Mengenal Abid Al-Jabiri: Kritik Nalar Arab dan Tradisi dengan Modernitas (1)

Gagasan Muhammad ‘Abid Al-Jabiri tentang tradisi (turats) tidak lepas dari proyek pemikirannya yang ia sebut dengan Kritik Nalar Arab. Kritik ini dilatarbelakangi oleh semangat revivalisme (Kebangkitan Islam) dalam dua gagasan yaitu sebagai refleksi atas kegagalan kebangkitan Islam sekaligus upaya untuk merealisasikan transformasi sosial yang tak kunjung datang. Kebangkitan Islam di era modern dipandang oleh Al-Jabiri belum berhasil atau bahkan gagal. Salah satu penyebab gagalnya kebangkitan Islam adalah ketidaktepatan dalam mensikapi tradisi (turats).

Menurut Al-Jabiri tradisi (turats) adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lalu, apakah itu masa lalu kita atau masa lalu orang lain, ataukah masa lalu tersebut adalah masa lalu yang jauh maupun yang dekat. Namun, Al-Jabiri kemudian menegaskan bahwa tradisi yang hidup itu sebenarnya berakar kuat pada pemikiran-pemikiran Islam, yang dikembangkan para ulama sejak abad kedua Hijiriah hingga masa sebelum kemunduran sekitar abad kedelapan Hijiriah yang secara asasi berkaitan dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai dari ajaran doktrinal, syariat, bahasa, sastra, seni, kalam, filsafat dan tasawuf.

Maka tidak heran, jika kemudian Al-Jabiri memfokuskan perhatiannya pada tradisi Islam yang tertulis untuk dibongkar dan dipahami secara obyektif. Pemikiran Al-Jabiri tentang tradisi (turats) bertujuan untuk kelangsungan proyek kebangkitan Islam dan mewujudkan transformasi sosial.

Sekilas tentang Abid Al-Jabiri

Muhammad Abid Al-Jabiri adalah seorang pemikir Islam kontemporer asal Maroko. Dilahirkan di Figuib, sebelah selatan Maroko pada tahun 1936. Pendidikannya dimulai dari tingkat Ibtidaiyah di Madrasah Burrah Wathaniyyah. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di sekolah menengah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka.

Baca Juga:  Fakhr al-Din al-Razi: Sang Filsuf dan Mujaddid

Sejak awal, Al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya dimulai tahun 1958 di Universitas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia pindah ke universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia menyelesaikan program masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh Inda Ibnu Khaldun (Arini Izzati Khairina, “Kritik Epistemologi Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri”, El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, vol. 4, no. 1 (2016), hlm. 103–14).

Kritik Nalar Arab

Proyek kritik nalar Arab yang digagas oleh Al-Jabiri dilatar belakangi oleh kegelisahan dan keprihatinan atas kegagalan kebangkitan Islam pasca-persinggungannya dengan kolonialisme Barat sejak abad ke-19. Pembaruan pemikiran yang diharapkan mampu membangkitkan peradaban Islam tidak kunjung datang. Dunia Arab bahkan semakin dikagetkan dengan kekalahan perang melawan Israel pada tahun 1948 dan 1967. Kenyataan ini mendorong beberapa intelektual Arab, termasuk al-Jabiri, merencanakan model pengembangan untuk mewujudkan kembali ambisi kebangkitan Islam di masa yang akan datang (Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Intereligius, hlm. 5).

Al-Jabiri kemudian menggagas apa yang disebutnya sebagai “kritik nalar Arab”. Kritik nalar Arab diperlukan dalam rangka kembali kepada prinsip-prinsip dasar sebagai landasan kebangkitan umat Islam. Namun prinsip-prinsip dasar ini bukan berarti menghadirkan prinsip-prinsip masa lalu sebagai landasan kebangkitan, melainkan sebagai dasar melakukan kritik terhadap masa kini dan masa lampau untuk melakukan lompatan ke masa depan.

