MENGUNGKAP KARAKTER ILMIAH AL-BIRUNI

Husain Heriyanto

Pengajar Filsafat Sains di Universitas Paramadina, Pascasarjana Universitas Indonesia, ICAS Jakarta.

Perbincangan tentang hubungan sains, agama dan filsafat yang telah berlangsung dua pekan tidak akan lengkap tanpa mengungkap biografi seorang tokoh ilmuwan. Tulisan ini bermaksud untuk mengisi sisi kajian tersebut dengan lebih menitikberatkan budaya dan karakter ilmiah sang tokoh yang inspiratif. Ada tiga pertimbangan.

Pertama, di lapangan atau dunia nyata, bentuk hubungan itu terjadi melalui manusia sebagai agen tunggal yang memerankan ketiga ranah peradaban manusia tersebut. Tanpa manusia, tidak ada sains, filsafat dan agama.

Kedua, mencegah sesat-nalar yang sebagian penulis lakukan dengan cara strawman fallacy, yaitu sebuah bentuk kesesatan pemikiran dengan cara menisbahkan kesan/imaji yang anomali/dramatis/sensasional pada pihak lawan debat. Misalnya, melakukan stigmatisasi pemahaman umat beragama dengan stempel “memusuhi sains” melalui kisah persekusi Galileo oleh gereja, suatu narasi yang selalu diulang untuk memojokkan umat beragama. Padahal kisah pengucilan Galileo itu bersifat kasuistik pada abad ke-17 di Eropa, tetapi kemudian dipersepsikan sebagai hal yang berlaku umum pada semua gereja setiap zaman, dan lalu secara semena-mena bahkan dinisbahkan pada semua agama.  

Ketiga, sementara di dunia nyata, jauh lebih banyak tokoh-tokoh agamawan sebagaimana juga filsuf yang menjadi perintis perkembangan sains di setiap periode peradaban manusia (baca diantaranya George Sarton, A History of Science, 1952). Ini hanya persoalan kejujuran, literasi sejarah sains dan keluasan bacaan saja.

Salah satu tokoh ilmuwan besar itu adalah Abu Rayhan Muhammad Al-Biruni (973-1048 M). Tokoh ini dijuluki oleh UNESCO sebagai “sarjana universal dengan kejeniusan luar biasa” (The Extraordinary Genius of Universal Scholar) yang melampaui batas-batas zaman (baca “Journal The Unesco Courier”, edisi 1974, A Universal Genius in Central Asia a Thousand Years Ago).

Siapa Al-Biruni?

Berasal dari sebuah keluarga berbangsa Iran, Al-Biruni lahir pada tahun 973 M di daerah Khawarizm. Di kampung halamannya, dia menekuni berbagai disiplin ilmu pengetahuan dari tokoh-tokoh seperti Abu Nashr Mansur bin ‘Ali bin Irak Jilani dan Abu al-Wafa’, ahli matematika, fisika, dan astronomi.  Dia banyak melakukan perjalanan di daerah utara Persia dalam pengembaraannya mencari ilmu hingga ke Rayy, dekat Teheran.  Sejak itulah al-Biruni menelurkan karya-karya besarnya dalam bidang matematika, astronomi, mineralogi, fisika, farmasi, biologi, geografi, etnologi, bahasa, sejarah dan perbandingan agama.

Al-Biruni menemani Sultan Mahmud Ghazna ke India dan dia mempelajari agama, sejarah, tradisi dan budaya India selama 13 tahun sejak tahun 1017 hingga 1030 M. Hasil penelitian dan observasinya dituangkan dalam Kitāb fī Taqīq ma li’l-Hind (1030) yang menjadi karya maha penting tentang India, karena menjadi sumber rujukan bagi para sarjana dunia hingga kini untuk mempelajari, dan memahami seluk beluk agama, bahasa, sejarah dan budaya India secara obyektif, komprehensif, elaboratif dan akurat. Al-Biruni wafat tahun 1048 M di Ghazna (sekarang Afghanistan).

