MAKNA DERITA DALAM SYAIR MAULANA RUMI

Oleh : Rae Wellmina

Penulis Buku Embun Kerinduan

Maulana Rumi memiliki perhatian yang sangat besar tentang persoalan derita. Kita bisa menemukan pada bait-bait awal karya masterpiecenya, Matsnawi, Maulana telah membetot perhatian pembaca dengan persoalan derita:  “Dengarkanlah seruling ini, betapa dia mengadu atas kisah derita keterpisahannya. Semenjak dia terpisah dari rumpun bambu”. Melalui kisah Nei, atau seruling yang terpisah dari rumpun bambu, Maulana Rumi sedang menarasikan kisah kejatuhan manusia di muka bumi. Di mana akibat keterpisahan Nei dengan rumpun bambu maka ia harus menanggung derita. Kisah tersebut sesungguhnya merupakan miniatur kisah keterlemparan manusia di muka bumi, di mana dia mengalami keterpisahan secara rohani dengan Tuhan. Maka, selama manusia secara rohani terpisah dengan Tuhan, selama itu pula dia akan menangung derita.

Dalam pandangan Maulana Rumi, derita memiliki kedudukan yang penting. Karena melalui derita akan melahirkan kerinduan kepada Tuhan. Sehingga manusia akan mampu memahami hakikat kemurnian dirinya. Maulana Rumi dengan sangat baik mengekspresikan dan menarasikan derita keterpisahan manusia melalui kisah Nei atau seruling bambu. Dan melalui derita keterpisahan tersebut, kita bisa menafsirkan Tuhan sedang mengirimkan “pesan” pada jiwa untuk menemukan jalan kembali pulang. Namun harus dipertegas bahwa derita yang dimaksud oleh Maulana Rumi bukanlah sembarang derita. Bukan derita yang berakar pada persoalan duniawi. Namun derita yang bersumber dari keterpisahan manusia dengan Tuhan. Sehingga, Maulana Rumi mengajak kita untuk kembali kepada hakikat terdahulu diri kita sebelum terlempar ke muka bumi. Kata Maulana Rumi, “Dahulu wujud kita adalah wujud terbentang, semua satu esensi tanpa kepala dan tanpa kaki. Dahulu kita satu esensi seperti matahari. Dahulu kita suci dan murni seperti air”.

Maulana Rumi membicarakan derita melalui tamsilan puitis. Menurut William C Chittick, seorang pakar yang serius mengkaji Maulana Rumi, tamsilan puitis berfungsi untuk mengolah rasa cinta orang yang mendengarnya, yang disesuaikan dengan daya tangkap masing-masing. Dalam hal ini tidak ada sesuatu yang bersifat artifisial atau sembarangan. Guru besar di State University of New York tersebut juga menyatakan bahwa syair-syair Maulana Rumi berasal dari Tuhan. Maulana Rumi tidak pernah menciptakan tamsilan sendiri, melainkan menerimanya dari dunia imajinasi, yang di dalamnya Yang Tercinta menyatakan Diri kepada para pecinta melalui bentuk-bentuk imajinal. Maulana Rumi secara panjang lebar menerangkan makna tamsilan puitisnya. Dan sebagaimana sebagian penyair sufi, beliau tidak pernah lepas dari tradisi lisan dan berusaha membangkitkan ilham pembacanya melalui penafsiran rohaniahnya. Sehingga diharapkan dimensi dunia imajinal pembaca akan tersentuh dan hidup.

Baca Juga:  Pentingnya Dakwah dengan Akhlak di Era Digital

Dunia imajinal bagaimana pun adalah sebuah dimensi yang sangat subjektif. Secara sederhana dalam perspektif psikologis realitas dapat dibagi menjadi dua, realitas subjektif dan realitas objektif. Realitas objektif adalah kejadian yang terjadi di luar diri. Yang memiliki kecenderungan untuk tidak bisa dikontrol oleh diri. Contoh sederhananya, hari hujan atau hari panas terik adalah realitas objektif yang tidak bisa dikontrol oleh diri karena bekerja menurut hukum alam semesta. Namun perasaan di dalam diri yang dirasakan akibat hujan atau akibat panas, misalnya diri jadi merasa sedih, kesal, atau jengkel dengan panas dan hujan adalah realitas subjektif.

