ONTO-EPISTEMOLOGI OBJEK SAINS: Acuan Ibn Sina dan Karl Popper (Bagian Satu)

Dr. Husain Heriyanto

Pengajar Filsafat Sains di Universitas Paramadina dan Pascasarjana Universitas Indonesia

Izinkan kali ini saya mengggunakan pemikiran Ibn Sina dan Karl Popper untuk memetakan medan gelanggang sains. Meski kedua tokoh filsuf-saintis ini lahir dari dua tradisi yang berbeda, yakni peradaban Islam dan Barat modern, dan dari dua zaman yang berjarak sembilan abad, mereka memiliki titik-titik singgung yang dapat dirangkai dalam satu helaan napas ketika memahami asumsi dan cara kerja aktual sains.

Keduanya mengusung rasionalitas dan berpandangan realisme-kritis. Mereka juga skeptis terhadap induksi sebagai penalaran logis yang sah untuk penarikan kesimpulan sains, dengan perbedaan bahwa jika Ibn Sina menggagas hidden deduction (qiyās dhamīr) maka Popper mengajukan prinsip falsifikasi sebagai jalan keluar dari problem induksi (the mother of all problems), yang berabad-abad telah menghantui para filsuf dan saintis modern.

Sejauh untuk pemetaan wilayah kerja sains, metafisika dan epistemologi Ibn Sina memiliki koherensi gugus gagasan dengan epistemologi dan metodologi Karl Popper. Bermula dari Realitas, kita akan menguliti satu persatu fondasi bangunan sains, yakni Objek, Problem, Observasi, Fakta, Hukum dan Teori Sains. Sains adalah segenap ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan metodis; dan mengingat konteks perdebatan, sains yang dimaksud dalam tulisan ini terutama mengacu kepada ilmu pengetahuan alam.

Realitas

Realitas adalah konsep universal yang paling luas sekaligus sublim yang hadir dalam kesadaran manusia dan mungkin seluruh pengada. Ia—sebagaimana eksistensi (wujud)—tidak bisa didefinisikan karena tidak memiliki genus (jins) dan differentia (fashl). Mustahil mendefinisikan sesuatu yang tidak memiliki konsep yang lebih umum di atasnya (genus) dan tak bisa dibedakan dengan yang lain karena ia bersama segala sesuatu bahkan diperlukan untuk memaknai ketiadaan.

Kecuali segelintir orang yang terpapar skeptisisme mutlak atau nihilisme absolut, tidak ada orang yang menyanggah adanya Realitas, sebagai horizon keberadaan yang tak bertepi dan tak berujung yang memungkinkan segalanya bisa ada (becoming) dan mungkin ada (event) termasuk kehidupan kita. Apapun yang terlintas di pikiran, apapun yang dipahami, apapun yang disuarakan, apapun yang dikerjakan, dan apapun yang di luar pikiran, semuanya hadir dan terjadi dalam dan bersama Realitas.

Perdebatan antara pengusung empirisme naif—meminjam istilah A.F. Chalmers—yang memuja sains eksperimental dengan mereka yang menolak dogmatisme positivistik sains—baik yang skeptis maupun yang kritis— hanya dimungkinkan terjadi jika mereka semua meyakini adanya Realitas. Terlepas apakah Realitas itu independen sepenuhnya dari kesadaran, atau Realitas itu sepenuhnya berkorelasi dengan kesadaran, ataukah Realitas itu berjenjang yang sebagian independen dan sebagian lainnya berkorelasi (seperti yang diusung oleh para filsuf Muslim dengan prinsip tasykīk al-wujūd, gradasi eksistensi), semua kubu tengah mempresentasikan pandangannya tentang Realitas yang mereka pahami.

Mereka berselisih dan bertikai tentang isi dan konsep Realitas. Namun mereka sama-sama meyakini adanya Realitas (baca Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence).  Realitas sebagai konsep (what Reality is) adalah satu hal, dan Realitas sebagai Realitas (that Reality is) adalah hal yang lain. Di balik segala pertikaian konseptual, mereka sesungguhnya beriman kepada Realitas.

