IBN AL-‘ARABI DI MATA PARA FUQAHA

Oleh: Muhamad Firdaus

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selama ini, Ibn al-‘Arabi lebih dikenal dengan gagasan filosofis dan mistisnya, bahkan kajian yang berkembang di barat pun demikian. Namun, sebenarnya Ibn al-‘Arabi mempunyai pemikiran tentang syariah. Setidaknya ada dua akademisi yang memperkenalkan pemikiran Ibn al-‘Arabi dari sisi syariah, yaitu Mahmud Mahmud al-Ghurab dan Eric Winkel (dengan karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Menghampiri Sang Kudus: Rahasia-Rahasia Bersuci, Mizan, 2002).

Addas menyatakan dalam Quest For the Red Sulphur bahwa fase kehidupan Ibn al-‘Arabi dibagi menjadi tiga fase yaitu fase Andalusia, fase Asia Kecil dan Maroko terakhir fase Damaskus. Dari semua fase tersebut hanya di Mesir saja yang mendapat perlakuan yang kurang baik, khususnya dari kalangan fuqaha. Itu dikarenakan pemikiran-pemikiran filosofis Ibn al-‘Arabi yang telah dikembangkan dalam bentuk yang baru setelah pulang dari negeri Timur. Di sisi lain, Ibn al-‘Arabi membantah akan hal itu, ia menyatakan yang menyebabkan kritikan-kritikan dari kalangan fuqaha adalah ketika ia selesai menulis Tarjuman al-Aswaq di mana para fuqaha salah memahami dari puisi-puisi mistis yang ada dalam kitab tersebut, dan itu terjadi di Anatolia. Terlebih hal itu sudah diklarifikasi oleh Ibn al-‘Arabi sendiri dalam Dzakhā’ir A’lāq dan sudah diterima oleh kalangan fuqaha.

Dari kesemua kritikan yang dilontarkan tersebut, tidak ada yang bisa membuktikan kalau Ibn al-‘Arabi telah melakukan tindakan pelanggaraan syariat. Kritikan itu lebih bersifat subjektif, yang bisa diterima dari itu hanya karena perbedaan pendapat dan pemikiran.

Ibn al-‘Arabi dituduh oleh para fuqaha telah menyimpang dari agama karena telah melakukan amalan-amalan sufi berupa syathahat, bahkan atas tindakannya ini Ibn al-‘Arabi sampai didakwa hukuman mati oleh para fuqaha Mesir. Tuduhan selanjutnya dilontarkan oleh ahli fikih besar dan sangat masyhur yaitu Izzuddin bin Abd Al-Salam yang menyatakan bahwa Ibn al-‘Arabi merupakan pribadi yang tidak bermoral, kawin dengan jin bahkan sampai dituduh berzina.

Baca Juga:  Imam Sahal al-Tustari: Puasa adalah Metode Tirakatku

Adapun cerita yang menyatakan hukuman matinya di Mesir maupun di Damaskus itu berasal dari Al-Ghubrini (w. 704 H/1304 M) dalam karyanya ‘Unwan al-Dirayah yang kemudian sampai pada Ibn Taymiyah (w. 728 H/1328 M). Al-Ghubrini sendiri tidak menyatakan sumber di mana ia mendengar cerita tersebut dan ia hidup satu abad setelah Ibn al-‘Arabi wafat. Setelah ditelusuri ternyata yang dimaksud Ibn al-‘Arabi oleh Al-Ghubrini adalah Ibnu Suraqa.

Cerita-cerita tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan, terlebih Ibn al-‘Arabi sendiri menolak adanya syathahat, di sisi lain Ibn al-‘Arabi begitu diterima dan dilindungi oleh semua penguasa dan raja kecuali pada pemerintahan Almohad, sehingga menutup kemungkinan adanya penghukuman terhadap Ibn al-‘Arabi.

Kaitannya dengan cerita hubungan Ibn al-‘Arabi dengan Izzudin bin Abd Al-Salam ada beberapa versi. Versi pertama yang menyatakan bahwa Izzudin bin Abd Al-Salam menuduh Ibn al-‘Arabi sebagai penipu, pelanggar syariat bahwa pezina. Ibnu Arabi sendiri dalam karyanya Diwan Ibnu Arabi menyebutkan nama Izzuddin satu kali, yaitu ketika ia bertemu dengan Izzuddin dalam mimpi (vision sufi). Ketika itu ia sedang melakukan dialog, semacam tanya jawab dan diskusi, tapi Ibn al-‘Arabi tidak menjelaskan isi percakapannya. Yang jelas setelah dialog itu sang fuqaha mengakui kesalahan dosa-dosanya dan merasa muru’ah-nya turun.

