Oleh: Haidar Bagir
Pengasuh Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf
Lama saya berpikir, kenapa ketika sedang berbicara tentang masalah agama, sebagian di antara kita, kaum muslim terkesan gampang marah? Ada beberapa jawaban yang mampir di benak saya. Boleh jadi ia merupakan “ekses” dari besarnya ghirah (kecemburuan) keislaman. Atau bisa saja ia wujud reaksi-balik akibat perasaan ketertindasan politik, atau keterancaman oleh kedigdayaan budaya sekuler. Namun, penjelasan yang saya anggap lebih mendasar adalah apa yang menurut saya merupakan ketaklengkapan dalam kita memahami karakter dasar Islam.
Setidaknya selama beberapa abad belakangan ini, bayangan yang lebih dominan di benak kita tentang Allah adalah kehadiran-Nya yang serba menakutkan, pemarah, dan siap membalas dengan keras orang-orang yang berbuat kesalahan kepada-Nya. Sudah tentu bayangan seperti ini bukannya sama sekali tidak berlandaskan pada apa yang diajarkan-Nya sendiri kepada kita lewat wahyu-wahyu-Nya. Tapi, saya kira pandangan seperti ini bukan saja tidak lengkap, melainkan dapat menutupi aspek lain dari kehadiran-Nya.
Dalam fenomenologi agama, disebutkan ada dua situasi pertemuan manusia dengan Tuhannya. Dalam situasi pertama, Tuhan tampil di hadapan manusia sebagai meminjam Rudolf Otto suatu “misteri yang mencekam” (mysterium tremendum). Pada situasi lainnya, Ia hadir sebagai “misteri yang mempesonakan”.
Namun, ada masa ketika kaum muslim seperti lupa pada sisi esoteris agama mereka yang melihat hubungan manusia-Tuhan sebagai kecintaan makhluk kepada keindahan, mempesonakan Sang Khalik. Jadilah para orientalis ahli fenomenologi agama Van der Leuw, antara lain menunjuk Islam sebagai agama yang melulu berorientasi nomos (syariah dalam arti sempit, hukum fikih) yang serba legal-formal dan kering dari orientasi eros (cinta, hubb, ‘isyq). Padahal, pada kenyataannya, sejak berabad lampau khazanah kebijaksanaan (hikmah) Islam sudah menunjuk pada dua aspek-manunggal (asma’) Tuhan ini: kedahsyatan yang mencekam (jalal) dan kecantikan yang mempesonakan (jamal).
“Aku adalah perbendaharaan yang terpendam. Aku cinta/rindu (ahbabtu) untuk diketahui. Maka aku ciptakanlah alam-semesta.” Demikianlah Allah berfirman dalam suatu hadis qudsi yang masyhur. Basis dari penciptaan sejak awal mulanya, menurut hadis yang merupakan kutipan standar dalam hampir setiap uraian tasawuf ini, adalah kerinduan atau kecintaan Allah akan (ma’rifah) manusia.
Selanjutnya, menurut suatu penelitian, lebih banyak porsi dalam 99 nama Allah (al-asma’ al-husna) tercurah bagi nama-nama yang termasuk dalam aspek jamal Allah swt. seperti; al-Rahman (Maha Pengasih), al-Rahim (Maha Penyayang), al-Lathif (Maha Lembut), al-Shabur (Maha Sabar), al-Wadud (Maha Pencinta) ketimbang bagi aspek jalal-Nya seperti; al-Qahhar (Maha Pemaksa), al-Jabbar (Maha Keras), al-Mutakabbir (Maha Jumawa), al-Muntaqim (Maha Pembalas).
Bukan itu saja. Dalam Al-Qur’an, bahkan terdapat lima kali lebih banyak ayat yang mengandung nama jamaliyah ini ketimbang jalaliyah. Dengan kata lain, Allah menampilkan diri-Nya dan tak ada yang dapat menampilkan Allah kecuali diri-Nya sendiri lebih sebagai Zat yang indah, penuh cinta, dan mempesona, ketimbang suatu misteri dahsyat yang menggentarkan.
Kenyataan ini tentu sama sekali tak berarti bahwa kita harus mengabaikan penampilan Allah swt. dalam segenap kedahsyatannya. Yang harus kita sadari adalah bahwa segenap kedahsyatan Allah itu kemurkaan, pemaksaan, janji pembalasan (yang keras) terhadap kejahatan makhluk, dan sebagainya merupakan bagian dari kecintaan-Nya kepada makhluk. Dalam sebuah hadis qudsi lain disebutkan bahwa Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya kasih-sayang-Ku mendahului (sabaqat, prior to) kemurkaan-Ku”. Dalam Al-Qur’an, Dia sendiri mengajarkan bahwa rahmat-Nya “seluas langit dan bumi” dan “meliputi segala sesuatu”. Sejalan dengan itu Nabi-Nya pernah mengabarkan kepada kita bahwa: “Allah memiliki seratus rahmat. (Meski hanya) satu yang ditebarkan-Nya ke atas alam semesta, itu saja sudah cukup untuk menanamkan kecintaan di hati semua manusia, dan di hati para ibu kepada anak-anaknya. Bahkan juga di hati seekor kuda ketika ia mengangkat salah satu kakinya karena khawatir menginjak anaknya, ataupun kepada seekor ayam betina yang mengembangkan sayapnya demi sang anak berlindung di bawahnya.
Sifat Allah yang demikian itu terpancar jelas pada diri Rasulullah saw. citra-Nya (par exellence). Dalam Al-Qur’an dia disifati Allah dengan “Seorang Rasul dari kalanganmu (bangsa Arab) yang amat (concern) dengan apa-apa yang menimpamu, protektif kepadamu, dan amat lembut dan sayang kepada orang-orang beriman”. Di ranjang kematiannya, ucapan yang meluncur dari bibirnya adalah: “Ummatiy… ummatiy” Bahkan, diriwayatkan bahwa di Padang Mahsyar kelak, Rasulullah ingin semua umatnya mendapat syafaat (intersesi yang dapat menjauhkan siksa neraka) dari beliau. Dikabarkan kelak dia akan mengundang ke sana-kemari: “Mana kalian umatku, datanglah ke sini (untuk kuberi syafaatku)”.
Saya khawatir, apa yang saya anggap sebagai kekeliruan penghayatan kita tentang karakter-dasar ajaran Islam sebagai katakanlah agama cinta, dan bukan terutama agama kemarahan, pemaksaan, dan pembalasan, itu berpengaruh besar dalam mendorong kita mendahulukan sikap siap menyalahkan, siap mengecam, bahkan siap mengumbar ancaman kepada orang-orang yang berbeda pandangan dengan kita. Padahal, perbedaan tak selalu sama dengan kesalahan. Bahkan, perbedaan pandangan bisa jadi justru sebuah taman sari yang menyejukkan. Kalaupun sebuah kesalahan, ia bisa juga datang dari upaya mencari kebenaran yang ikhlas. Bahkan, jika ia ditengarai bersumber dari niat jahat yang bisa datang dari kelompok mana pun, masih terbuka peluang bagi perlakuan lain sebelum kita majukan sikap konfrontatif. Maksud saya, dialog dan cara-cara persuasif lain, untuk meluruskannya.
Karena kurangnya kita hayati ajaran dasar Islam tentang cinta-universal itu, jadilah kurang empati dan toleransi kita, apalagi apresiasi, kepada yang lain. Ini pendapat saya yang boleh jadi tidak tepat, wallahualam.
Catatan
Artikel ini pernah terbit di sini