Bahagia Bersama Tuhan: Catatan Ngaji Kimiya-u as-Sa’adah

Tulisan ini merupakan anotasi dari kajian Ramadhan bedah kitab Kimiya-u as-Sa’adah (kimia-kimia kebahagiaan) karya Imam al-Ghazali yang dibedah dan didiskusikan di Ponpes Darul Afkar Klaten pada 06 Ramadhan 1442 bersama Dr. KH. Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag. selaku pengasuh pondok pesantren. Konon, ada yang mengatakan bahwa kitab Kimiya-u as-Sa’adah ini merupakan karya Imam al-Ghazali yang ke-45 dan ditulis setelah kitab Ihya’ ‘Ulumiddin.

Kitab Kimiya-u as-Sa’adah ditulis dalam bahasa Persia dan diterjemahkan dalam beberapa bahasa seperti Arab, Inggris, Itali, Urdu, bahkan Indonesia. Hal ini menjadi bukti bahwa variabel kebahagiaan memiliki posisi yang penting dalam kehidupan manusia dan agama. Termasuk agama Islam. Menyambung apa yang dituliskan Haidar Bagir, “Ibadah Terbaik untuk Tuhan: Membahagiakan Orang-orang yang Sedih”. Membahagiakan orang merupakan bagian dari beribadah kepada Allah, yang dirujukan dari QS. Al-Baqarah [2]: 155.

Kebahagiaan merupakan kebutuhan dasar manusia. Lemahnya akal, menjadikan manusia tidak tepat memaknai kehidupan, terkhusus soal kebahagiaan. Ketidaktepatan dalam memaknai kebahagiaan akan menghambat datangnya kebahagiaan. Misal, beranggapan kalau kekayaan, pangkat, jabatan dan aspek keduniawian lainnya merupakan satu-satunya sumber kebahagiaan. Memang semua itu dapat medatangkan kebahagiaan, namun bukan bahan bakar pokok dari kebahagiaan.

Banyak terdapat kasus “bunuh diri” yang disebabkan bukan karena kekurangan atau kemiskinan, bahkan secara material mereka tidak berkekurangan. Kasus bunuh diri biasanya disebabkan karena depresi. Depresi merupakan penyakit psikologis yang mengambat optimalisasi kerja fisik. Kesedihan yang mendalam memicu munculnya depresi pada individu. Dapat disimpulkan minimnya kebahagiaan dalam diri individu dapat memicu rasa sedih bahkan depresi, dan kebahagiaan tidak selalu berbanding lurus dengan kekayaan materi.

Dalam tasawuf terdapat ajaran zuhud yang sering disalah pahami dengan menyamakan zuhud dengan istilah “kemiskinan”. Justru zuhud itu anti kemiskinan, dan mendukung kehidupan yang konstruktif dengan tetap menjaga hati dari ketergantungan pada materi keduniawian. Dapat ibaratkan, mendapati namun merasa tidak memilikinya merupakan gambaran dari zuhud. Maka jika suatu saat apa yang didapatinya hilang, mereka tidak akan merasa kehilangan. Bahkan mampu membuat mereka bahagia, karena beban dunia telah berkurang. Namun, kita tidak akan fokus pada masalah ini dan akan dibahas pada tema berikutnya.

Baca Juga:  Jangan Lupakan Tawaran Eco-Philosophy

Mengenai kitab Kimiya-u as-Sa’adah, jika nilai-nilai yang terkadung dalam kitab ini dapat diamalkan maka akan terjadi transformasi yang lebih baik lagi, khususnya dalam hal kebahagiaan. Dalam menambah referensi kebahagiaan, kitab Kimiya-u as-Sa’adah menjadi salah satunya referensi yang wajib dicicipi oleh seorang Muslim. Sebab, sebanyak referensi kita mengenai kebahagiaan, maka akan mudah pula kebahagiaan itu menghampiri diri kita.

