Makanan Asli Manusia Bukan Makanan Hewan

Di dalam kajian logika, manusia didefinisikan sebagai hewan yang berpikir. Jadi, hewan adalah salah satu dimensi manusia. Tepatnya, hewan menjadi dimensi umum dan ambiguitas manusia. Oleh karena itu, kita tidak heran ketika manusia memiliki agenda-agenda kehewanan semisal makan, minum, tidur dan lainnya. Kendatipun demikian, manusia bukan sekedar hewan, melainkan manusia adalah hewan yang berpikir. Kita mengetahuinya bahwa akal adalah dimensi aktualitas manusia dan diferensial manusia. Atas dasar inilah, sudah semestinya manusia memperbanyak agenda kemanusiaannya, dan memberikan nilai kemanusiaan pada setiap agenda kehewanannya.

Ketika hewan-hewan lain makan di kala lapar, minum dikala haus, tidur di kala ngantuk, maka manusia semestinya tidak demikian. Manusia bakal makan di kala lapar, dan minum di kala haus, ketika akal memerintahkan. Itulah mengapa, ada sedikit manusia yang tidak makan dan tidak minum dikala lapar dan dahaga. Manusia lakukan itu semua demi meraih apa? Yakni demi meraih nikmatnya pengetahuan. Sebab, pengetahuan tidak akan masuk ke dalam perut yang penuh dengan makanan. Di samping itu, ada sedikit manusia yang rela tidak tidur sepanjang malam, demi meraih nikmatnya belajar atau ibadah malam. Tahu kenapa? Sebab pintu-pintu langit terbuka di saat mata-mata tertidur pulas.

Mereka semua adalah orang-orang yang bergaya hidup rasional dan mengikuti perintah akal. Sebab akal mereka senantiasa menyeru pada kenikmatan level tinggi, meskipun harus mengorbankan kenikmatan level rendah.

Dengan penjelasan yang lebih jelas, manusia adalah spesies yang bergenus hewan dan berdiferensial akal. Artinya, manusia dan kucing misalnya saudara sehewan. Sebab, keduanya bergenus hewan. Dan berkat akal, manusia terbedakan secara substansial dengan hewan lainnya selain manusia.

Walhasil, tentu keliru ketika manusia hanya dimaknai sebagai hewan yang hanya makan dan minum. Maka sungguh mengherankan, mengapa Tuhan menyeru manusia agar memperhatikan makan dan minumnya sebagaimana yang tertera di QS. ‘Abasa ayat 24. Seakan-akan ini adalah perkara esensial dan begitu urgen bagi manusia. Lantas, apa makna seruan suci tersebut? Satu hal yang pasti, setiap makhluk hidup, niscaya makan dan minum. Dan setiap mereka memiliki makanan dan minuman khususnya masing-masing. Namun ketika ditinjau dari kehidupan realitas, di antara makhluk hidup, tampaknya manusia yang paling rakus. Namun, sangat miris, di tengah kerakusannya, hanya sedikir manusia yang ingin memakan makanan yang khusus diperuntukkan kepada manusia. Tahu kenapa? Sebab kebanyakan manusia hanya memakan makanan yang umum-umum saja, yaitu makanan yang juga diperuntukkan kepada makhluk hidup lainnya. Mungkin, kebanyakan manusia tidak mengetahui makanan khususnya. Yah, mungkin saja. Sebab, bagaimana bisa mencari makanan khusus, ketika tidak dikenali. Seperti halnya, bagaimana seseorang hendak mencari tahu, ketika dirinya tidak mengetahui bahwa dirinya tidak tahu.

Baca Juga:  Trilogi Iman Manusia Bertakwa

Kita telah mengetahui nama filsuf yang terkenal yaitu Socrates. Satu-satunya hal yang diketahui adalah saya tidak tahu apa-apa. Tahu bahwa tidak tahu, adalah satu-satunya hal yang diketahui oleh Socrates dan tidak diketahui oleh orang lain, sehingga Socrates tahu bahwa dirinya tidak tahu. Karena itu, dia bergerak mencari tahu. Sedangkan orang lain tidak tahu apa-apa. Bahkan mereka juga tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dalam bahasa Mulla Sadra, kejahilan Socrates adalah kejahilan sederhana (jahil basith). Sedangkan kejahilan orang lain dan boleh jadi juga kita adalah kejahilan rangkap (jahil murakkab).

Kemudian kembali pembahasan sebelumnya, lantas apa makanan khusus bagi manusia? Tentulah makanan yang berkaitan dengan substansi manusia yaitu jiwa. Makanan yang tidak berbahan dasar materi yaitu pengetahuan dan penyembahan. Kedua hal ini merupakan makanan khusus bagi manusia. Sebab, pengetahuan relevan dengan esensi manusia sebagai makhluk pemikir. Dan penyembahan relevan dengan eksistensi manusia sebagai wujud terbatas.

Sebagai manusia, sudah semestinya kita berlomba-lomba mencari makanan khusus bagi manusia. Sudah sepatutnya manusia bergegas dalam mencari ilmu dan menyembah kepada sesempurnanya wujud yaitu Tuhan melalui ritual ibadah. Tidak menutup kemungkinan, kebanyakan kita mempersepsikan bahwa ilmu dan ibadah bukan makanan, tetapi sarana untuk mendapatkan makanan yang materi. Padahal, pada hakikatnya, ilmu dan ibadah adalah makanan dan minuman bagi manusia, bahkan sebaik-baik makanan dan minuman bagi manusia. Jadi, ilmu dan ibadah ini makanan yang diperuntukkan secara khusus untuk manusia. Bagaimana mungkin kita menyadarinya, kita hidup seolah-seolah hanya dengan raga semata. Kita mengaku Islam, anti materialisme, tapi pandangan dunia kita sepenuhnya bercorak materialistik. Sedangkan kita juga mempunyai jiwa yang butuh makan dan minum.

Baca Juga:  Syirik

Dari sini, kita pahami mengapa Tuhan menyeru kepada manusia agar memperhatikan makan dan minumnya. Jangan sampai, manusia hanya menyantap makanan dan minuman yang umum-umum saja. Tetapi manusia sudah semestinya makanannya adalah pengetahuan dan minumannya adalah penyembahan. Maka, beruntunglah bagi mereka yang menempuh jalan pengetahuan dan penghambaan dan menyempurnakan esensi dan eksistensi dirinya dengan mengenal dan menyembahnya melalui pengetahuan. Dengan itulah, setiap gerak dan diam kita dianjurkan untuk membuahkan pengetahuan dan setiap tarikan nafas kita bernilai penghambaan.

Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kemampuan dalam melezati lezatnya pengetahuan dan beribadah kepada-Mu. Sebab, sebagai status hamba hanya menghamba kepada Tuhan yang layak untuk disembah.

0 Shares:
You May Also Like