Berbicara tentang Al-Biruni, bagi seorang Will Durrant (1981) menjadi pembangit semangat untuk memenuhi undangan Iran American Society di Teheran, pada 21 April 1948. Penulis yang terkenal dengan karyanya The Story of Civilization 11 volume (1981) ini, diminta untuk berbicara tentang Persian Civilization. Ketika itu, tentu saja banyak tokoh ilmuwan Persia baik pra-Islam maupun sesudah Islam yang dia paparkan mengenai sumbangan mereka kepada dunia. Namun saat berbicara tentang Al-Biruni, dia memerlukan waktu yang cukup panjang mengisahkan prestasi-prestasi agung seorang Al-Biruni.

Durrant berkata, “Al-Biruni adalah Leonardo da Vinci dan Leibnitz-nya Islam karena mampu menguasai banyak disiplin ilmu dengan sumbangan orisinal yang melimpah. Dia adalah seorang ahli matematika, astronom, fisika, ahli geografi, ahli bahasa, sejarawan, penyair dan filsuf. Karyanya Kitab al-Hind menjadi saksi kebesaran tokoh ini karena hingga kini sulit menemukan bandingannya dalam mengungkap peradaban India”.

Baca Juga:  Amir 'Abdul Qadir Al-Jaza'iri dan Al-Mawaqif

Dia melanjutkan, “Dia tidak saja menyatakan kebulatan bumi tetapi sudah menghitung keliling bumi dengan akurasi yang mengagumkan (catt. Ketepatan 99,62 persen dibanding perhitungan modern), meformulasikan Dalil Sinus, menggagas gravitasi khusus,  menghitung fenomena astronomis dengan mengandaikan bumi berputar pada porosnya setiap hari dan mengelilingi matahari setiap tahun” (Will Durrant, Persian Civilization, 1948).

Karya-karya ilmiah al-Bīrūnī tak kurang dari 180-an buah meliputi fisika, matematika, astronomi, mineralogi, farmasi, kedokteran, biologi, geologi dan geografi.  Selain itu, dia pun menulis karya dalam bidang sejarah, bahasa dan perbandingan agama.  Banyak karya ilmiahnya yang menjadi rujukan penting dunia pendidikan sains di Timur dan Barat. 

Seyyed Hossein Nasr (Science and Civilization in Islam, 1968) menyebutkan, karya besar Qanun al-Bīrūnī merupakan teks paling komprehensif dalam astronomi Islam, dan kedudukannya dalam astronomi Islam sama seperti Qanun-nya Ibn Sīnā dalam bidang medis. 

Sarjana Perancis Jacques Boilot, dalam jurnal “Unesco Courier” (1974), menyatakan bahwa Kitab al-Qanun merupakan ensiklopedia yang nyaris lengkap tentang kajian astronomi, kosmologi, kronologi, geografi dan matematika.  Sedangkan karya astronomi lainnya, Elemen Astrologi menjadi teks standar dalam mengajarkan Quadrivium berabad-abad.

Al-Beruni’s India

Kitāb fī Taqīq ma li’l-Hind (1030) atau “Kitab Penyelidikan tentang India” telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Dalam edisi Inggris, karya Al-Biruni ini diterjemahkan oleh Dr. Edward C. Sachau (w. 1930), seorang profesor bahasa pada Royal University of Berlin, dengan judul Al-Beruni’s India.

Sachau mengatakan, bahwa dalam 800 tahun terakhir dia belum menemukan buku yang sebanding dengan karya Al-Biruni ini yang menjelaskan hampir seluruh aspek kehidupan India dengan pemahaman yang luar biasa. Pernyataan Sachau ini terbukti benar karena terjemahannya yang diterbitkan oleh Kegan Paul, London tahun 1910, terus diterbitkan hingga kini, termasuk cetakan India sendiri (New Delhi: Rupa.Co, 2005).

Penelitiannya yang obyektif dan komprehensi mengenai agama dan budaya India telah mengangkat Al-Biruni sebagai “Bapak Antropologi” dan “sang pemula” dalam studi perbandingan agama serta Indologi. Beberapa penulis India sendiri seperti Vinod Kumar, Namit Arora atau Ayaz Amir menjuluki Al-Bīrūnī sebagai Bapak Penulisan sejarah India (the father of Indian historical writing) dengan alasan sumbangan ilmiah yang diberikan Al-Biruni kepada India sangat signifikan. 

