KONSTRUKSI NALAR TEORI SAINS

Oleh: Dr. Husain Heriyanto

Pengajar Filsafat Sains di Universitas Paramadina, Pascasarjana Universitas Indonesia

Melalui riset 25 tahun untuk mengenali dan memahami secara mendalam seluk beluk pertumbuhan dan perkembangan sains di berbagai tradisi peradaban seluruh dunia—Barat dan Timur serta Utara dan Selatan—mulai zaman pra-sejarah (abad 40 SM) hingga masa modern (abad 20 M), George Sarton tiba pada sebuah kesimpulan bahwa, “Sains berkembang sejalan dengan pergumulan eksistensial manusia dalam memahami diri dan dunia dengan segala problemanya” (A History of Science, jilid 1, 1952). Sarton menggarisbawahi kehadiran rasionalitas dan mentalitas ilmiah yang menjadi infrastruktur kultural pengembangan sains di manapun dan kapan pun posisi kosmik ruang-waktu suatu peradaban muncul.

Atas dasar penemuan itulah, Sarton meratapi gejala kejahilan sebagian ilmuwan dan sarjana pada umumnya serta mayoritas masyarakat awam terhadap spirit ilmiah yang melambari dinamika perkembangan ilmu pengetahuan. Mereka sedemikian terpesona, terpukau, terobsesi dan penuh haru dengan capaian-capaian material sains belaka tanpa pemahaman yang memadai bagaimana sains itu bekerja dan berproses.

Mereka gagal memahami sains sebagai sebuah proses yang melibatkan rasa ingin tahu (sense of curiosity), perhatian (attention), imajinasi, ilham (insight), visi, kreativitas, harapan, keyakinan inheren pada struktur realitas yang rasional (intelligibility of the world), dan jerih payah ilmiah yang panjang sebelum melahirkan berbagai produk sains (teori, dalil, hukum, hipotesis, deskripsi, rekayasa/teknik, dan barang-barang). Sains sebagai produk dalam bentuk teori, prinsip, kaidah, dalil, hukum, hipotesis pun mereka hampir tak peduli.

Mata mereka hanya—meminjam kata-kata Goenawan Mohamad—“berbinar-binar” ketika menatap lini akhir produk sains berupa barang-barang dan jasa-jasa (fetisisme komoditi). Dalam pengertian yang sangat dangkal inilah mereka berkhutbah tentang perlunya “berkhidmat pada sains”. 

Mereka ini layaknya persis seperti penyembah berhala yang mengelu-elukan patung-patung sembahannya dengan menganggapnya sebagai tuhan-tuhan yang menyelamatkan dan menjanjikan kebahagiaan pada mereka. Mereka lupa bahwa patung-patung yang tampak gagah perkasa dan penuh pesona itu adalah hasil kreasi dan imajinasi mereka sendiri.

Hampir beriringan dengan masa penelitian Sarton di Harvard Library, seorang ilmuwan-filsuf kelahiran Wina, Karl Popper, mempublikasikan karya ilmiah yang monumental, The Logic of Scientific Discovery (1959). Karya ini dianggap oleh komunitas pemerhati sains sebagai salah satu buku yang paling luas dibaca pada abad ke-20. Peter Medawar menyebutnya sebagai “salah satu dokumen paling penting abad ke-20” (New Scientist).

Salah satu butir kesimpulan Popper adalah bahwa teori-teori sains merupakan produk imajinasi kreatif. Menarik dicermati bahwa pernyataan Popper ini sejalan dengan kesimpulan Sarton di atas meskipun mereka menggunakan pendekatan yang berbeda, yaitu analisis historis (Sarton) dan analisis logika formal dan material (Popper).

Baca Juga:  NALAR REALIS MEMAHAMI SAINS: Respons atas Interupsi F. Budi Hardiman terhadap Goenawan Mohamad dan A.S. Laksana

Sains adalah Konstruksi Nalar

Dalam karyanya The Logic of Scientific Discovery, Popper menyelidiki setiap tahapan bagaimana sains dikonstruksi sejak awal dari pengetahuan sehari-hari hingga penyusunan gugus teori-teori sains. Dia mendedah proses kognisi struktur sains melalui pengujian rasional (Popper menyebutnya analisis logis) atas dasar apa sains ditegakkan, diuji dan dikembangkan.

Popper menulis, “Seorang saintis, apakah seorang teorisi atau eksperimenter, mengajukan pernyataan-pernyataan atau sistem pernyataan-pernyataan, dan menguji mereka tahap demi tahap. Dalam bidang sains empiris, secara lebih khusus, dia mengonstruksi hipotesis-hipotesis atau sistem teori-teori, dan menguji mereka melalui observasi dan eksperimen” (Bab 1 – A Survey of Some Fundamental Problems).

