MODEL HABIBIE DAN TEORI SAINS: Perspektif Realisme-Kritis

Oleh: Husain Heriyanto

Pengajar Filsafat Sains di Universitas Paramadina, Pascasarjana Universitas Indonesia, ICAS Jakarta.

Kiranya perdebatan sains akan lebih konstruktif jika memasuki ranah yang aktual bagaimana sains itu bekerja daripada bermain di pinggiran gelanggang memuji-muji atau menyoraki sains. Tulisan ini mencoba menguak cara kerja ilmiah seorang BJ Habibie dalam  menemukan teori “crack propagation” yang memiliki sumbangan besar pada teknologi pesawat terbang dunia. Melalui pengungkapan teori Habibie yang diakui oleh dunia dirgantara ini, akan didedah bagaimana proses penemuan dan inovasi seorang ilmuwan dalam mencetuskan sebuah teori sains. Juga sekaligus dibentangkan secara ringkas refleksi filosofis terhadap proses ilmiah ini, khususnya dalam perspektif realisme-kritis.

Ketika cara kerja aktual sains terkuak dan dipahami secara memadai, maka diharapkan sikap yang berpijak pada realisme-kritis dan moderat akan tumbuh secara internal dan alamiah. Bukan sikap yang melebih-lebihkan sains yang melampaui wilayah kajiannya atau sebaliknya mereduksinya menjadi semacam fiksi yang ditata oleh selubung konsep dan teori.

Semua konsep dan teori sains, terlepas dari benar atau salah, tak muncul begitu saja merepresentasikan realitas dengan telanjang melainkan melalui konstruksi pemahaman manusia atau meminjam bahasa Werner Heisenberg, “apa yang kita observasi bukanlah alam pada dirinya sendiri melainkan alam yang terungkap oleh metode kita bertanya” (Physics and Philosophy, 1958).

Meskipun demikian, konsep dan teori sains tidak lahir dari imajinasi liar yang tak berjejak pada realitas, secuil apapun daya representasinya atau sesempit apapun cakrawala yang didenotasi. “Seluruh kegiatan sains merupakan buah pemikiran kreatif manusia dalam usaha menemukan tatanan dan koherensi fakta-fakta yang dipersepsi,” tulis J. Bronowski (Science and Human Values, 1979).

Akan tetapi, mengingat jenis pengetahuan-pengetahuan manusia lain seperti filsafat, agama, seni, atau tasawuf juga mencari tatanan dan pemahaman terhadap realitas, maka menurut Bronowski, esensi sains adalah penerapan metode saintifik yang di dalamnya telah mencakup cara berpikir, perspektif, spirit penemuan, horizon dan habitus para pelaku sains.  Sains adalah bagian integral dari proses pengenalan manusia terhadap alam dan lingkungan dengan segenap problemanya (dalam perspektif manusia).

Esai ini mengangkat teori “crack propagation” Habibie tidak semata karena Habibie adalah salah seorang ilmuwan Indonesia yang diakui dunia, melainkan bermaksud menunjukkan bahwa model yang Habibie gagas untuk formulasi perhitungan keretakan badan dan sayap pesawat terbang, yang meskipun sangat spesifik dan konkrit (applied sciences), memerlukan syarat-syarat kemungkinan inovasi ilmiah sebagaimana juga penguasaan teori-teori ilmiah yang lebih umum dan mendasar (basic sciences).

Teori Crack Propagation

Setelah menyelesaikan disertasinya dalam bidang aviasi di Aachen University, Jerman dengan judul Beitrag zur Temperaturbeanspruchung der orthotropen Kragscheibe (Kontribusi terhadap Tegangan Termal pada Pelat Ortotropik) atau dalam terjemahan Sulfikar Amir “Contribution to the Temperature Demand for Orthotopic Collarflange” (The Technological State in Indonesia, 2013), BJ Habibie direkrut oleh Hamburger Flugzeugbau (HFB) untuk turut merancang Fokker F-28 dan Dornier DO-31.