Jika melihat dari apa yang dikatakan oleh Ibn al-‘Arabi sebenarnya konflik di antara keduanya itu justru tidaklah terlalu besar, hanya sebatas berbeda dalam pandangan dan pendapat saja. Sangat tidak bijak jika sampai mendramatisasi cerita tersebut, bahkan sampai menggunakan nama Izzuddin bin Abd Al-Salam untuk menyerang Ibn al-‘Arabi.

Kalaupun hal itu benar-benar terjadi, masih tetap ada beberapa kelemahan di beberapa poin. Seandainya Ibn al-‘Arabi tahu akan hal itu pasti ia akan mengklarifikasi seperti kasus kitab Tarjuman Al-Aswaq-nya karena ia sangat terobsesi untuk meluruskan apapun tentang dirinya, dan pastinya para murid-muridnya akan melaporkan hal itu sehingga sampai pada Ibn al-‘Arabi.

Baca Juga:  Amir 'Abdul Qadir Al-Jaza'iri dan Al-Mawaqif

Kemudian jika dilihat dari sisi Izzuddin bin Abd Al-Salam, tampaknya tidak mungkin seorang fuqaha sekaliber beliau melakukan hal-hal negatif, bahkan sampai melontarkan hujatan dan tuduhan. Beliau juga terkenal sebagai ulama ahli fikih syafi’iyyah yang sangat tegas dalam menjalankan syari’at, jadi seandainya hal itu terjadi pasti ia tidak akan melepaskan Ibn al-‘Arabi agar dihukum mati.

Sedangkan versi yang kedua adalah cerita yang diciptakan oleh pendukung Ibn al-‘Arabi—paling tidak yang sepemikiran dengannya—. Uniknya lagi, cerita tersebut berbeda 360° dari versi yang pertama. Jika yang pertama itu Izzudin bin Abd Al-Salam begitu memusuhi Ibn al-‘Arabi tapi yang kedua sangat mengagumi Ibn al-‘Arabi, bahkan ketika ia berada di depan ulama ahli fikih lainnya ia menyembunyikam kegagumannya pada Ibn al-‘Arabi. Padahal kedua versi itu merujuk pada satu sumber yaitu Al-Ghubrini. Tentu hal ini menambah ketidakjelasan dari cerita tersebut dan tidak dapat dibenarkan.

Dari sini, setidaknya kritikan fuqaha terhadap Ibn al-‘Arabi itu tidak secara general, melainkan hanya terbatas pada saat tertentu dan di daerah tertentu. Serta tuduhan-tuduhan yang dilontarkan ke Ibn al-‘Arabi tidak dapat diterima, hal ini tidak lebih hanya sebuah upaya yang dilakukan oleh musuh-musuhnya atau orang-orang yang tidak sepemahaman dengannya, agar citra Ibn al-‘Arabi menjadi hancur.

Berita miring tentang Ibn al-‘Arabi ini mulai meluas dan berkembang pada abad ke-8, konon ini dipicu oleh Ibn Taymiyah, bahkan tidak sampai di situ saja, Ibn Taymiyah secara terang-terangan mengkafirkan Ibn al-‘Arabi sehingga dikenal oleh banyak orang sebagai tokoh “Anti-Akbarian” yang dinisbatkan pada gelar Ibn al-‘Arabi “Syaikh al-Akbar”. Namun jika diteliti lebih dalam lagi, sebenarnya apa yang dikritik oleh mereka itu terkait dengan pemikiran-pemikiran dan bahasa mistis yang digunakan oleh Ibn al-‘Arabi, bukan karena pribadi Ibn al-‘Arabi sendiri. Nyatanya, semua usaha yang dilakukan oleh musuh-musuhnya tidak berhasil meruntuhkan keagungan Ibn al-‘Arabi.

Baca Juga:  Tasawuf Cinta Penulis Simth al-Durar

Terakhir, relavansinya dengan sekarang, seakan kasus-kasus seperti itu terulang kembali pada hari ini dan dikemas dengan bungkus yang berbeda. Akhir-akhir ini banyak para ulama yang namanya dipelintirkan oleh beberapa media, sehingga citra ulama atau kiai tersebut menjadi turun, padahal cerita yang sebenarnya tidak seperti itu. Jika zaman dahulu menggunakan kitab-kitab untuk menyerang, zaman sekarang cukup menggunakan media sebagai alat untuk menyatakan kebohongan sebagai kebenaran.

0 Shares:
You May Also Like