Ajaran Thariqah Bani ‘Alawi
Oleh: Habib Husin Nabil Assegaf
Pengajar di Nuralwala dan Pengasuh Majelis Rebo Malem
Allah swt. mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. jalan untuk mengarungi kehidupan. Kemudian, Nabi Muhammad saw. mengajarkannya kepada ahl al-bait-nya dan kepada para sahabat-sahabatnya. Jalan hidup itu kemudian bergulir dari masa ke masa hingga sampai kepada generasi-generasi berikutnya, generasi tab”in, generasi tabi’ut tab’in, begitu pula bergulir kepada anak cucu Rasulullah saw. dan kepada kita yang hidup di abad modern.
Jalan hidup itu adalah bagaimana menerjemahkan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya yang termaktub di dalam Alquran ke dalam kehidupan sehari-hari kita. Sebab, para ahl al-bait Nabi dan sahabat-sahabatnya pada waktu itu tidak belajar Alquran secara otodidak, mereka belajar Alquran dengan cara melihat kehidupan Nabi Muhammad saw., mereka mengikuti tata cara hidup Rasulullah saw. sebab mereka tidak bisa menjalani hidup ini hanya bersandar kepada Alquran semata. Seperti yang sering disebut oleh orang-orang di zaman ini, mereka mengatakan, “Untuk apa kita mengikuti thariqah atau jalan hidup fulan padahal Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw. telah meninggalkan Alquran dan sunnah. Apakah itu tidak cukup?”
Tentu, kita tidak bisa mengetahui hidup ini hanya dengan membawa Alquran dan as-sunnah yang kita pahami secara otodidak. Karena itu akan menimbulkan kekacauan, kesalahan yang sangat fatal. Sebab, para sahabat Nabi tidak belajar Alquran dengan membaca Alquran, tapi dia membaca Alquran dengan melihat Rasulullah saw., mereka berkumpul dan bersahabat dengan Nabi Muhammad saw. secara lahir dan batin, sehingga mereka melihat terjemahan dan tafsir atas Alquran dari Rasulullah saw. Itulah terjemahan yang tidak mungkin salah. Tetapi, di era sekarang banyak ditemukan sekelompok orang yang mencoba menguak makna Alquran menurut akal pribadinya. Sehingga, hasil pemahamannya akan mengacaukan umat dan menimbulkan isu patologi sosial. Dalam konteks ini kita harus memiliki guru yang memiliki mata rantai ketersambungan sampai dengan Rasulullah saw. sehingga hasil pembacaan kita terhadap Alquran berada dalam koridor rahmat, penuh welas asih dan kebijaksanaan.
Seseorang pernah bertanya kepada Sayidah Aisyah ra., “Wahai Aisyah bagaimana dulu akhlak Rasulullah saw.?” “Akhlak Nabi Muhammad saw. adalah Alquran,” Jawab Sayidah Aisyah. (HR. Imam Muslim)
Berdasarkan keterangan di atas, kita bisa mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw. adalah terjemahan/tafsiran dari Alquran. Nabi Muhammad saw. juga mengajarkan kepada sahabatnya untuk mencontoh dirinya, dia mengatakan;
صَلُّوا كما رَأيتُموني أُصلِّي
“Salatlah kalian seperti kalian melihat salatku”. (HR. Imam Bukhari)
Perhatikan redaksi hadis di atas. Nabi saw. mengajak agar kita semua salat sebagaimana Nabi salat. Tidak mengatakan, “Belajarlah salat dari Alquran”. Memang demikian, Alquran di sebagain ayatnya memiliki sifat yang umum tidak terinci, sehingga kita tidak mendapatkan tata cara salat di dalam Alquran dengan lengkap. Untuk melengkapinya, maka kita harus melihat Rasulullah saw.