Kinerja Habibie sangat memuaskan perusahaan aviasi Jerman tersebut—yang pada tahun 1969 berubah menjadi Messerschmitt–Boelkow–Blohm (MBB)—sehingga beliau diberi tanggung jawab besar untuk ikut serta dalam proses penciptaan Airbus A-300B, pesawat ambisius yang hendak dibangun konsorsium Uni Eropa untuk mengalahkan dominasi Boeing produk Amerika Serikat.  Dalam proses membangun A-300B inilah kejeniusan Habibie dikenal dunia setelah dia menelorkan sebuah teori yang dinamakan “crack propagation theory.” Habibie pun diangkat sebagai wakil presiden MBB, sebuah bentuk penghargaan kepada Habibie karena untuk pertama kalinya jabatan prestisius itu diberikan kepada warga asing di Jerman.

Crack propagation theory atau teori perambatan keretakan pada struktur pesawat terutama pada sayap pesawat dan bidang pembatas sayap dengan badan dan mesin pesawat. Teori ini merupakan sebuah penemuan besar di dunia penerbangan karena sebelumnya banyak kecelakaan pesawat yang terjadi akibat kegagalan struktural. Dengan teori ini, BJ Habibie berhasil memprediksi titik mula retakan pada sayap pesawat terbang dengan melakukan perumusan yang sangat mendetail dengan presisi perhitungan hingga ke tingkat atom.

Apa penyebab kegagalan struktural yang menyebabkan banyaknya kecelakaan pesawat pada dekade 1960-an? Karena, kala itu, industri penerbangan tengah gencar-gencarnya membuat pesawat yang semakin besar sekaligus semakin cepat. Ini tentu saja beresiko terhadap apa yang disebut material fatigue (kelelahan bahan) karena setiap bahan memiliki kapasitas tertentu dalam ketahanan dan kekuatan.

Baca Juga:  Haruskah Orang Menjadi Sufi dan Menjalani Laku Hidup Prihatin Seperti Dianjurkan Para Sufi?

Sebagaimana diketahui sayap adalah komponen utama pesawat terbang yang memungkinkannya terangkat ke atas. Melalui prinsip aerodinamika sayap mentransformasi gaya dorong kecepatan pesawat menjadi gaya angkat yang mendorong pesawat ke atas melawan gaya beratnya. Peningkatan gaya angkat pada sayap ini adalah kuadrat dari kecepatan pesawat. Artinya, jika kecepatan pesawat naik dua kali lipat, maka gaya angkat yang menerpa sayap naik empat kali lipat.

Begitu pula sebaliknya, sayap mendapat tekanan besar ketika landing karena terjadi perlambatan kecepatan (yang memunculkan gaya). Atas dasar itulah, mengapa sayap dan bagian penghubung sayap dan badan menjadi sangat rentan atas kian melajunya kecepatan pesawat yang sudah memasuki era kecepatan supersonik bahkan hipersonik. Begitu pula tuntutan pesawat yang makin besar dan nyaman menambah tekanan pada sayap untuk mengangkat pesawat melawan gaya beratnya.

Masalahnya adalah industri penerbangan tidak pernah tahu kapan dan di mana titik awal kerusakan dan keretakan pada struktur dalam pesawat tersebut. Karena konstruksi bagian dalam sayap pesawat tertutup rapat dan bagian itu terus menahan beban yang cukup besar dan berperan sebagai penyangga pesawat selama beroperasi.

Munculnya retakan (crack) adalah efek dari kelelahan (fatigue) bahan penyangga pesawat tersebut. Titik awal retakan ini berukuran sangat kecil, 0.005 millimeter, dan terus merambat menjadi lebih besar. Jika retakan ini tidak terdeteksi maka bahaya besar akan menanti. Sayap dari pesawat tersebut dapat tiba-tiba patah ketika take off atau saat turbulensi atau saat landing.Pada saat itu para peneliti di seluruh dunia dalam keadaan deadlock dan bingung menghadapi keretakan dalam rongga sayap pesawat yang tidak terdeteksi.

