kedalaman diri setiap manusia. Lalu, Anda bertanya lagi, mengapa cinta? Karena cinta adalah poros segala keindahan, hulu-hilir segala kedamaian dan asal-muasal segala keberadaan.
Bukankah Tuhan memperkenalkan dirinya dengan Tuhan yang Maha Cinta dan Maha Kasih; Ar-Rahman dan Ar-Rahim? Bukankah Tuhan menciptakan alam semesta atas dasar cinta dan kasih sayang? Sebagaimana dalam Hadist Qudsi dituturkan:
“Seandainya bukan karena engkau (wahai Muhammad), maka tidak Aku ciptakan alam semesta”. (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah)
Lalu, kita menemukan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah rahmat, kasih sayang yang dihadiahkan bagi alam semesta.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya’ [21]: 107)
Dengan demikian, cinta dan kasih sayanglah penyebab seluruh ciptaan dengan segala keindahannya.
Dalam Hadis Qudsi yang lain,
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk supaya Aku dikenal”.
Dalam hadis ini, frasa yang digunakan adalah “ahbabtu” yang lagi-lagi bermakna cinta. Dari sini, dengan jelas kita dapat memahami bahwa hanya cintalah asal-muasal segala keberadaan.
Kembali pada muhasabah diri, muhasabah diri dengan cinta. Melihat kembali perbuatan yang lalu dengan kacamata cinta, sehingga, pertanyaan yang diajukan pada diri adalah sudahkan saya melakukan perbuatan ini dengan cinta? Sesuaikah perbuatan saya itu dengan asas cinta? Apakah perilaku saya sudah menimbulkan cinta pada orang lain? Dan seterusnya.
Muhasabah diri dengan cinta boleh jadi menjadi alternatif bagi akhir tahun kita kali ini. Mengingat banyak peristiwa yang terjadi di tanah air kita yang belum seirama dengan nada-nada cinta. Terlebih di bulan-bulan terakhir ini, banyak gesekan dan problem yang boleh jadi penyebab utamanya adalah ketiadaan cinta.
Jika ada pepatah yang menyebutkan, “Tak kenal maka tak cinta.” Saya lebih memilih untuk membaliknya, “Tak cinta maka tak kenal.” Karena dengan cintalah kita akan mengenal sesama, dengan pandangan cintalah kita menghormati sesama dan dengan kacamata cinta kita akan lebih toleransi dan menghargai setiap perbedaan yang ada.
Cinta adalah cahaya yang dapat menyinari hati yang gelap, membuka mata yang tertutup, melapangkan dada yang sempit, serta mencerahkan setiap kepala yang hanya berbicara benar salah tanpa melihat baik-buruk dan konsekuensi indah-tak indahnya pada konteks yang berkaitan.
Dalam bait syair lain dikatakan,
“Bukan titik yang menyebabkan tinta, tapi tinta yang menyebabkan titik. Bukan cantik yang menyebabkan cinta, tapi cintalah yang menyebabkan cantik.”
Mari kita mendahulukan cinta, mengutamakan cinta dan menjadikan cinta sebagai satu-satunya poros kehidupan. Karena dengan cintalah kita dapat memandang perbedaan dan keberagaman sebagai sesuatu yang cantik. Melihat perayaan agama lain sebagai keindahan yang patut dirayakan bersama dalam bingkai persaudaraan.
Jika Prof. Quraish Shihab menulis buku, “Yang Hilang dari Kita: Akhlak“. Mungkin kalau saya berkesempatan menulis buku juga, saya akan memberi judul, “Yang Hilang dari Kita adalah Cinta.”
Akhirnya, pelajaran cinta ini semoga dapat membuka mata lahir-batin kita untuk muhasabah diri dengan cinta dan pelan-pelan menyebarkan cinta; mulai dari diri sendiri, sehingga meluas pada lingkup yang lebih luas; keluarga, kota, negara bahkan seluruh dunia. Dan semoga tahun depan suasana cinta dan kasih sayang lebih dapat dirasakan oleh seluruh rakyat di tanah air Indonesia ini. Allahumma Aamiin.