Pernyataan-pernyataan ini semua melukiskan tingginya kualitas ilmiah karya ini, yang boleh dikatakan paripurna’, mengenai peradaban India sedemikian sehingga karya ini belum tergantikan setelah hampir 10 abad berlangsung

Dalam karya ini, Al-Biruni menunjukkan kejernihan, obyektivitas, kedalaman dan keluasan pengetahuannya sehingga bisa mendesripsikan dan sekaligus menjelaskan fenomena sosial budaya dan pemikiran yang sebetulnya asing baginya. Dalam pengantarnya, dia terus terang mengaku,  dia menulis buku ini dimaksudkan untuk memberikan fakta-fakta esensial bagi kaum Muslim, dalam berkorespondensi dengan umat Hindu dan berdiskusi dengan mereka tentang agama, ilmu pengetahuan dan sastra.

Selanjutnya, dia menulis, “Buku ini tak membahas polemik. Saya menjelaskan India sebagaimana adanya. Saya malah akan menunjukkan keterkaitan India dengan Yunani… Juga keterkaitannya dengan gagasan sebagian sufi dan sejumlah pengikut Kristen, terutama pada konsep perpindahan jiwa dan panteisme, teori kesatuan Tuhan dengan ciptaan-Nya”.

Buku dengan dua volume tersebut (edisi London:Kegan Paul, 1910) berisi eksposisi yang padat dan lengkap tentang agama, filsafat, sastra, geografi, kronologi, astronomi, kebiasaan, hukum dan astologi India. Untuk membuat buku ensiklopedis ini dan sekaligus mampu memberikan ulasan yang dalam, Al-Biruni banyak belajar dan membaca berbagai macam buku tentang India yang membantunya memberi kerangka berpikir dan bahan-bahan yang relevan.

Baca Juga:  Haruskah Orang Menjadi Sufi dan Menjalani Laku Hidup Prihatin Seperti Dianjurkan Para Sufi?

Pertama-tama, dia mempelajari bahasa Sanskrit, yang menurutnya sulit dipelajari karena bahasa itu memiliki rentang yang luas baik kata-katanya maupun pembentukannya. Istilah-istilah Sanskrit memenuhi ulasan-ulasannya untuk menjaga makna asli yang terkandung dalam kata-kata Hindu itu. Saya kira membaca buku Al-Biruni ini juga berguna sebagai pengantar pelajaran bahasa Sanskrit.

Al-Biruni, membaca teks-teks agama dan astronomi India yang utama. Dia menekuni buku-buku Bhagavad Gita, Upanishad, Patanjali, Puranas, empat kitab Veda, teks ilmiah (oleh Nagarjuna, Aryabhata) dan cerita-cerita yang terkait dengan mitologi India. Dalam uraiannya dia menggarisbawahi bagian-bagian tertentu dari buku-buku tersebut.

Al-Biruni juga membandingkan pemikiran India dengan pemikiran Yunani seperti Socrates, Pythagoras, Plato, Aristoteles, Proclus, Galen, Apollo dan lain-lain, dan kadang-kadang dengan ajaran Sufi.  Dia juga dengan lincah membandingkan pemikiran India dengan tradisi Islam, Kristen, Zoroaster, Mani dan Yahudi.

Sejumlah topik-topik seperti Tuhan sebagai Sebab Pertama, entitas ‘intelligibles’ dan ‘sensibles’, substansi jiwa dan eskatologi, ia kuasai dengan memaparkan masing-masing pemikiran tokoh-tokoh di muka dan lalu, dia mencoba menganalisis dan membuat semacam studi komparasi. Yang cukup mengherankan dan mengagumkan adalah dia menyebutkan kutipan pemikiran filsuf-filsuf Yunani berikut judul buku-buku yang dia rujuk. Apakah dia membawa buku-buku itu ke India? Ataukah dia sudah hapal isi setiap buku tokoh-tokoh pemikir Yunani tersebut?