Nah, dalam suasana seperti itulah, inovasi Habibie dalam mencetuskan teori perambatan keretakan (crack propagation theory) itu dianggap terobosan ilmiah yang sangat berguna untuk industri penerbangan karena dapat memangkas bobot pesawat dan menurunkan biaya bahan. Pada gilirannya pesawat akan lebih mudah bermanuver, lebih mudah take off, menghemat bahan bakar dan mengurangi biaya pembuatan serta perawatan. Inilah yang kemudian dalam dunia dirgantara sebagai faktor Habibie, yakni faktor yang memungkinkan bobot pesawat berkurang hingga 10% bahkan bisa 25% jika menggunakan material komposit yang diajukan Habibie. Julukan Habibie sebagai “Mr. Crack” mengindikasikan popularitasnya di kalangan dunia penerbangan sebagai penemu teori crack propagation.

Seorang peneliti bidang aviasi, David Broek menulis, “Model Habibie ini adalah sebuah metode yang detail untuk memprediksi perambatan retak, dengan menghitung juga tegangan-tegangan sisanya, yang belum pernah ada. Beberapa metode integrasi tersedia di mana efek retardation diperhitungkan dengan cara yang semi-empiris. Habibie [dalam papernya Eine Berechnungsmethode zum Voraussagen des Fortschritts von Rissen, Messerschmitt-Bolkow-Blohm report, 1971] mengusulkan suatu prosedur yang mampu memprediksi dengan baik hasil simulasi terbang sebuah pesawat (Cumulative Damage Problems in Aircraft Structures and Materials, The Aeronautical Journal, 1971).

Dalam laporan penelitian AGARD (Advisory Group for Aerospace Research and Development), yang ditulis oleh Dr.-Ing.Walter Schütz (1978), disebutkan “Model Habibie merupakan hipotesis akumulasi kerusakan relatif; model ini memerlukan data-data pengujian yang sebenarnya. Jika dibandingkan dengan model Wheeler misalnya model Habibie secara cepat memperhitungkan efek perlambatan (retardation). Secara prinsip, model Habibie lebih hebat dibandingkan model-model lainnya yang dibahas di sini. Akan tetapi, model Habibie lebih sulit ditangani dan memerlukan komputer besar. Model Habibie pernah dibandingkan dengan hasil eksperimental (program) Schijve untuk 2024-T3 dan 7075-T6 (paduan aluminum) serta hasil eksperimental IABG untuk Ti6Al4V (paduan titanium). Dalam kedua program tersebut, hasil prediksi dengan model Habibie cukup bagus.”

Kedua laporan penelitian di muka memosisikan teori Habibie sebagai model untuk memprediksi perambatan retak dengan perhitungan yang rumit dan membutuhkan komputer besar. Ya, teori Habibie adalah sebuah model matematika untuk memprediksi perilaku perambatan keretakan pada struktur pesawat hingga tingkat atom. Sangat banyak variabel yang diperhitungkan dalam model Habibie itu, yakni kekuatan bahan (material komposit, aluminium, titanium), aerofoil (bentuk geometri) sayap, tekanan dan gaya yang menerpa pesawat, suhu, hingga konstanta crack growth.

Sebagian variabel itu sudah diteliti oleh Habibie dalam disertasinya. Tesis pokok disertasinya adalah derivasi atau turunan matematik yang didasarkan pada teori Thermoelastisitas untuk menghitung tegangan thermal pada sebuah pelat yang kekakuan dalam arah ortogonalnya berbeda. Teori ini dapat diaplikasikan untuk menghitung tegangan thermal pada sayap pesawat ketika memasuki era hipersonik, di mana efek temperatur jadi cukup signifikan. Teori ini dipecahkan secara numerik dengan menggunakan komputer (Sulfikar Amir, The Technological State in Indonesia, 2013).