Popper mengungkap sebuah prinsip primer yang amat telanjang—tetapi sering luput dari perhatian sebagian saintis dan mayoritas penyorak populisme sains—bahwa semua saintis, terlepas apakah dia saintis murni yang berurusan dengan teorisasi tesis-tesis ilmiah ataupun saintis terapan yang berurusan dengan rekayasa tesis-tesis ilmiah, memulai segala sesuatu dengan PERNYATAAN berupa HIPOTESIS. Atas dasar hipotesis (pernyataan awal yang bernilai rendah karena belum diuji) itulah ilmuwan memulai pekerjaan ilmiahnya, sesederhana apapun teorisasi ilmiah yang hendak dia kerjakan, dan sepraktis apapun rekayasa ilmiah yang hendak dia lakukan.

Seorang ahli mikrobiologi atau virologi misalnya, ketika mengamati munculnya wabah penyakit menular dengan gejala-gejala yang mirip dengan penyakit flu dan sekaligus sesak napas, dia akan menyusun hipotesis: “Kemungkinan wabah ini disebabkan oleh penularan virus korona SARS”. Kemudian dia amati pula bahwa penularan itu berlangsung sangat cepat dengan sejumlah gejala yang berbeda dengan virus korona SARS yang sebelumnya sudah dikenal.

Atas dasar pengamatan ini, para ahli virus berdiskusi dan mulai melakukan identifikasi dan klasifikasi sedemikian rupa sehingga mereka tiba pada kesimpulan bahwa wabah penyakit menular saat ini disebabkan oleh virus famili korona yang baru, yang lalu mereka sebut dengan the novelcorona virus atau  SARS-CoV-2.  Penyakitnya dinamakan COVID-19.

Proses konstruksi nalar di atas dijabarkan dalam beberapa pernyataan sebagai berikut:

P1. Diduga wabah disebabkan oleh virus SARS.

P2. Diamati bahwa ada gejala lain yang tidak sama dengan penyakit virus SARS.

P3. Identifikasi virus perlu dua hal: studi pustaka virus dan koleksi data penyakit.

P4. Diduga wabah ini disebabkan oleh jenis virus baru tetapi masih satu famili korona.

P5. Klasifikasi perlu dua hal: studi famili virus korona dan koleksi data gejala penyakit.

Baca Juga:  Ajaran Thariqah Bani 'Alawi

P6. Wabah disebabkan oleh virus korona baru yang dinamakan dengan SARS-CoV-2.

P7. Untuk identifikasi dan klasifikasi, wabah penyakit sekarang dinamakan COVID-19

Kita bisa lihat bagaimana proses identifikasi dan klasifikasi virus yang menyebabkan wabah penyakit menular sekarang dimulai dari P1.  Pernyataan (P1) berupa hipotesis ini hanya bisa disusun oleh ahli virus yang sudah memiliki pengetahuan sebelumnya tentang virus termasuk sifat dan perilaku virus SARS. 

Orang lain yang tidak berpengetahuan apapun tentang virus tentu tidak akan bisa membuat hipotesis sesederhana apapun sekalipun mereka melihat gejala yang sama atau bahkan mengalami langsung gejala-gejalanya (penderita COVID-19).  

Sementara sesama ahli virus itupun memiliki tingkat penguasaan konsep-konsep pengetahuan virus yang berbeda sehingga membuka peluang perbedaan pendapat di antara mereka. Semakin lengkap pengetahuan dan tertata gugus konsep yang dimiliki seorang ahli virus, semakin besar peluang kebenaran hipotesisnya. Sebaliknya, semakin miskin pengetahuan seseorang atau semakin acak gugus konsep-konsep yang dimiliki, semakin kecil peluang kebenaran hipotesisnya.

Dengan demikian, jelas bahwa yang membedakan antara orang yang berpengetahuan dengan yang kurang atau tidak berpengetahuan adalah kehadiran gugus konsep dalam pikirannya, bukan pengamatan dan eksperimen. Eksperimen, kata Popper, berguna untuk menguji hipotesis, bukan menentukan hasil final. Keputusan akhir diputuskan oleh nalar, yang itupun, kata Popper, bersifat tentatif (sementara). Teori ilmiah pada esensinya bersifat tentatif, demikian penjelasan Popper.  

Seseorang yang pikirannya kosong dari gugus konsep virus tidak akan mengerti apa-apa ketika memasuki laboratorium mikrobiologi dan melihat gerak-gerak virus melalui mikroskop elektronik. Dia hanya mengamati adanya sesuatu yang tampak seperti mahkota tanpa mampu mengidentifikasi dan mengklasifikasinya sama sekali. Membuat pernyataan bahwa apa yang dia lihat adalah virus pun semata karena informasi yang telah dia dengar dari dokter atau ahli virus baik secara langsung atau tidak.