Baca Juga:  Islam adalah Spiritualitas

Obyek Sains: Perangai Alam

Ibn Sina mendefinisikan ilmu alam (al-thabī’ī) sebagai studi tentang prinsip-prinsip tertentu dan hal-hal yang terkait dengan badan-badan alam (al-ajsām al-thabī’iyyah; natural bodies), sejauh dapat dipersepsi oleh indra dan disusun oleh pusat indra al-issī al-musytarak; senses communis), baik secara langsung maupun tak langsung. Yang dimaksud raga-raga alam adalah setiap substansi yang menempati ruang (tiga dimensi) baik dunia sub-luar (bumi dan satelitnya bulan) maupun dunia langit (celestial sphere).

Istilah al-thabī’ī itu sendiri bermakna “perangai” (kodrat, alamiah); yang diserap dalam bahasa Indonesia menjadi kata “tabiat”. Istilah bahasa Inggris “nature” pun awalnya bermakna sebagai “kodrat” atau “perangai”. Misalnya pada penggunaan frase “the nature of man” yang berarti kodrat manusia atau esensi manusia. Jadi, istilah al-thabī’ī, tabiat atau nature mendenotasikan usaha pengungkapan “keapaan” (māhiyah, kuiditas, esensi).

Senapas dengan pengertian al-thabī’ī Ibn Sina, filsuf abad ke-17 Baruch Spinoza menggunakan istilah “natura naturata” dan “natura naturans” yang masing-masing hendak menunjukkan pasivitas dan aktivitas perangai alam semesta. Sebagaimana Ibn Sina, bagi Spinoza alam memiliki perangai dan karakter tertentu, tidak sekedar koleksi materi tanpa makna dan tatanan intrinsik.

Dalam halaman-halaman karyanya al-Najāh dan al-Isyārāt wa al-Tanbīhāt bagian ilmu alam, Ibn Sina menyelidiki karakteristik beserta prinsip-prinsip yang bekerja pada badan-badan alam. Dia menganalisa konsep-konsep yang melekat pada benda-benda alam hingga pengertian-pengertian yang paling dasariah dalam menjelaskan dunia fisik.

Salah satu topik yang menarik adalah ketika dia mengkritik pandangan atomisme (ide bahwa pembelahan benda akan berakhir pada sebuah partikel yang tak lagi bisa dibagi, yaitu atom). Ibn Sina menguraikan bahwa karena benda alam tersusun oleh materi (selain forma) dan materi itu esensinya adalah sebuah komposit (murakkab; composition), maka materi akan selalu dapat dibagi hingga tak terhingga. 

Tesis Ibn Sina ini belakangan pada awal abad ke-20 terkonfirmasi oleh model atom Niels Bohr dan mekanika kuantum yang menunjukkan adanya partikel-partikel subatomik (elektron, proton neutron) dan lintasan elektron sebagai medan energi.  Pada tingkat subatomik, obyek materi padat fisika klasik Newtonian larut menjadi pola-pola probabilitas yang menyerupai gelombang energi (Kragh, Quantum Generations, 1999).

Ibn Sina mengeksplorasi prinsip-prinsip dasariah alam yang lain seperti asas gerak dan perubahan, kemunculan dan kepunahan, waktu sebagai ukuran gerak dan perubahan, temporalitas dan kontingensi, kuantitas dan kualitas, dimensi spasiotemporal, arah perubahan, hingga kapasitas badan-badan alam untuk enumerasi matematika.

Satu hal yang kerap diulang dan ditekankan oleh Ibn Sina adalah perangai alam—terutama dunia sub-lunar—yang kontingen dan selalu dalam kondisi perubahan meski tak kasat mata. Berubah bukan sekedar atribut melainkan watak atau perangai intrinsik alam raya. Alam adalah perubahan itu sendiri karena dia tersusun oleh forma dan materi yang selalu terbuka menerima energi dari celestial sphere (alam sebagai sistem terbuka).