Baca Juga:  Imam Ali di Mata Syaikh Akbar Ibn al-'Arabi

Menurut Sulfikar, kesuksesan Habibie di dunia aviasi tidak terjadi hanya karena kejeniusannya. Tatkala Habibie menimba ilmu dan berkarier di Jerman Barat, negara itu tengah melakukan “sebuah rekonstruksi besar dan program pembangunan ekonomi” pasca-Perang Dunia II. Dengan dukungan Marshall Plan, ekonomi Jerman Barat meningkat. Dunia industrinya tumbuh 2,5 kali dari 1950 hingga 1960. Kondisi ini membuat kejeniusan ilmiah seorang Habibie tertantang untuk dikembangkan.

Model Habibie sebagai Teori Sains

Karl Popper menyatakan, “Sains empiris adalah sistem teori-teori. Karena itu, logika pengetahuan ilmiah dapat dideskripsikan sebagai sebuah teori atas teori-teori” (The Logic of Scietific Discovery, bab 3 tentang Theories).

Apa yang ditempuh BJ Habibie, yakni syarat-syarat ilmiah yang memungkinkannya mencetuskan teori perambatan keretakan melalui sebuah model matematika, mendemonstrasikan pernyataan Popper di atas. Merujuk pada sejumlah variabel yang terlibat dalam modelnya, Habibie tentu saja menguasai himpunan teori-teori dalam fisika-kimia, matematika, aerodinamika dan komputasi.

Teori-teori fisika-kimia yang dipakai adalah teori mekanika, teori kekuatan bahan (komposit, serat, logam-logam), teori thermoelastisitas. Cabang-cabang matematika yang dibutuhkan adalah kalkulus, geometri analitik (kombinasi dengan aljabar), trigonometri, teori vektor dan statistika. Aerodinamika melibatkan sejumlah teori dan hukum dalam sistem fluida.  Komputasi memasukkan berbagai variabel dalam model matematika ke dalam simulasi komputer.

Terlihat dengan jelas bahwa teori-teori ilmu umum dan dasar itu merupakan induk bagi penerapan ilmu teknik dirgantara yang ditekuni dan dikembangkan oleh Habibie. Tak terbayangkan Habibie bisa mencetuskan teori crack-nya tanpa penguasaan teori-teori umum tersebut, yang sebagian di antaranya telah dia dalami pada riset disertasinya.

Dari teori-teori umum itu Habibie mendeduksi sejumlah hipotesa untuk diteliti dan diobservasi yang pada gilirannya melahirkan sebuah teori tentang perambatan keretakan melalui model matematika. Dengan kata lain, model matematika itu adalah sebuah sistem teori-teori.

Ini menunjukkan bagaimana suatu inovasi ilmiah muncul. Ia tidak lahir dari kekosongan teori-teori. Ia tidak turun dari langit simsalabim abrakadabra ala Ponari yang tiba-tiba menjadi dukun cilik dengan batu ajaib. Dalam sains, betapa pun spektakuler dan revolusioner sebuah temuan ilmiah dan tampak di permukaaan muncul tiba-tiba, jika digali akan terungkap syarat-syarat kemungkinan ilmiahnya memang sudah memadai (necessary and sufficient condition).

Selanjutnya, Popper menerangkan bahwa sebuah teori memiliki dua kapasitas, yaitu (1) eksplanasi, dan (2) prediksi. Eksplanasi merupakan kemampuan teori menjelaskan relasi kausal yang dideduksi dari teori dasar/umum. Misalnya, pada teori crack Habibie, teori thermoelastisitas merupakan salah satu variabel penjelas adanya perambatan keretakan pada sayap pesawat. Kemampuan memberikan penjelasan kausal adalah karakteristik utama sebuah teori sains yang telah disusun secara sistematis.

