HIKMAH MEMILIKI RASA TAKUT (KHAWF) KEPADA ALLAH
Oleh: Haidar Bagir
Pengasuh Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak & Tasawuf
Sebagai pendiri Gerakan Islam Cinta, tak sedikit yang mempertanyakan kepada saya: jika benar Islam adalah agama cinta—dan bahwa Allah adalah Tuhan (penuh) cinta, kenapa dalam Islam kita diajarkan untuk merawat rasa takut (khawf) kepada Allah? Tidakkah Tuhan yang menimbulkan rasa takut bertentangan dengan Tuhan yang penuh cinta?
Untuk membahas soal ini, marilah kita merujuk kepada pandangan Aristoteles, si filosof Yunani, yang juga dianggap sebagai Bapak Ilmu Etika—yang teori-teorinya tentang etika masih memiliki gema sampai sekarang—baik dalam etika sekuler, maupun keagamaan, termasuk Etika Islam. Ya, jika kita baca pandangan para teoritis Etika dalam sejarah Islam, termasuk Ibn Miskawayh, Nasiruddin Thusi, Fakhruddin al-Razi terasa sekali pengaruh teori Etika Aristotelian ini.
Di antara prinsip dasar Etika Aristotelian, sebagaimana diungkapkannya dalam buku Eudamonian Ethics, Nichomacean Ethics (Etika Nichomachean) dll, dia menyatakan bahwa nilai-nilai etika yang baik itu selalu merupakan “titik tengah emas” (golden mean) di antara dua sikap ekstrem. Contohnya, pelit itu tidak baik, tapi boros juga tidak baik. Yang baik adalah menjadi dermawan tanpa harus melupakan kebutuhan diri sendiri. Kasar itu tidak baik, tapi terlalu lembut sehingga kehilangan wibawa juga tidak baik. Yang baik adalah berwibawa tanpa harus kehilangan kelembutan. Begitu seterusnya, sampai pada soal sikap tengah antara panjang angan-angan (begitu penuh harap dan optimis) dan kecemasan/kekhawatiran/ketakutan (yang sama sekali menjadikan pemiliknya putus asa). Dalam ajaran Islam, ini disebut sebagai (khawf) dan (raja’).
Pandangan Islam ini kiranya berakar pada pengetahuan tentang hakikat ciptaan alam dan manusia. Bahwa alam diciptakan di atas prinsip keseimbangan. Demikian pula manusia. Ciptaan-ciptaan mengambil bentuk kombinasi proporsional sifat-sifat yang berlawanan. Alam merupakan kombinasi seimbang dari empat unsur alam: tanah, air, udara dan api. Manusia pun juga merupakan hasil perpaduan sifat laki-laki dan perempuan. Posisi pun meliputi yang tinggi dan rendah, panas dan dingin, keras dan lunak, terang dan gelap, dan seterusnya. Demikian juga manusia. Ada sifat marah dan dendam, tapi juga ada sifat ampunan. Ada cepat, ada pelan. Ada lemah, ada kuat. Ada kekerasan, ada kelembutan dan seterusnya.
Dan kesemua sifat berlawanan yang ada di alam dan manusia itu memiliki tempat dan perannya sendiri dalam beroperasinya alam dan kehidupan manusia secara positif. Tanpa yang satu, yang lain tak bisa eksis. Alam dan kehidupan selalu bertumpu pada kombinasi yang pas antara dua sifat yang bertentangan. Secara fitri manusia itu baik hati dan dermawan, tapi hawa nafsunya selalu menarik kepada egoisme. Jika tidak berlebihan, bukan hanya kedermawanan, egoisme pun bisa memiliki peran yang baik. Tanpa egoisme manusia bisa kehilangan kekuatan survivalnya. Demikian juga dengan rasa takut. Tanpa perasaan takut, manusia akan nekat dan menerjang bahaya tanpa perhitungan. Dan hal ini sama membahayakan kemampuan survivalnya. Egoisme, termasuk rasa takut, adalah fabric dari kemampuan survivalnya.
