Umat Islam Hari Ini: Mengubur Epistemologi, Menyuburkan Provokasi

Anda mau tahu apa salah satu problem utama umat Islam hari ini? Beda-beda orang akan menyampaikan diagnosa dan terapi yang juga beda-beda dalam menghadapi masalah di tubuh umat Islam. Tapi, setidaknya ada satu yang penting, yang tak boleh dilewatkan oleh kita semua. Apa itu? Ia adalah problem epistemologi.

Apa itu epistemologi? Epistemologi adalah sebuah cabang filsafat yang isinya adalah kajian tentang hakikat pengetahuan. Ada cabang filsafat yang namanya ilmu alam. Isinya adalah kajian tentang hakikat benda-benda di alam, baik itu biotik, maupun abiotik; baik itu organik, maupun anorganik; baik itu bersel satu, maupun bersel banyak. Kalau epistemologi, ia adalah cabang filsafat yang tugasnya memeriksa apa itu hakikat pengetahuan, sumber-sumbernya, dan cara memperolehnya.

Mengapa Epistemologi kita Bermasalah?

Apa Anda mengira epistemologi itu biasa-biasa saja? Nanti dulu. Coba Anda pikirkan, apa sih isi kepala manusia ini jika bukan pengetahuan? Pengetahuan bukan terbatas pada informasi yang kita peroleh di bangku sekolah. Bukan terbatas pada apa yang tertulis di buku, atau yang disampaikan oleh guru. Hampir seluruh hidup manusia, selalu diliputi pengetahuan. Minimal, pengetahuan tentang siapa nama Anda, nama ibu Anda, dan nama bapak Anda. Bukankah itu juga pengetahuan? Apalagi hal yang lebih kompleks daripada itu.

Nah, sekarang pikirkan masalah berikut ini: Apa itu tujuan beragama? Untuk apa kita hidup di dunia? Apa inti ajaran agama yang kita peluk? Apa yang harus dibela dalam kehidupan ini?

Mudah-mudahan Anda memikirkannya dengan serius, sehingga Anda tidak akan mudah diajak oleh orang lain, siapa pun dia, untuk melakukan, misalnya, provokasi-provokasi membenci orang lain dengan alasan membela agama, membela ulama, atau membela negara.

Tapi, pada kenyataannya, begitu banyak orang larut dan terbawa arus provokasi seperti itu. Sebabnya apa? Salah satunya—mungkin yang paling krusial—adalah karena orang-orang tersebut tidak mengerti arti dari pengetahuan agama yang ia peluk.

Maksud saya, ia tidak tahu apa sebenarnya yang agamanya katakan dan dari siapa ia bisa mengambil pengetahuannya. Orang tadi pasti menyerahkan otoritas pengetahuan dan kebenaran itu kepada sosok kharismatik yang dia sebut ulama. Dan dia kira, itu saja satu-satunya sumber pengetahuan dan kebenaran yang sah. Nah, ini semua adalah masalah epistemologi.

Pentingnya Pengetahuan dalam Hidup Manusia

Dalam dunia ini, manusia itu bergerak dengan terlebih dahulu dikooptasi oleh sebuah pengetahuan tertentu. Saya suka sekali cara Daniel C. Dennet, dalam Breaking the Spell (2021), saat menguraikan bagaimana manusia itu berperilaku berdasarkan kooptasi pengetahuan.

Ia mengibaratkan pengetahuan dengan seekor cacing pipih yang hidup di otak semut. Coba bayangkan, semut itu kecil sekali, bagaimana otaknya, dan lagi, bagaimana ukuran cacing pipih yang hidup di otak semut itu?

Baca Juga:  Menilik Latar Belakang Historis Pemikiran Asghar Ali Engineer

Dan ternyata, seekor semut bisa melakukan sesuatu, seperti menaiki sehelai rumput, lalu terjatuh di ujungnya, bukan karena alasan bahwa semut suka dan perlu melakukan itu. Itu semua sebab ada cacing pipih yang mengkooptasi otaknya, dan membuatnya bertingkah begitu.

Begitu pula kita. Ada sesuatu yang mengkooptasi otak kita. Jangan bilang itu cacing. Tak ada penelitian ilmiah yang bilang seperti itu. Melainkan, itu adalah pengetahuan, informasi, serta keyakinan yang menari-nari dalam kesadaran kita; yang menemani kita sejak dari buaian hingga liang lahat. Makanya tak heran jika Nabi Muhammad saw. bersabda bahwa manusia itu harus memperhatikan pengetahuannya sejak ia masih bayi, hingga ia dikubur mati.

Epistemologi dalam Khazanah Intelektual Islam

Umat Islam hari ini, dan sebenarnya sepanjang masa, punya kepentingan untuk menjaga bangunan epistemologinya. Bangunan? Ya, epistemologi itu layaknya bangunan. Ia itu tempat kita bernaung dan berlindung.