Sedangkan prediksi adalah kemampuan melahirkan sebuah pernyataan singular (singular statement) sebagai efek dari teori atau model yang dibangun. Pada teori crack Habibie, misalnya, ditemukan kemampuan prediksi perilaku perambatan keretakan berdasarkan input variabel-variabel bebas melalui analisis matematika dan perhitungan komputer.

Struktur Sosial Sains

Narasi model Habibie mengenai perambatan keretakan pada sayap pesawat (crack propagation theory) yang dideskripsikan di muka juga mengindikasikan pengaruh sosial sebagai wahana pementasan inovasi ilmiah. Inilah yang disebut oleh Peter Godfrey-Smith sebagai the social structure of science (Theory and Reality, 2003). Berikut adalah sejumlah faktor sosial yang melambari kemunculan kejeniusan ilmiah seorang BJ Habibie.

S1. Tekad Habibie menempuh teknologi dirgantara di Jerman didukung kuat oleh ayahnya dan tokoh nasional Muhammad Yamin. “Yamin mendesak Habibie untuk mempelajari aeronautika karena dia yakin Indonesia harus mengembangkan kapasitas dalam pembuatan pesawat terbang.” (Sulfikar, The Technological State in Indonesia, 2013)

S2. Adanya tuntutan industri penerbangan untuk meningkatkan kapasitas dan kecepatan pesawat (yang berimplikasi pada kebutuhan akan penelitian tentang perambatan keretakan pada badan dan sayap pesawat untuk meningkatkan safety factor).

S3. Banyaknya kecelakaan pesawat karena sulitnya mendeteksi keretakan yang terjadi pada rongga dalam badan dan sayap pesawat.

S4. Persaingan sengit antara Airbus produk Eropa dengan Boeing produk Amerika Serikat

S5. Habibie belajar di Jerman tepat ketika negeri ini tengah melakukan rekonstruksi besar dan pembangunan ekonomi berbasis sains dan teknologi.

Setidaknya, lima faktor itulah yang mesti diperhitungkan dalam konteks memahami kemunculan teori crack propagation Habibie. Kelima latar sosial ini bisa dikategorikan sebagai faktor eksternal kemunculan teori crack Habibie.

Baca Juga:  HIKMAH MEMILIKI RASA TAKUT (KHAWF) KEPADA ALLAH

Dalam perspektif realis-saintifik (saintific realism), latar struktur sosial ini berperan sebagai faktor “pengaruh” terhadap perkembangan sains, bukan sebagai faktor “konstituen” atau “determinan” isi teori-teori sains itu sendiri. Itu sebabnya kita sebut sebagai faktor eksternal.

Meskipun demikian, laju dan arah perkembangan sains akan berbeda pada latar sosial yang berbeda. Misalnya, andaikan ketika tahun 1960-an itu belum dibutuhkan pesawat yang besar dengan kecepatan yang tinggi yang berimplikasi pada rendahnya keretakan dan kecelakaan pesawat, mungkin BJ Habibie akan memilih riset di bidang yang lain. Bisa saja dia meneliti teknik pembuatan helikopter atau lebih canggih dari itu.

Dalam konteks sekarang, misalnya, mengapa para ilmuwan dan lembaga-lembaga kesehatan nasional dan dunia sedemikian sibuk mempelajari dan meneliti SARS-CoV-2? Jawabannya, karena mereka merespons harapan 7 milyar warga dunia yang cemas menghadapi pandemi COVID-19 dan tengah menunggu vaksin.

Sebaliknya, mengapa virus dengue yang menyebabkan penyakit DBD kurang mendapat perhatian dunia atau WHO?  Mungkin karena virus ini dianggap bukan ancaman global karena hanya menyerang sebagian masyarakat dunia termasuk beberapa daerah di Indonesia meski jumlah penderita DBD di Indonesia dalam empat bulan pertama tahun 2020 (Januari-April) telah mencapai 49.563 orang.