Al-Biruni dikenal sebagai ilmuwan yang sangat kritis. Al-Biruni menentang aliran Peripatetik, yaitu pemikiran Aristotelian yang banyak melandasi berbagai disiplin ilmu pengetahuan ketika itu, termasuk fisika dan astronomi.  Dia kritis sekali terhadap fisika Peripatetik seperti masalah gerak dan tempat.  Dia mengkritik fisika Peripatetik yang lebih banyak mengandalkan teori-spekulatif belaka itu, dengan himbauan agar menggunakan pengamatan dan eksperimen (Nasr, 1968).

Dalam korespondensinya dengan Ibn Sina, Al-Biruni mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sanggahan terhadap beberapa prinsip fisika Aristotelian.  Seperti: tentang gravitasi langit, gerak edar langit, tempat alamiah benda, dan masalah kontinuitas dan diskontinuitas materi dan ruang.  Al-Biruni selalu mengajukan keberatan-keberatannya terhadap dalil-dalil fisika Aristotelian itu dengan mengacu kepada eksperimen dan pengamatan.  Misalnya, dalam membantah dalil kontinuitas materi bahwa benda dapat terus menerus dibagi secara tak terhingga, Al-Biruni menyatakan bahwa jika dalil itu benar tentu benda yang bergerak lebih cepat tidak akan pernah menyusul benda yang bergerak lebih lambat. 

Kenyataannya, kata Al-Biruni, dalam pengamatan kita benda yang bergerak cepat dapat menyusul benda yang mendahuluinya, seperti Bulan yang menyusul Matahari karena gerak Bulan jauh lebih cepat daripada Matahari.   Lalu, Al-Biruni menyatakan bahwa alangkah tak masuk akal kita jika menafikan pengamatan atas kenyataan itu.  Karena itu, menurut Al-Bīrūnī,  materi itu terdiri dari bagian-bagian yang dapat dipisahkan secara terhingga (jumlah bagian-bagiannya terhingga).

Sebenarnya masalah kontinuitas dan diskontinuitas materi adalah persoalan filosofis sebagaimana yang dijawab oleh Ibn Sina.  Dan Al-Biruni pun adalah seorang yang tekun mendalami telaah filsafat; sayangnya sebagian besar karya filsafatnya hilang.  Kendati demikian, karena semangat eksperimentasinya cukup besar, dia pun menentang aliran Peripatetik tidak hanya dengan menyodorkan dalil filosofis, melainkan juga dalil empirisnya.

Nah, sikap kritis dan terbuka Al-Biruni juga tampak dengan jelas ketika dia menuliskan pemahamannya tentang pemikiran dan masyarakat India. Dalam Bab Satu, dia mengakui bahwa kaum Hindu (India) berbeda dengan kaum Muslim dalam setiap aspek baik doktrin keagamaannya maupun tradisi dan kebudayaannya. Tetapi, pada saat yang sama, dia juga memuji beberapa pemikiran dan tradisi India.

Baca Juga:  Amal Pilar Kedua Thariqah Bani Alawi

Al-Biruni menulis, “.. Kaum Hindu percaya bahwa tidak ada negara kecuali negara mereka, tidak ada bangsa seperti mereka, tidak ada raja-raja seperti raja-raja mereka, tidak ada agama seperti mereka, tidak  ada ilmu seperti yang mereka miliki. Mereka angkuh, bodoh, belagu dan pendiam. Mereka cenderung kikir dalam mengkomunikasikan apa yang mereka tahu, dan mereka sangat waspada terhadap orang yang berkasta lain.  Keangkuhan mereka adalah sedemikian rupa sehingga jika Anda memberitahu mereka bahwa ada ilmu pengetahuan atau sarjana di Khurasan dan Persia mereka akan berpikir Anda adalah seorang bodoh dan pembohong. Jika mereka melakukan perjalanan ke luar dan bergaul dengan bangsa lain, mereka akan segera berubah pikiran, karena leluhur mereka sesungguhnya tidak berpikiran sempit sebagaimana generasi saat ini…”

