Imam Sahal al-Tustari: Puasa adalah Metode Tirakatku

Imam Sahal al-Tustari merupakan sosok sufi senior yang menjadi soko guru para sufi setelahnya. Ajaran dan tutur katanya yang menyentuh kalbu terekam di kitab-kitab babon tasawuf, seperti Syekh al-Sulami dalam karyanya Thabaqāt al-Shūfiyyah, Imam al-Qusyairi dalam Risālah al-Qusyairiyyah, Imam al-Ghazali dalam Ihyā’ ‘Ulūmiddīn, Al-Hujwiri dalam Kasyf al-Maẖjūb semuanya merekam dengan sangat apik beragam aktivitas, amaliah dan ajarannya yang memesona itu. Belakangan, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Al-Baladi berhasil menghimpun ceceran penafsiran Al-Qur’an oleh Imam al-Tustari menjadi satu kitab tafsir tersendiri yang dikenal dengan nama Tafsīr al-Tustarī.

Nama lengkapnya, Sahal bin ‘Abdullāh bin Yūnus bin ‘Īsa bin ‘Abdullāh bin Rafī’ al-Tustarī, lahir di kota Tustar pada tahun 200/201 H dan wafat tahun 283 H. Semasa hidupnya, ia pernah berjumpa dengan Dzunnūn al-Mishri ketika melakukan ibadah haji. Menurut informasi dari As-Sulami, Imam al-Tustari merupakan seorang pemimpin serta guru dan dikenal sebagai tokoh yang sering menyampaikan ilmu riyādhah—disiplin spiritual tanpa henti dalam bentuk penyelenggaraan ibadah-ibadah fardhu (wajib) atau nawāfil (sunnah) secara intens untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Disebutkan dalam Ar-Risālah Al-Qusyairiyyah, al-Tustari sejak umur tiga tahun telah terlihat dan menggemari olah rohani. Di umur yang amat balita itu, ia telah mendapatkan amaliah zikir yang diajarkan oleh pamannya, yaitu ia secara istikamah membaca wirid Allah ma’īy Allah nādzirun ilayya Allah syāhidun ‘alaiyya (Allah bersamaku, Allah melihatku, dan Allah saksiku). Zikir ini kontinu diamalkan sampai ajal menjemputnya. Dan salah satu ucapannya yang bisa dijadikan pegangan bagi kita dalam beribadah ialah, “Allah itu adalah kiblat bagi niat, niat itu kiblatnya hati, hati itu kiblatnya badan, badan itu kiblatnya perbuatan lahiriah (jawāriẖ) dan perbuatan lahiriah itu kiblatnya dunia”.

Puasa adalah ritus ibadah yang digemari oleh para sufi. Bahkan Imam al-Tustari menjadikan puasa sebagai aktivitas kesehariannya. Karena dengan berpuasa mereka menemukan kelezatan yakni kedekatan secara intim dengan Allah swt. selain itu, puasa membuat jiwa kita aktif untuk mengakses pengetahuan yang suci lagi murni. Al-Tustari berkata, “Ketika Allah menciptakan dunia, Dia menjadikan kenyang untuk kemaksiatan dan kebodohan, dan menjadikan lapar (puasa) untuk ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan”.

Di dalam Ar-Risālah dan Ihyā’ disebutkan salah satu amaliah tasawuf Imam Tustari yang masyhur ialah membatasi makan dengan berpuasa setiap hari, dan jika dikalkulasikan, ia hanya menghabiskan sepuluh dirham untuk membeli gandum dalam sehari, bahkan lebih ekstrem lagi, ia berniat untuk menggabung tiga malam berpuasa hanya sahur sekali, kemudian lima malam, tujuh malam, hingga sepuluh malam. Menurut laporan Al-Hujwiri, Imam Sahal al-Tustari saat berpuasa hanya makan sekali selama 15 hari dan di bulan Ramadhan ia tidak makan sama sekali sampai hari Raya. Imam al-Tustari juga mendawamkan puasa sebagai metode tirakatnya hingga ia wafat dalam keadaan berpuasa.

Baca Juga:  Ibadah Sebagai Wadah Kesempurnaan Jiwa Manusia

Puasa yang dilakukan oleh Imam al-Tustari atau para kekasih Allah itu masuk dalam bab karamah yaitu keistimewaan khusus yang Allah limpahkan kepada orang saleh pilihan-Nya. Karenanya, ibadah puasa ala mereka tidak berlaku bagi manusia secara umum—untuk pembahasan tentang tingkatan-tingkatan berpuasa akan dibahas di artikel penghayatan puasa Imam al-Ghazali.

Model tirakat dengan berpuasa yang dilakukan oleh Imam al-Tustari dalam rangka mempersiapkan diri (isti’dād) untuk menerima cahaya ilmu dan hikmah yang bersumber dari Allah swt., sehingga ia tampil sebagai manifestasi asmā’-Nya al-Ālim (Yang Maha Mengetahui) dan al-Ḫākim (Yang Maha Bijak). Jika manusia telah mampu menjadi manifestasi-Nya di alam realitas, maka dengan ilmunya ia akan memiliki sikap bijak, penuh cinta dan kasih sayang kepada seluruh makhluk Allah. Sikap seperti itu yang terpotret dalam aktivitas keseharian Imam al-Tustari.

Semoga Allah menuntun kita tuk bisa menapaki jalan para sufi yang agung, sehingga kita merasakan secara riil rahasia yang terkandung dalam ibadah puasa.

Sumber Bacaan

Abi ‘Abdurrahmān Muhammad bin al-Ḫusain al-Sulamī, Thabaqāt al-Shūfiyyah, diedit oleh Mushthafā ‘Abdul Qādir ‘Athā’, Beirut: Dār al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2010.

Abul Qāsim ‘Abdul Karīm bin Hawāzin al-Qusyairī, Ar-Risālah al-Qusyairiyyah, diedit oleh Aẖmad Hāsyim al-Salamī, Beirut: Dār al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2013.

Abu Ḫāmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūmiddīn, Jilid 1, Dār al-Minhāj, 2013.

Al-Hujwiri, Kasyf al-Maẖjūb, Penj Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W.M, Bandung: Mizan, 1992.

Muhammad Sahal bin ‘Abdullah al-Tustarī, Tafsīr al-Tustarī, diedit oleh Muhammad Bāsil ‘Uyūn al-Sūd, Beirut: Dār al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2007.

       

0 Shares:
You May Also Like