Kritik nalar Arab merupakan studi kritis yang dilakukan oleh Al-Jabiri terhadap pemikiran sebagai perangkat untuk menelurkan produk-produk teoritis yang dibentuk oleh kebudayaan yang memuat sejarah peradaban Arab, mencerminkan realitas, dan ambisi-ambisi masa depan. Titik tekan perhatiannya terletak pada pemikiran sebagai perangkat berpikir, bukan pemikiran sebagai sebuah produk (Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Intereligius, hlm. 23). Dengan demikian wilayah kritik yang dikembangkan oleh Al-Jabiri merupakan wilayah epistemologi.

Baca Juga:  Kegelisahan Buya Syafii Maarif dan Tantangannya untuk Generasi Muda Muslim Indonesia

Al-Jabiri memulainya dengan meletakkan nalar arab dalam posisi yang setara dengan nalar Yunani dan Eropa. Ada kesamaan karakteristik dalam nalar Arab, Yunani, dan Eropa. Ketiganya dibangun oleh pemikiran teoritis rasional dalam menjelaskan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam. Perbedaannya terletak pada pemahaman tentang keberadaan Tuhan.

Pada nalar Yunani, konsep Tuhan dalam “akal universal” baru muncul setelah adanya alam (Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Intereligius, hlm. 38).

Sedangkan dalam nalar Barat, tidak ditemukan konsep tentang Tuhan. “Akal universal” yang dipersepsikan sebagai Tuhan dalam nalar Yunani, oleh nalar Barat diposisikan sebagai “hukum mutlak bagi akal manusia” (Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Intereligius, hlm. 40).

Sementara dalam nalar Arab, alam memainkan peran sebagai petunjuk bagi manusia untuk menyingkap Tuhan dan menjelaskan hakikatnya. Akal diharapkan merenungkan alam agar sampai pada penciptanya, yaitu Allah Swt. Pada perkembangan berikutnya nalar Yunani melahirkan rasionalisme. Aktivitas rasional yang dilakukan manusai pada dasarnya adalah memahami sistem dan tatanan segala sesuatu. Seluruh alam bisa dipahami oleh akal. Nalar Barat menumbuhkan empirisme.

Pengetahuan bergantung pada apa yang diberikan pengalaman kepada akal dan apa yang ditangkap indra dari fakta lapangan. Sementara nalar Arab tidak menampakkan epistemologi yang runtut. Epistemologi nalar Arab melompat-lompat dan mudah beralih dari satu epistemologi ke epistemologi lain. Misalnya berpindah dari rasional menjadi irasional. Al-Jabiri menyebutnya dengan dengan nomadisme kultural.

Nomadisme kutural inilah yang menunjukkan tidak adanya pendirian epistemologis dalam nalar Arab. Persoalannya bukanlah berubah-ubahnya ideologi, seperti persoalan “nasionalisme”, “Islam”, Demokrasi, “sosialisme”, “sekularisme” dan lain-lain. Persoalannya adalah berubah-ubahnya orientasi dalam setiap momen epistemik. Fenomena ini mencerminkan kemunduran nalar Arab, dibanding dengan Yunani dan Eropa. (Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Intereligius, hlm. 75).

Baca Juga:  Sakit sebagai Karunia

Akhirnya, Al-Jabiri kemudian mengusulkan penulisan ulang sejarah konstruksi opini nalar Arab. Selama ini, sejarah yang dituliskan dan diajarkan di sekolah-sekolah hanyalah sejarah opini. Sejarah opini adalah sejarah tentang pertentangan dan perpecahan. Ada kalanya pertentangan itu bersifat akademis, namun sering kali bersifat politis. Catatan sejarah yang ada membiarkan situasi ini dalam ketumpang tindihan. Karena itulah perlu disusun kembali sejarah keilmuan Arab yang berorientasi pada nalar keilmuan.

Terlebih, Al-Jabiri juga mengusulkan agar titik tolak sejarahnya adalah era kodifikasi. Dengan meletakkan era kodifikasi sebagai titik tolak sejarah, Al-Jabiri kemudian membagi sejarah nalar Arab menjadi masa sebelum kodifikasi, selama kodifikasi, dan setelah kodifikasi. Era kodifikasi menjadi kerangka referensial bagi nalar Arab (Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Intereligius, hlm. 23).

0 Shares:
You May Also Like