Akan tetapi, setelah itu, dengan kelugasan dan keterbukaannya yang sama, Al-Biruni tidak segan-segan memuji dan mengagumi beberapa pemikiran dan tradisi India. Penerjemah karyanya, Edward Sachau menulis, “Bagi Al-Biruni, orang Hindu adalah filsuf yang sangat baik, matematikawan dan astronom yang baik, meskipun [terlepas dari rasa percaya-diri yang tinggi] dia percaya bahwa dirinya lebih unggul dari mereka, dan enggan untuk diletakkan setingkat dengan mereka. Dia tidak menyembunyikan apapun yang dia anggap salah dan tidak praktis dengan mereka, tapi ia juga menghargai prestasi budaya mereka …”

Al-Biruni juga menerjemahkan buku-buku Sanskerta ke bahasa Arab. Sebaliknya, ia juga menerjemahkan buku bahasa Arab dan Yunani ke Sanskerta. Yang menarik adalah pandangannya bahwa masyarakat India bukan kafir penyembah berhala, melainkan pengikut “bentuk lain” monoteisme.

Bagi Al-Biruni, ritual pemujaan patung dewa bisa dimengerti sebagai sarana orang awam di India untuk menghayati gambaran abstrak soal Tuhan yang sulit mereka pahami. Pola mirip, sekalipun praktiknya berbeda, menurutnya terjadi dalam Kristen, Yahudi, Yunani, bahkan Islam. (Al-Beruni’s India,1910).

Oleh karena itu, mungkin sebagian Muslim hari ini akan menuduh Al-Biruni sebagai seorang pluralis-liberal. Seorang kontributor jurnal “Unesco Courier” (1974), Soumaya, menilai Al-Biruni memiliki sikap humanis saat menulis India dengan mendorong dialog peradaban dan saling memahami demi kehidupan bersama di tengah berbagai perbedaan budaya, tradisi dan agama.

Kritis dan Otentik

Pemikiran dan kisah Al-Biruni yang diangkat sekilas di muka, menggambarkan kecerdasan apropriasinya yang tinggi dan bernas. Penguasaan Al-Biruni terhadap ilmu-ilmu dari berbagai tradisi peradaban seperti Yunani, Kristen, Yahudi, Zoroaster dan India—di samping Islam sebagai rumah peradabannya—dan sekaligus memetakan masing-masing tradisi dengan membandingkan mereka satu sama lain, itu menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi untuk tidak larut dalam apa yang dipelajari dan diketahui.

Pada diri Al-Biruni, terkumpul dua karakter ilmiah yang menjadi basis terbentuknya budaya ilmiah apropriasi. Kedua karakter itu adalah bersikap otentik (terbuka, apa adanya, jujur) dan kritis. Sikap otentik adalah sebuah bentuk keberanian mengada, mengekspresikan yang asli. Sikap otentik ini dalam kategori hermeneutik Paul Ricoeur adalah terbuka kepada pegelaran teks. Sedangkan sikap kritisme dalam hermeneutika Ricoeur adalah distansiasi. Sikap kritis ini mendorong seseorang untuk mampu mengambil jarak dari diri sendiri dan orang lain serta memungkinkan terjadinya apropriasi.

Kedua karakter ilmiah itu didukung pula sikap humanisme Al-Biruni yang melakukan penelitian ilmiahnya terhadap agama, kebudayaan dan tradisi asing dalam konteks membangun dialog antar peradaban.   

Tentang Penulis

Husain Heriyanto adalah penulis buku Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (Jakarta: Mizan, 2011);  direktur ACRoSS (Avicenna Center for Religion and Science Studies); Pengajar filsafat sains di Universitas Paramadina, Pascasarjana Universitas Indonesia, ICAS Jakarta.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Menguak Alam Imajinal

Haidar Bagir Dewan Pembina Nuralwala Dalam khazanah spiritualitas Islam (sufisme, ‘irfan, isyraqiyah, atau hikmah), biasanya diterima adanya tiga…