Realitas subjektif adalah realitas yang ada di dalam diri, ia merepresentasikan kebebasan diri untuk memandang keadaan atau kejadian yang terjadi. Realitas subjektif ini bisa jadi berbeda antara satu orang dengan orang lain. Meskipun mengacu pada realitas objektif keadaan di luar diri yang sama. Perbedaan realitas subjektif ini bergantung pada sudut pandang melihat kejadian objektif di luar diri. Pendek kata, sejauh mana dan sedalam apa diri melakukan intensitas dialog dengan realitas objektif dan realitas subjektif, akan berbanding lurus dengan makna yang bisa dianggit oleh diri. Dalam hal ini termasuk juga dalam kaitan saat diri berupaya memaknai arti derita.

Merujuk pada pembagian realitas di atas, maka derita sesungguhnya adalah realitas subjektif. Realitas internal batin terdalam, yang sangat tergantung pada bagaimana diri menggunakan sudut pandangnya, menggunakan kebebasan memilih yang dimilikinya, untuk merespon realitas objektif. Menurut Maulana Rumi, kebebasan memilih atau kebebasan berkehendak ini adalah anugerah terindah yang hanya dimiliki oleh manusia, yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk lain. Dalam Alquran Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, lalu mereka enggan memikulnya dan mereka khawatir (akan mengkhianati amanat itu), dan dipikullah amanat itu oleh manusia…” (QS. Al-Ahzab [33]: 72).

Baca Juga:  Syukur Bikin Hidup Lebih Bahagia

Ada perbedaan pandangan antara Imam Al-Ghazali dan Maulana Rumi dalam menafsirkan ayat tersebut. Imam Al-Ghazali menafsirkan “amanat” tersebut dengan “perintah shalat”. Sedangkan Maulana Rumi secara menarik menafsirkan bahwa “amanat” yang ditolak oleh langit, bumi dan gunung tersebut adalah “kebebasan memilih, kebebasan berkehendak” atau free will. Yang mana hal itu merupakan pembeda dan kunci potensi kemuliaan manusia.

Dalam syairnya di Matsnawi Jilid 3, Maulana Rumi mengatkan, “Karena kita telah dimuliakan Adam melalui kebebasan kehendak”. Sedangkan dalam Matsnawi jilid 5, Maulana Rumi mengatakan, “Kebebasan kehendak Tuhan telah memberi wujud bagi kebebasan kita. Kebebasan kehendak-Nya bagaikan seorang penunggang kuda yang tersembunyi di dalam debu. Kebebasan kehendak-Nya menciptakan kebebasan kita, dan perintah-perintah-Nya dibangun di atas kebebasan kehendak di dalam diri kita”.

Maka, terkait dengan derita yang harus ditanggung oleh anak cucu Adam, sejak dia terlempar ke muka bumi, hal itu memiliki kaitan erat dengan adanya kebebasan berkehendak yang dimiliki oleh manusia.  Dan derita tersebut bersifat subjektif, serta sangat personal. Setiap diri memiliki deritanya masing-masing terkait dengan eksistensi kediriannya. Setiap diri tidak akan mampu melihat keindahan pelangi di atas kepalanya sendiri. Keindahan pelangi selalu akan nampak di ufuk sebelah sana, di atas kepala diri yang lain, bukan di atas kepala dirinya sendiri. Maka diri perlu berdamai dengan derita dan menerima dia apa adanya.

Tentang Penulis

Rae Wellmina, bergiat di Rumi Institute Jakarta dan penulis buku Embun Kerinduan

0 Shares:
You May Also Like