Menyikapi Warisan Peradaban Islam

Ada makna yang selalu hadir dalam setiap kelas yang saya jalani di semester satu ini, di sekolah pascasarjana Paramadina. Saya ingin berbagi tentangnya. Sebelum itu, izinkan saya berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Paramadina, wa bil khusus: Pak Abdul Hadi, Pak Pipip, Pak Husain, dan Pak Suratno, dosen-dosen yang membimbing kami di semester pertama ini.

Terima kasih juga untuk teman-teman yang selalu semangat dan bersabar menjalani kuliah di masa pandemi. Pandemi adalah tantangan tersendiri bagi kita. Dan saya salut dengan teman-teman yang memilih menginvestasikan usia dan uangnya untuk pendidikan di saat-saat yang tidak mudah seperti ini.

Di rumah, saya hidup bersama emak. Berkat emak kami bisa tetap survive di masa sulit seperti pandemi. Saya selalu tersenyum mendengar emak saya mengaji. Banyak yang salah dari bacaan Al-Qur’annya. Tapi, dia istikamah sekali. Setiap hari emak serius membaca huruf-huruf Al-Qur’an itu. Entah apa pikirannya.

Mungkin itulah yang disebut iman. Meski ilmu emak tidak tinggi, tapi agama ia jalankan penuh semangat dan menikmati. Emak selalu bilang ke saya bahwa wahyu ini benar-benar hidup. Ia sumber kehidupan manusia.

Saya mau menjadi seperti emak. Bisa merasakan hidupnya wahyu itu. Tapi, jalannya saja yang agak berbeda. Tidak seperti emak, saya “tidak dekat dengan Allah”. Emak bisa merasakan spirit wahyu tanpa perlu belajar formal karena ia dekat dengan Tuhan. Saya sebaliknya.

Karena satu-satunya jalan bagi saya adalah lewat belajar, maka dari itu saya berkelana dari satu pondok ke pondok lain. Negara satu ke negara lain. Sejak 2015 hingga 2019 kemarin saya masih mondok di Istanbul, Turki. Dan hari ini saya mondok di Paramadina.

Baca Juga:  Muqaddimah dan Karakteristik Pemikiran Ibn Khaldun

Sampai saat ini, saya tidak bisa berhenti untuk menyelidiki realitas. Baik itu realitas natural maupun sosial. Dalam proses penyelidikan itu, sering saya harus singgah untuk menjadi seorang peragu, menanyakan segala hal, bahkan yang sudah dianggap baku.

Meski begitu, saya selalu memosisikan diri bukan sebagai pelari yang sudah mencapai garis finish. Saya lebih menyukai menjadi seorang anak kecil yang baru saja tiba di pantai, dan takjub serta kagum terhadap indahnya pasir, riuhnya laut, dan luasnya langit.

Itu semua belum ada apa-apanya. Pasir itu belum lagi kita pecah partikelnya. Isi laut itu adalah keajaiban tersendiri. Dan langit, oh langit, planet kita hanya sebutir pasir di langit yang luas ini.

Rasa takjub yang sama muncul ketika berhadapan dengan perpustakaan raksasa bernama “Peradaban Islam”. Saya mengumpamakan peradaban Islam dengan perpustakaan. Perpustakaan yang sudah berumur seribu tahun lebih. Terkubur, tersembunyi dari kesadaran manusia hari ini.

Manusia adalah mikro kosmos. Jika alam itu saja begitu menarik untuk diselidiki misterinya; maka begitu pula misteri manusia. Dan bagi saya manusia adalah cermin bagi peradabannya. Maka, bagaimana sih keadaan manusia Muslim hari ini? Lihat saja peradabannya.

Peradaban kita hari ini, masih bisakah disebut beradab. Bahkan adab itu sendiri terancam punah. Hari ini manusia melanjutkan kebiasaannya bertengkar. Narasi yang membanjiri kita bukan dipenuhi kata-kata logis dan berbobot. Kita tenggelam dalam lautan kata-kata negatif dan penuh rasa benci.