Di dalam Alquran Allah hanya menjelaskan kewajiban melakukan salat dan menjelaskan beberapa gerakan salat, seperti rukuk dan sujud, tetapi terkait bagaimana cara salatnya Nabi mengatakan, ‘Lihatlah aku salat”. Begitu pula manasik haji, “Ambillah dari aku manasik haji kalian“. Dan Nabi Muhammad saw. juga memerintahkan ahl al-bait-nya serta para sahabatnya ketika menyampaikan risalah agama bukan dengan kepalanya dan pikirannya sendiri, tapi harus bersumber dari Rasulullah saw. Itu sebabnya Nabi mengatakan;
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikan dari aku (bukan dari pikiranmu), walau satu ayat” (HR. Imam Bukhari)
Terkait dengan ini, Nabi saw. mengajarkan doa agar dikaruniahkan ilmu yang berlimpah dari Allah swt.;
رَبِّ زدْنيِ عِلْماً وَ رْزُقْنيِ فَهْماً
“Wahai Allah, berilah aku karunia rezeki ilmu dan pemahaman yang benar dari ilmu yang aku miliki”.
Ilmu itu bisa diperoleh dari mana saja. Tetapi, pemahaman yang benar dan murni hanya bisa diraih melalui wasilah berkumpul dengan Ahullah—yakni mereka orang-orang yang memiliki kedekatan di sisi Allah swt. dan memiliki mata rantai sampai ke Nabi Muhammad saw.—Itu sebabnya, Nabi memerintahkan sahabatnya untuk mengikuti jalan hidupnya dan begitu pula Bani ‘Alawi memiliki mata rantai jalan hidup dari orang tuanya, ke orang tuanya sampai ke datuknya yaitu Nabi Muhammad saw.
Jalan hidup Bani ‘Alawi itu berasas pada Alquran dan sunnah Nabi yang dipahami secara umum dan khusus. Kemudian, diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari seperti: makan, tidur, bermuamalah, dan lain sebagainya persis seperti yang dipraktikan oleh Nabi. Di era sekarang seorang tokoh ‘Alawiyah yang menjelaskan secara komprehensif laku, ritus dan akhlak Bani ‘Alawi ialah Habib Zain bin Ibrahim ibn Sumaith. Beliau adalah sosok ulama karismatik yang sampai saat ini masih hidup di kota Madinah. Beliaulah seorang ulama dari kalangan Bani ‘Alawi yang memiliki pemahaman yang luar biasa terkait Thariqah Bani ‘Alawi, dan seleurh pemahamannya telah terdokumentasikan dengan baik ke dalam sebuah kitab yang berjudul al-Manhaj as-Saawiy: Syarh Ushuul Thariiqah as-Saadah Aal Baa ‘Alawi—tentang kitab ini sudah saya alih bahasakan ke bahasa Indonesia dengan judul Thariqah Alawiyah: Jalan Lurus Menuju Allah.
Siapa yang menginginkan dan mendalami Thariqah ini hendaklah membaca dan disertai perenungan yang mendalam kitab al-Manhaj as-Sawi. Di dalam kitab tersebut Al-Alamah Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith menyampaikan lima pilar Thariqah Bani ‘Alawi yaitu ilmu, amal, ikhlas, wara’, dan khauf.
Dalam mencapai kedekatan di sisi Allah swt., maka seseorang itu memerlukan ilmu, kemudian mengamalkannya, terus dibaluti dengan ikhlas— memurnikan amal hanya untuk Allah swt.—hingga lahir wara’—menjaga diri dari hal-hal yang subhat (yang tidak jelas kehalalannya)—dan akhirnya akan melahirkan kondisi jiwa yang penuh rasa khauf yakni rasa tunduk, rasa takut kepada Allah swt.
Ini lima pilar jalan hidup Thariqah Bani ‘Alawi. Dan di antara ciri-ciri Thariqah ini adalah tidak memiliki ciri-ciri khusus. Jadi, mereka yang menjalankan Thariqah Bani ‘Alawi bisa orang yang mengenakan baju takwa dan sarung, yang berdasi dan tidak berdasi. Intinya, siapa yang menjalankan lima pilar tersebut, maka mereka secara otomatis berada di lingkaran Thariqah Bani ‘Alawi.
Itulah sedikit ringkasan tentang Thariqah Bani ‘Alawi, semoga Allah swt. memasukkan kita semua kepada lingkaran hamba-hamba-Nya yang saleh dan dikumpulkan nanti kelak bersama mereka.