Baca Juga:  Harmonisasi Tuhan, Alam dan Manusia: Catatan Bedah Buku The Tao of Islam karya Sachiko Murata

Beberapa perangai alam yang didedah Ibn Sina cukup intensif adalah:

  1. Badan-badan alam itu tersusun dan karenanya selalu dapat dianalisis, dibelah, enumerasi dan dikuantifikasi.
  2. Alam adalah perubahan itu sendiri karena ia sebuah sistem terbuka
  3. Alam adalah tatanan itu sendiri bukan sesuatu yang memiliki tatanan
  4. Matematika lebih merupakan model kualitatif (pola, tatanan) alam tanpa menafikan kapasitas kuantifikasi terhadap alam.

Berbeda dengan pandangan Realisme Naif, bagi Ibn Sina, alam sebagai tatanan yang independen dan objektif tidak membuatnya tidak berkorelasi dengan manusia. Independen tidak sama dengan terisolasi; bersifat objektif tak berarti harus terpisah dari pengalaman manusia yang memahaminya.

Isu ini memang merupakan salah satu akar kemunculan perselisihan aliran-aliran filsafat Barat modern hingga kini. Kita bisa lihat pertarungan sengit antara kubu-kubu berikut: objektivisme vs subjektivisme; empirisme vs rasionalisme; positivisme vs idealisme; saintisme vs romantisme; erklaren vs verstehen; strukturalisme vs post-strukturalisme hingga pertentangan dua kubu besar antara bentuk-bentuk Realisme dengan bentuk-bentuk Anti-Realisme.

Distingsi yang dibuat John Locke, tokoh empirisme awal abad 18, antara “primary qualities” (dianggap obyektif karena bisa dikuantifikasi) dan “secondary qualities” (dianggap subjektif karena tak bisa dikuantifikasi) bisa dimaknai sebagai usaha Locke untuk memperoleh gambaran objektif tentang alam. Ini adalah sebuah bentuk Realisme Naif. Kenapa? Karena dia memaknai objektif sebagai hal yang tak berkorelasi dengan manusia, maka dia harus mencampakkan pengalaman primer dan eksistensial manusia dengan alam ke dalam keranjang “kualitas sekunder” yang tak penting dalam sains.

Padahal, tanpa pengalaman primer manusia dengan alam, tidak ada secuil pengetahuan apapun tentang alam. Sebelum kimiawan merumuskan senyawa air dengan molekul H2O, mereka dan kita semua sudah berhubungan dengan air sebagai zat yang sangat kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Relasi primer dan eksistensial antara manusia dan alam itu merupakan guru pertama manusia dan semua saintis untuk melakukan penyelidikan ilmiah.

Nah, lalu mengapa untuk mencari atau mendemonstrasikan objektivitas sains harus menyingkirkan pengalaman eksistensial manusia itu, yang tanpanya tidak akan ada sains alam apapun? Apakah karena mereka kaum empirisme itu gagal memahami bahwa pengalaman eksistensial manusia-alam itu tidak mesti mengoyak objektivitas sains? Mengapa mereka beranggapan kalau manusia berkorelasi eksistensial dengan alam, maka sains akan tidak objektif ?

Kenyataannya, Ibn Sina, seorang ilmuwan dan dokter yang dijuluki “pangeran para dokter” yang karyanya Qānūn fī al-Thibb (Canon of Medicine) menjadi referensi dunia kedokteran di Barat dan Timur hingga abad 19, namun pada saat yang sama dia menempatkan kajian alam sebagai bagian integral dari kajian psikologi (epistemologi naturalistik) dan metafisika (baca urutan tema-tema Al-Isyārāt wa al-Tanbīhāt, yakni Logika, Ilmu Alam-Ilmu Psikologi-Metafisika dan diakhiri dengan kajian tentang Kearifan dan Kebahagiaan Manusia). 