Atau mungkin karena negara-negara kaya dan perusahaan-perusahaan farmasi global—sebagai stakeholder utama lembaga-lembaga kesehatan dunia—tidak merasa berkepentingan mencurahkan perhatian dan menggelontorkan anggaran untuk mencari vaksin DBD.

Pertanyaan yang sama mungkin diajukan oleh rakyat Yaman, yang kini terancam kematian jutaan anak-anak di bawah lima tahun karena polio dan kelaparan sebagai efek agresi koalisi Arab Saudi dengan dukungan senjata canggih dari Amerika Serikat dan Inggris. Mereka mungkin bertanya, kenapa perhatian lembaga-lembaga kesehatan dan kemanusiaan dunia sangat minim terhadap kondisi amat buruk yang tengah mereka alami.

Sains an sich, dalam perspektif realis-kritis, memang bekerja atas prinsip-prinsipnya sendiri, yang terlepas dari faktor eksternal. Secara metodologis, sains adalah independen. Tetapi, masalahnya menjadi sangat berbeda ketika berbagai aktivitas pengembangan sains hendak dikerjakan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, program pengembangan sains tidakah bebas dari kepentingan berbagai pihak terutama mereka yang memiliki kapital dan kuasa.

Misalnya, pertanyaan-pertanyaan mengenai: siapa yang menentukan jenis sains yang mana yang harus diprioritaskan untuk dikembangkan, penelitian apa yang didahulukan atau masalah apa yang perlu segera diatasi oleh saintis; ini semua sudah di luar prinsip-prinsip sains. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan kajian “science studies” yang menelaah pengaruh struktur sosial dalam arah pengembangan sains (Peter Godfrey-Smith, Bab 11, Naturalism and the Social Structure of Science).

Nah, dalam konteks inilah muncul kritik terhadap sains. Sejumlah orang yang mengklaim pembela sains segera menstigma mereka yang kritis itu sebagai anti-sains. Padahal, faktanya yang dikritik adalah konteks struktur sosial pengembangan sains, bukan metode sains.

Begitu pula kritik filosofis terhadap paradigma yang melandasi sains pun dipersepsi sebagai anti-sains. Padahal, yang dikritik adalah asumsi-asumsi kosmologis dan epistemologis sains, bukan metode sains an sich.  Mereka yang mengklaim pembela sains ini gagal membedakan sains dengan perspektif tentang sains. A.F. Chalmers menyebut mereka penganut empirisme naif (What is this thing called Science?, 1999).

Dalam uraian Seyyed Hossein Nasr (Science and Civilization in Islam, 1968), para ilmuwan Muslim pada masa keemasan peradaban Islam akan sangat terkejut jika mereka dibangkitkan dari kuburnya hari ini karena mereka menyaksikan bagaimana landskap keilmuan telah berbalik 180 derajat. Kualitas kearifan ilmuwan yang sebelumnya adalah pusat perhatian mereka kini telah bergeser ke pinggiran, dan sebaliknya, masalah-masalah banal (pinggiran) kini justru menyedot energi dan perhatian komunitas saintis (menjadi pusat isu) seperti riset-riset serba kuantitatif terhadap berbagai fenomena kehidupan.

Dalam esai saya yang lalu, “Mengungkap Karakter Ilmiah Al-Biruni”, terungkap bagaimana kearifan Al-Biruni sebagai ilmuwan jenius yang menguasai banyak disiplin ilmu ketika dia meneliti agama dan kebudayaan India secara obyektif dan komprehensif dengan penuh simpati dan sikap humanis sedemikian rupa, sehingga komunitas sarjana India menjulukinya sebagai salah seorang Bapak sejarah India.

Tentang Penulis

Husain Heriyanto adalah penulis buku Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (Jakarta: Mizan, 2011);  direktur ACRoSS (Avicenna Center for Religion and Science Studies); pengajar filsafat sains di Universitas Paramadina, Pascasarjana Universitas Indonesia, ICAS Jakarta.

0 Shares:
You May Also Like