Secara umum, kitab ini mengajak kepada kita untuk menghakimi diri sendiri dan menuduh diri sendiri. Mengajak radikal ke dalam dan toleran keluar. Sebab manusia lebih mudah menyalahkan orang lain dibanding melihat kesalahan diri sendiri. Pandai melihat kekurangan orang lain namun terlalu bodoh melihat kekurangan diri. Terlalu cakap mengomentari orang lain namun bisu berkomentar atas dirinya sendiri, dan seterusnya.

Maka, dalam kitab Kimiya-u as-Sa’adah kebahagiaan dapat dicapai salah satunya dengan cara mengenal diri. Kita awali dengan pertanyaan sederhana, siapa diri kita? Jika itu kita lakukan maka akan menjadi upaya yang tidak berkesudahan. Bagaimana kita dapat mengenali diri seutuhnya sedangkan manusia memiliki aspek jasmani dan rohani. Mengenali aspek jasmani (nampak) saja masih banyak yang belum mengerti. Mulai dari tinggi badan, berat badan, model muka, warna rambut, warna kulit dan seterusnya.

Sedangkan secara rohani (jiwa) masih banyak term-term yang perlu diketahui, sebagai proses pengenalan diri yang seutuhnya, biasa disebut dengan istilah muhasabah. Kita harus melakukan introspeksi diri dengan cara bertanya kepada diri sendiri agar mengetahui hakikat dari hidup ini. Sebagaimana yang disampaikan Syamsul Bakri, manusia hidup di dunia itu ibarat musafir. Ini merupakan filosofi hidup yang tinggi dan paling bermakna. Sachiko Murata, mengerti diri artinya tahu apa itu kehidupan dan mengerti apa artinya menjadi manusia.

Baca Juga:  Menyoal Islamofobia

Imam al-Ghazali dalam masalah kebahagiaan mengajak kita untuk melakukan monolog sebagai berikut: Anda itu sejenis apa? Anda ke tempat ini dari mana? Untuk apa Anda dicipta? Dengan apa Anda bahagia? Dan karena apa Anda sengsara? Jika itu semua dilakukan kita akan mudah mengenali diri. Bahkan akan menumukan kebahagiaan yang sejati.

Sebagai referensi untuk menjawab pertanyaan tersebut, Imam al-Ghazali memberikan klasifikasi partikel-partikel yang ada dalam diri manusia; Pertama, sifat kebinatangan/binatang ternak yakni bahagia dengan terpenuhinya kebutuhan makan, minum, tidur dan seks. Kedua, sifat binatang buas yakni bahagia karena bisa memukul, membunuh, memangsa. Ketiga, sifat iblis yakni bahagia dengan cara melakukan makar, kriminal dan tipu muslihat. Keempat,  sifat malaikat yakni bahagia karena merasakan indahnya kehadiran Allah dalam hidupnya. Hal ini dicapai dengan mengenali asal usul dan hakikat diri.

Dari sini kita dapat menuduh diri kita sendiri, selama ini sifat apa yang mendominasi dan bergerilya dalam tubuh kita. Dan itu semua mempengaruhi kondisi kebahagiaan dalam setiap individu. Sifat-sifat tersebut dapat diibaratkan bahan bakar kendaraan tubuh yang akan  melaju dan mengantarkan ke mana tujuan yang akan ditempuh.

Dengan demikian, kebahagiaan yang sejati merupakan keindahan karena kehadiran-Nya di setiap lini-lini kehidupan. Kekayaan, kepangkatan serta aspek-aspek duniawi lainnya tanpa ada kehadiran-Nya hanya akan mendatangkan kegundahan dan keresahan. Semua itu bisa didapatkan ketika manusia mengenal siapa dirinya. Selanjutnya, setelah mengenal diri maka akan ada pembahasan lanjutan mengenai mengenal Allah, mengenal hakikat dunia, dan mengenal hakikat akhirat. Sebagai penutup, penulis akhiri dengan ungkapan yang masyhur di kalangan para sufi.

“Siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhan-nya”

Previous Article

Tarawih dan Anak-Anak

Next Article

Syekh 'Abd al-Qadir al-Jailani: Inilah Perbedaan Puasa Syariat dan Puasa Thariqat

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