Hari ini sebenarnya tidak banyak yang peduli pada peradaban itu sendiri. Kita bersaing untuk uang dan jabatan. Kerja keras hari ini adalah demi ketenaran dan pangkat. Semua berlomba membeli teknologi paling canggih, lalu mengaku bahwa dirinya sudah menjadi modern.

Baca Juga:  Mengenal Al-Faruqi (2): Jiwa Juang Isma’il Raji’ Al-Faruqi

Peradaban Islam tidak dibangun di atas besi, tembaga, minyak dan jaringan internet canggih. Bukan pula di atas nafsu berkuasa, menguasai negeri, dan mengaku sebagai pembawa mandat syariah Ilahi.

Peradaban Islam bukan slogan dan hingar bingar kerumunan. Bukan pula gerbong yang ditarik oleh orang yang mengaku sebagai imam dan juru selamat.

Peradaban Islam adalah ilmu pengetahuan. Di atas sudah saya bilang, bahwa ia adalah sebuah perpustakaan. Hari ini perpustakaan itu dilupakan, dan orang-orang malah sibuk membangun kuil keramat kelompoknya sendiri. Mereka kira kuil sempit itu bisa menjadi juru selamat manusia global. Kuil itu sempit dan mencerminkan sempitnya pikiran manusia hari ini.

Jika kita serius ingin membangun kembali peradaban rahmatan lil alamin, kita perlu memasuki perpustakaan Peradaban Islam, mempelajari kitab-kitab di sana, meraih sari pati pemikiran yang diwariskan, kemudian melukis peradaban kita sendiri dengan nuansa hari ini.

Dan itu memerlukan kerja keras setengah mati. Ini adalah agenda besar. Sebenarnya ini adalah agenda utama para ilmuwan dan intelektual Islam hari ini. Jaringan intelektual mulai dari perguruan tinggi seperti Paramadina, UIN, UI, UGM, hingga ustadz-ustadz kampung di mushalla, harus bergerak membumikan semangat peradaban dan sains Islam kepada umatnya.

Kita sirami umat dengan air segar dari sungai yang membawa warisan peradaban dan sains Islam itu, sehingga kita bisa berharap, akan tumbuh generasi manusia-manusia Muslim Indonesia yang lebih menghayati agamanya sebagai semangat peradaban, daripada menjadikannya ideologi kekuasaan dan klaim kebenaran eksklusif.

Saya berterima kasih kepada para dosen di semester satu ini karena telah membuka mata saya untuk melihat sari pati peradaban Islam yang lama dilupakan itu.

Baca Juga:  Bagaimana Praktik Tasawuf di Dunia Modern?

Tanpa terjebak ke dalam over-simplifikasi, saya menyadari bahwa sari pati Islam itu adalah: spiritualitas. Saya mengibaratkannya seperti sebuah pohon. Sebut saja pohon spiritualitas Islam. Pohon yang hidup, yang akarnya menembus bumi, dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon sebagai simbol hubungan dengan Tuhan, dan hubungan dengan manusia.

Pohon spiritualitas Islam ini dibentuk oleh komposisi khazanah hikmah dan pengetahuan. Ia bisa kita dapatkan dalam filsafat dan tasawuf. Bahkan filsafat dan tasawuf ini jangan sampai hilang dari seorang Muslim. Karena spiritualitas Islam tersembunyi di dalam peti filsafat dan tasawuf.

Spiritualitas inilah sumber kreativitas dan imajinasi manusia. Dan untuk meraihnya kembali, maka kita perlu membuka pintu perpustakaan Peradaban Islam, mencari kitab-kitab filsafat dan tasawuf di dalamnya, menggali semangat spiritualitas dari mereka, lalu melukis di atas kanvas hari ini menggunakan kuas dan cat spiritualitas yang kita warisi. []

 

0 Shares:
You May Also Like