Demikian pula, seorang penderita COVID-19, bahkan, meskipun secara fisik mengalami dan merasakan langsung gejala-gejala infeksi virus juga tidak bisa mengidentifikasi penyakit apa yang dia derita dan apa penyebabnya.

Bagaimana halnya dengan sains terapan? Apakah juga memerlukan gugus konsep?

Seorang penyuluh kesehatan masyarakat, misalnya, setelah munculnya wabah COVID-19, akan mensosialisasikan sejumlah protokol kesehatan pada masyarakat. Salah satu di antaranya adalah kebiasaan mencuci tangan. Kenapa dia menganjurkan mencuci tangan? Apa hubungannya dengan infeksi virus SARS-CoV-2 ? Berikut beberapa premis/pernyataan ilmiah yang hadir dalam pikirannya.

P8.  Virus SARS-CoV-2 menular melalui mulut, hidung dan mata

P9.  Tangan sering memegang mulut, hidung dan mata.

P10.  Karena itu, tangan perlu steril dari virus SARS-CoV-2.

Baca Juga:  Menguak Alam Imajinal

P11.  Mencuci tangan dengan sabun merupakan bentuk sterilisasi.

P12. Sabun melarutkan lemak yang merupakan kapsid/selubung virus berupa lipoprotein.

Tampak jelas juga bahwa protokol kesehatan yang sederhana pun, seperti sering mencuci tangan secara teratur, merupakan produk sejumlah tesis/dalil/deskripsi ilmiah yang hadir dalam pikiran sang penyuluh kesehatan atau dokter. Mereka tentu tidak harus selalu menjelaskan premis-premis ilmiahnya. Sang dokter juga tentu tidak perlu menjelaskan alasan-alasan ilmiahnya secara sistematis di balik saran-saran medisnya kepada sang pasien karena dia tidak sedang memberi kuliah kedokteran tapi sedang menyembuhkannya.

Demikian pula para teknisi dan insinyur yang tampak bekerja konkrit di lapangan tanpa banyak bicara bukan berarti pikiran mereka absen dari gugus konsep tentang apa yang tengah mereka kerjakan. Mereka memiliki pengetahuan tentang fisika teknik, kimia analitik, hukum Newton, hidrologi, teori kinetika gas, hukum termodinamika, Habibie Crack Theory, dan lain-lain.

Kegagalan mengenali premis-premis ilmiah yang hadir dalam pikiran dokter itulah yang menyebabkan presiden Amerika Serikat Donald Trump segera memotong uraian tim dokter Task Force COVID-19 yang melaporkan eksperimen tentang efek disinfektan terhadap virus. Trump menukas “Kenapa tidak kita gunakan, entah dengan cara apa,  disinfektan untuk membunuh virus pada tubuh kita?”

Apa yang tidak dimiliki oleh Trump terkait dengan produk-produk sains? Sebagai presiden negara super power, Trump memiliki segalanya atau setidaknya hidup berdampingan dengan segenap produk-produk teknologi canggih. Tetapi, mengapa sikap dan pandangannya cenderung bertentangan dengan sikap ilmiah baik secara maknawi maupun harfiah seperti contoh komentar mengenai disinfektan di atas?  

Jawabannya, karena dia hanya melihat sains sebagai produk akhir yaitu berupa barang-barang dan jasa-jasa. Dia tidak memiliki mentalitas untuk mampu memahami dan mengapresiasi prinsip-prinsip ilmiah yang bekerja di balik kemunculan produk-produk canggih.

Kesimpulannya adalah bahwa kita jangan mudah terkecoh oleh sejumlah orang yang tampak antusias memuja sains, tapi dilakukan dengan cara pendangkalan pengertian sains itu sendiri. Sains itu tidak melulu berurusan dengan produk-produk dan jasa-jasa tetapi lebih merupakan sebuah proses memperadabkan diri kita sebagai manusia.

Ketika seseorang dengan pongah mencibir dan mencemooh nilai-nilai kearifan kemanusiaan yang banyak terinspirasi oleh agama dan filsafat,  maka dia telah mencerabut akar eksistensial sains itu sendiri.

Tentang Penulis

Husain Heriyanto adalah penulis buku Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (Jakarta: Mizan, 2011);  direktur ACRoSS (Avicenna Center for Religion and Science Studies); pengajar filsafat sains di Universitas Paramadina, Pascasarjana Universitas Indonesia, ICAS Jakarta.

0 Shares:
You May Also Like