Syirik

Oleh: Faqry Fakhry

Muhib di Jalan Menuju Mahbub

“Allah mengampuni semua dosa kecuali syirik” (QS. an-Nisa [4]: 48), demikian Allah firmankan.

Apa makna (perbuatan) syirik sesungguhnya?

Umumnya kita akan menghubungkannya dengan politeisme (paham banyak Tuhan), atau paham trinitas. Kadang kita hubungkan dengan keyakinan atau kepercayaan kepada kesaktian dukun, atau malah cuma kepercayaan takhayul saja. Bisa jadi politeisme itu syirik, bisa jadi juga kepercayaan kepada dukun dan berbagai takhayul itu juga syirik. Asal syaratnya terpenuhi. Yakni, di dalamnya terlibat kepercayaan bahwa ada sekutu bagi Allah, yang kedudukannya dan kekuasaannya dianggap sama. Dengan kata lain, masing-masing tuhan, atau apa pun yang bisa dianggap sebagai sekutu tuhan itu, diyakini berkuasa bertindak secara leluasa terlepas dari tuhan satunya. Dan jika itu yang terjadi, yakni saat kehendak tuhan yang satu bertentangan dengan tuhan yang satunya lagi, akan terjadi kontradiksi dan pergulatan, yang ujungnya adalah kekacauan dan kehancuran.

“Jika sekiranya ada tuhan-tuhan lain selain Allah di langit dan di bumi, maka akan hancurlah keduanya” (QS. al-Anbiya [21]:22), demikianlah Allah ber-“logika”.

Syirik, dalam hal ini, adalah melanggar keadilan, melanggar praktik yang berlandaskan akal sehat. Dengan kata lain, suatu kezaliman, yakni pelanggaran kepada keadilan dengan cara tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya yang semestinya, sehingga bisa muncul ketidak-seimbangan dan kekacauan:

“Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (QS. Luqman [31]:13).

Nah, pertanyaannya sekarang, apakah tuhan yang dijadikan sekutu itu selalu bermakna wujud adikuasa gaib yang transenden atau serba melampaui manusia? Yang pasti, tuhan itu—apa pun bentuknya—adalah sesuatu yang disembah, dijadikan sesembahan. Dipuja, dicintai. Jika ini makna sesembahan, maka sesungguhnya ada juga tuhan-tuhan penyekutu yang tidak transenden, tuhan yang berbentuk manusia atau benda-benda:

Baca Juga:  Melacak Tradisi Filsafat Islam Mazhab Iluminasi

“Dan sebagian manusia ada yang menjadikan tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah…”(QS. Al-Baqarah [2]: 165).

Kenyataannya, kita bisa memuja atau mencintai apa saja yang dapat memuasi umbaran hawa nafsu belaka. Allah berfirman:

“Tahukah kamu siapa yang menjadikan hawa (nafsunya) sebagai ilah (sesembahan)?” (QS. al-Jaatsiyah: [45] 23).

Jika kita lihat logika ini, maka dapat kita katakan bahwa syirik adalah tindakan menyekutukan Tuhan dengan sesuatu yang dapat memalingkan (distract) konsentrasi kita kepada Tuhan sejati yang satu itu. Termasuk harta benda, manusia, popularitas, kekuasaan, dsb.

Maka para ulama biasa membagi syirik menjadi dua: syirik yang nyata (jali) dan syirik yang  samar (khafiy). Syirik nyata artinya adalah mempercayai dan melaksanakan ibadah kepada sesembahan selain Allah dengan keyakinan bahwa sesembahan itu memiliki kedudukan sebagai Tuhan. Yang kedua adalah syirik yang tersamar (khafiy). Syirik tersamar meliputi segala bentuk penyembahan/pemujaan dunia, atau penyembahan hawa nafsu, dll. Nabi saw. memandang syirik seperti ini sebagai lebih samar daripada “jalannya semut di atas batu datar di malam yang gelap gulita.”

Demikian samarnya syirik ini sehingga sebagian ulama menyatakan bahwa syirik tersamar ini lebih berbahaya ketimbang syirik nyata. Syirik seperti ini, pada gilirannya, menyebabkan pandangan hidup kita tak lagi padu, koheren dan harmonis. Dengan kata lain, antitesis dari tauhid. Syirik seperti ini bisa merusak dan mengakibatkan banyak kerusakan:

Pribadi yang pecah secara psikologis, kekacauan dalam hal keyakinan akan keteraturan di alam semesta, dan sebagainya.

Nah, orang yang hidup di dunia dengan pandangan hidup seperti ini, takkan bisa meninggalkan dunia ini dengan hati yang sehat. Sehingga, atas ulahnya sendiri, dia takkan bisa hidup dalam keadaan serasi, damai, tenteram dan penuh kebahagiaan ketika memasuki alam lain. Dengan kata lain, ia memasukkan dirinya ke neraka.

Baca Juga:  Perjalanan Akademik Sang Hujjatul Islam Imam al-Ghazali

“Pada hari yang harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan kalbu yang bersih” (QS. asy-Syu’ara [26]: 88-89).

Ya, orang musyrik sendirilah yang sesungguhnya memilih neraka baginya di alam lain. Kenyataannya, memang, neraka dan surga adalah ciptaan/pilihan manusia sendiri. Keduanya adalah konsekuensi dari pilihan cara hidup mereka di dunia. Jika mereka memilih hidup dengan cara yang teratur dan padu, maka mereka akan mendatangi alam lain itu dalam keadaan membawa hati yang sehat, yang otomatis akan mengantar mereka ke surga. Sebaliknya, jika cara hidup mereka kacau balau, maka mereka akan meninggalkan dunia ini dengan membawa hati yang pecah, yang sakit dan inilah yang akan mengantar mereka ke neraka.

0 Shares:
You May Also Like