Demikianlah Sang Pencipta telah mencipta manusia dengan kombinasi sifat-sifat ini. Jika disimpulkan, bukan hanya sifat-sifat yang baik dalam dirinya sendiri saja yang berperan positif, bahkan sifat yang pada dirinya disepakati sebagai buruk, selama dia hadir dalam porsi yang benar dan seimbang sebagai kombinasi dengan sifat lawannya. Tanpa sifat-sifat yang dalam dirinya sendiri disepakati sebagai buruk ini, manusia akan pincang dalam mengelola kehidupannya.
Adalah sejalan belaka dengan prinsip di atas, bahwa Tuhan memainkan sifat/rasa takut pada diri manusia ini justru agar manusia dapat mencapai kesempurnaan, yakni keseimbangan. Kebahagiaannya terletak dalam kemampuannya merawat pertengahan emas (golden mean) ini. Maka agama pun, dalam hal ini Islam, mengajarkan prinsip merawat keseimbangan antara rasa cemas (khawf) dan penuh harap (raja’) ini. Tanpa rasa takut, manusia akan menjadi memiliki sifat panjang angan-angan (tamanni) yang menyebabkannya cenderung kehilangan perhitungan dan menerabas kemungkinan resiko keburukan atas dirinya, dalam segala hal. Jika dia berbisnis, proyeksi-proyeksinya akan terlalu optimistis sehingga tidak realistis. Jika dia menerima tantangan, dia akan gagal menimbangnya dengan kemampuan dirinya. Dan seterusnya. Termasuk, dia akan melanggar berbagai aturan moral dan ketuhanan karena terjatuh ke dalam sifat panjang angan-angan ini, sehingga sifat dan karakternya pun menjadi buruk, serta merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Dia pun menjadi orang yang biasa disebut sebagai orang jahat. Kehilangan rasa takut itulah yang menyebabnya kehilangan kesadaran akan konsekuensi moral dan religius dari perbuatan-perbuatannya.
Sampai di sini, kita akan segera masuk ke dalam sifat khas aspek menakutkan dari Allah swt. Sifat murka, pembalas, keras dan semena-mema Allah itu—tak seperti jika ia melekat kepada makhluk—lahirnya dari akar rasa cinta-Nya.
“Aku adalah ar-Rahman (Yang Maha Belas Kasih)”
“Kuwajibkan atas diri-Ku belas kasih”
“Belas-kasih-Ku meliputi segala-Nya”
“Belas-kasihku menaklukkan murka-Ku”
Jadi, bukan saja Dia Maha Belas Kasih, bahkan sifat pembalas, murka dan sebagainya, kesemua sifat “menakutkan”-Nya ( jalaliyah, keras-Nya) adalah wujud atau wajah Belas-kasih-Nya. Persis sebagaimana kemarahan dan pengganjaran orang tua atas keburukan anaknya. Bahkan ketika menghukum, orang tua tak pernah kehilangan belas-kasihnya. Bahkan hukuman yang dijatuhkannya itu sepenuhnya merupakan wujud kasih-sayangnya wujud keinginan si orang tua agar anaknya terus menjadi lebih baik, sukses dan, pada puncaknya hidup berbahagia. Maka, ketakutan kepada Allah sangat berbeda dengan ketakutan pada makhluk. Jika kita bertemu macan, maka kita lari menjauh sejauh-jauhnya dari macan itu. Jika kita dalam keadaan berisiko konflik dengan preman menakutkan, kita akan memilih pergi menjauh dari preman itu.
Tapi, takut kepada Allah bagi orang yang paham, seharusnya membuat kita lari dari-Nya,
kepada/menuju-Nya. Mengapa?
Karena pada akhirnya siapa lagi kalau bukan Dia sendiri yang bisa melindungi kita dari Dia?
Tambahan lagi, bukankah Dia,
di atas segalanya, adalah
Yang Maha Belas-kasih.
Maka, takut kepada Tuhan—dalam pemahaman seperti ini—justru adalah awal dari cinta kepada-Nya. Tuhan terkadang “terpaksa” tampil dalam wajah-Nya yang menakutkan, karena sedang berbelas-kasih kepada manusia dalam “upaya”-Nya menyempurnakan diri dan menggapai kebahagiaannya.