Jika rumah melindungi kita, setidaknya, dari panas, hujan, dan omongan pedas tetangga; maka epistemologi melindungi kita dari pengetahuan yang salah, error, hoax, dan menyesatkan.

Memangnya Anda kira mengapa Al-Farabi mau menulis buku epistemologis berjudul Ihsha al-‘Ulum; mengapa Ibn Sina menulis Al-Najat; mengapa Al-Ghazali menulis Mi’yar al-‘Ilm; jika bukan demi menjaga kerangka berpikir epistemologis umat Islam?

Sayang seribu sayang, tanya saja umat Islam hari ini tentang struktur pengetahuan yang, misalnya, Al-Farabi tuliskan dalam kitab Tahshil al-Sa’adah (The Attainment of Happiness). Mereka akan terdiam. Tak peduli, dan akan melanjutkan teriakannya membentak pelaku-pelaku bid’ah dan penista agama.

Maksud saya begini: Betapa serius dan komplit apa yang Al-Farabi tulis di sana, tentang pengetahuan yang terbagi menjadi pengetahuan teoretis, praxis, dan deliberatif. Bahwa manusia harus mengerti dan menguasai seni epistemologi demi menggapai kebahagiaan hidupnya.

Jika tidak, maka individu-individu akan rusak, sebab ia salah menentukan tujuan hidup; dan jika individu rusak, maka tinggal tunggu waktu sampai masyarakat turut merasakan hal yang sama. Bahkan bisa jadi lebih buruk.

Pengetahuan dan Kebahagiaan dalam Pemikiran Al-Farabi

Mari kita ulas sedikit epistemologi menurut Al-Farabi. Pertama kita harus paham bahwa ia adalah pemikir Muslim pertama yang diakui kedudukannya sebagai guru besar filsafat Yunani, baik di dunia Islam maupun dunia Barat.

Karena jasa-jasanya, filsuf Muslim sesudahnya memberi ia julukan al-Mu’allim al-Tsani (Guru Kedua). Guru pertama adalah Aristoteles. Oke, sampai di sana kita harus mengerti mengapa nanti di karya-karyanya ia banyak mengulas filsafat Yunani. Sebab, sejatinya ia berguru kepada Aristoteles dan Plato.

Baca Juga:  Renungan tentang Makan dari Fisik, Psikis dan Spiritual

Bukan dalam arti bahwa ia bertemu mereka. Namun dalam arti, ia mewarisi pengetahuan Yunani dari karya-karya dua pemikir besar Yunani tersebut, bersemangat dalam mempelajarinya, dan ia pula yang menghidupkannya kembali.

Menurut Al-Farabi, pengetahuan itu adalah syarat bagi kebahagiaan. Kebahagiaan itu adalah kondisi damai, tentram, dan harmonis yang dirasakan jiwa manusia. Kebahagiaan itu tidak materil sifatnya.

Ia bukan kondisi ketika Anda melahap ketupat sayur, minum bandrek, ataupun mencium wangi bunga melati. Memang itu semua memberi efek menyenangkan. Tapi, kebahagiaan (al-sa’adah) dalam khazanah Islam artinya kondisi damai (salam/Islam) yang kita alami di dalam jiwa, dan ia begitu membebaskan kita dari situasi mental yang sempit dan memberatkan.

Nah, pertama-tama Al-Farabi bercita-cita agar kita paham mengenai tujuan (ghayah) dari hidup ini. Dan tujuan itu tidak lain dan tidak bukan adalah kebahagiaan tadi. Kemudian, kata Al-Farabi, kebahagiaan itu bisa diraih dengan melakukan sesuatu. Tanpa sesuatu itu tak akan ada kebahagiaan. Apa itu? Ia adalah pengetahuan.

Pengetahuan (al-‘ilm) adalah jembatan kita menuju kebahagiaan. Sampai di sini kita harus paham bahwa inilah fondasi pertama epistemologi dalam Islam sebagaimana dijelaskan Al-Farabi. Yakni, pengetahuan sebagai jembatan kebahagiaan.

Hari ini apa yang orang bangun supaya ia bahagia? Apa yang Anda lakukan untuk bahagia? Saya curiga bukan pengetahuan. Bisa jadi Anda mengira bahwa uang dan popularitas adalah satu-satunya jembatan bagi kehidupan bahagia.

Struktur Pengetahuan dalam Epistemologi Al-Farabi

Selanjutnya, pengetahuan itu sendiri harus kita kenali. Kita harus tahu identitas dan spesifikasi pengetahuan. Bisakah Anda mendekati seseorang, dan menjadi karib kerabatnya tanpa mengenalnya secara baik dan mendalam? Hampir mustahil.