Baca Juga:  Dimensi Sufisme dalam Kitab Nahwu al-Qulub Karya Imam Al-Qusyairi

Dalam perspektif Ibn Sina sebagaimana juga saintis-filsuf Muslim umumnya, tidak ada pertentangan sama sekali antara menjadi saintis besar dengan menerapkan modus berpikir filsuf; tidak ada konflik epistemologis antara menjadi saintis dengan menjadi orang bijak yang peduli dengan kebahagiaan dan spiritualitas manusia.

Esai saya yang lalu, “Mengungkap Karakter Ilmiah Al-Biruni” juga membentangkan bagaimana seorang al-Biruni, yang dijuluki UNESCO sebagai “extraordinary genius scholar” karena capaian-capaian ilmiahnya yang sangat berjasa mengembangkan berbagai bidang sains, namun pada saat yang sama ia adalah seorang yang humanis, toleran, aktif membangun dialog antar peradaban ketika dia meneliti agama dan kebudayaan India secara mendalam, komprehensif dan objektif. Menjadi saintis bukan berarti harus membuang kearifan kemanusiaan dan nilai-nilai spiritualitas.

Onto-epistemologi Objek Sains

Kajian Ibn Sina mengenai prinsip-prinsip yang mengkarakterisasi alam sebagai pokok bahasan (subject matter) ilmu alam atau dengan istilah populer kajian perangai alam (al-thabī’ī) yang diulas ringkas di muka menggambarkan sekaligus pandangan epistemologis Ibn Sina. Dalam sistem filsafat Ibn Sina, tidak ada gap besar antara “mengetahui alam apa adanya” (sikap epistemologis sains) dengan “berkorelasi eksistensial dengan alam” (pandangan metafisis).

Sistem ontologi dan epistemologi Ibn Sina inilah yang disebut oleh William Chittick—seorang pengkaji filsafat Islam kontemporer—sebagai sistem pemikiran onto-epistemologi Ibn Sina. Dalam konteks kajian objek kajian sains, pendekatan ini boleh kita sebutkan sebagai onto-epistemologi objek sains Ibn Sina.

Atas dasar sistem filsafat itu, Ibn Sina berhasil menyelamatkan objektivitas sains sekaligus mentransendensikan pengalaman empiris manusia menjadi sebuah kearifan perenungan intelektual dan spiritual. Tidak seperti kaum Realisme Naif—entah empirisme, positivisme logis, saintisme, ataupun materialisme ilmiah—Ibn Sina tidak menyingkirkan pengalaman eksistensial manusia dalam korelasi primernya dengan alam demi mencapai objektivitas sains.

Juga, tidak seperti kaum Idealisme-Subjektif—entah idealism Kant, idealisme Hegel, romantisme, humanisme subjektif, pragmatisme, skeptisisme, relativisme, nihilisme—Ibn Sina tidak membuang kapasitas manusia memahami “alam apa adanya” (knowing nature as such)  ketika menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang alam merupakan salah satu jalan pengenalan diri (psikologi) dan prinsip-prinsip realitas yang lebih mendasar (metafisika).

Mengapa corak pemikiran yang mempertentangkan atau cenderung menghadap-hadapkan antara Realitas Mental dengan Realitas Ekstramental sedemikian akut terjadi di dunia modern ? 

Ini adalah pertanyaan yang membutuhkan kajian tersendiri, sebuah telaah serius tentang makna ADA.  Dan itu bukan tempatnya sekarang kita bahas.

In sya Allah, saya akan lanjutkan esai ini pada bagian kedua yang mengaitkan onto-epistemologi objek sains Ibn Sina dengan episteme-metodologi problem sains Karl Popper.

Tentang Penulis

Husain Heriyanto adalah penulis buku Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (Jakarta: Mizan, 2011);  direktur ACRoSS (Avicenna Center for Religion and Science Studies); pengajar filsafat sains di Universitas Paramadina, Pascasarjana Universitas Indonesia, ICAS Jakarta.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Kemarahan Suci?

Oleh: Haidar Bagir Pengasuh Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf Lama saya berpikir, kenapa ketika sedang berbicara tentang…