Begitu pula pengetahuan. Makanya, Al-Farabi mengatakan bahwa kita harus mengerti apa itu pengetahuan. Bukan hanya Al-Farabi yang begini. Al-Ghazali juga sama. Dalam Mi’yar al-‘Ilm ia berkata bahwa pengetahuan adalah bentuk benda yang hadir di dalam kesadaran kita.

Apa maksudnya? Misalnya, kursi. Dari kata “kursi” apa yang Anda pahami? Jika Anda adalah anak kecil berusia dua tahun, Anda akan bingung apa itu kursi. Tapi, jika Anda sudah pernah mengenalnya, maka bentuk kursi itu akan hadir di benak Anda. Ketika itu maka Anda sudah punya pengetahuan tentang kursi.

Lalu, kita kembali lagi ke Al-Farabi. Ia menjelaskan bahwa pertama-tama, ilmu atau pengetahuan itu berbentuk pengetahuan teoretis (al-‘ulum al-nazhariyyah). Ia adalah pengetahuan tentang premis-premis pertama yang menyelimuti eksistensi alam semesta. Anda pasti mulai bingung. Tentu saja, saya juga sama.

Ini adalah pengetahuan yang murni terjadi dalam benak manusia, hasil dari pengamatan fenomena alam semesta. Misalnya, pengetahuan tentang sebab pertama dari kehidupan di alam semesta ini.

Baca Juga:  Derita itu Bahagia?

Jika kita amati, segala sesuatu selalu berasal dari premis lain yang mendahuluinya. Bayi dari ibu dan bapaknya, manusia dari proses evolusi panjang, vertebrata berevolusi dari bentuk animalia dasar, dan begitu seterusnya, sampai akhirnya akal kita harus sampai pada premis pertama dalam kehidupan. Itulah Tuhan.

Pengetahuan berikutnya adalah yang berbentuk aksi dan tindakan berdasarkan kehendak bebas manusia. Al-Farabi menyebutnya al-‘ulum al-khuluqiyyah. Ini adalah bentuk pengetahuan yang lebih kompleks, karena ia terikat pada konteks waktu dan tempat manusia hidup.

Dalam bahasa kita sekarang, kita mengenal bentuk kedua pengetahuan ini dengan etika atau akhlak. Etika, akhlak, dan aturan-aturan moral, menurut Al-Farabi adalah fenomena moral yang hanya terjadi dalam diri manusia. Ia bergantung pada kehendak manusia. Oleh karena itu, ia sangat beragam dalam sifat dan bentuk. Artinya, standar moral bagi seseorang dan masyarakat itu berbeda dan beragam.

Darurat Epistemologi di Tubuh Umat Islam

Tulisan singkat ini tidak hendak melakukan break down secara rinci tentang bangunan epistemologi Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali. Yang ingin saya sampaikan adalah, betapa epistemologi menempati posisi sentral dalam khazanah intelektual Islam, namun justru itu pula yang terkubur paling dalam dan tak tersentuh oleh kesadaran kita.

Dalam epistemologi Islam kita mengenal yang namanya sumber pengetahuan, yaitu pancaindra yang sehat, wahyu, dan akal manusia. Para pemikir Muslim seperti Sa’duddin Al-Taftazani menyusun sumber pengetahuan ini untuk menjelaskan jalan dan metode manusia memperoleh pengetahuan.

Sebagai Muslim kita harus membuka mata, bahwa kita punya tanggung jawab menggunakan fakultas-fakultas intelektual dalam epistemologi Islam tersebut. Bukan justru terjebak dalam narasi provokasi orang lain, hanya karena ia dielu-elukan sebagai ulama dan pemimpin umat saat ini.

Epistemologi adalah penyebab utama terjadinya revolusi saintifik di dunia Barat. Mereka dulunya mengedepankan otoritas gereja dalam menafsirkan wahyu, dan tafsiran itu digunakan untuk membentuk realitas khayalan di benak masyarakat. Bayangkan, dulu itu bumi dikira datar dan dikira pusat semesta.

Namun akhirnya mereka merombak sumber pengetahuannya menjadi pancaindra dan akal manusia. Lahirlah epistemologi empiris dan rasional yang mendahulukan pengamatan daripada desas-desus kata orang.

Empirisisme dan rasionalisme ini juga yang digunakan untuk memahami wahyu dalam Bible. Maka lahirlah filsuf-filsuf seperti Thomas Aquinas, dan kemudian Isaac Newton. Mereka menafsirkan kitab sucinya, dengan tetap menggunakan kerangka epistemologi yang dapat dipertanggung jawabkan.

Bagaimana dengan kita hari ini? Sebenarnya apa yang dilakukan Aquinas dan Newton bukanlah apa-apa, dibandingkan dengan pemikiran Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Al-Taftazani. Namun sayangnya, kita tak serius mempelajari para pendahulu kita tersebut.

0 Shares:
You May Also Like