BERSAMA MAULANA RUMI MEMAKNAI MUDIK

Oleh: Rae Wellmina

Penulis  Buku Embun Kerinduan

…Bukankah Aku Tuhan Pemelihara kamu? Mereka menjawab: “Betul! Kami telah menyaksikan”(QS. Al-A’raf [7]:172). Demikianlah persaksian primordial yang dilakukan oleh ruh kita kepada Tuhan. Mungkin kita lupa tentang persaksian tersebut. Namun disadari atau tidak, persaksian tersebut pada gilirannya menghasilkan kerinduan pada jiwa manusia untuk bertemu kembali dengan Tuhan. Dalam Diwan Syamz Tabriz, Mawlana Rumi berkata, “Keterpisahan dari Sumber, telah menyebabkan mereka terpuruk” (Diwan Bait 33508, 10). Meminjam bahasa William James, hanya dengan menemui Sang  Great Socius, atau Kawan Yang Agung, manusia akan menemukan ketenangan. Karena hanya dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang.

Maka, kembali kepada jati diri kemanusiaan kita, sebagai seorang hamba. Sebagai seorang manusia, yang telah mengambil persaksikan di “waktu alastu”,  itulah sejatinya hakikat atau substansi di balik tradisi mudik saat Idul Fitri yang diajarkan oleh Wali Songo. Namun sayangnya, kita lebih terpaku pada dimensi bentuk fisik dari tradisi mudik. Padahal di balik dimensi fisik, tersembunyi lautan makna yang menanti untuk disingkap. Dalam syairnya Mawlana Rumi berkata, “Manakala kau terpancang pada bentuk, kau akan berhenti dan berkata, ‘Inilah aku’. Bagi Tuhan, kau bukanlah itu” (Matsnawi 4 : Bait. 803). Karena tradisi mudik memang tidak hanya sekedar mengajarkan kembali ke tempat kita dilahirkan secara fisik. Namun yang lebih penting ialah, kembali ke hakikat primordial kita sebagai manusia, yang telah diambil persaksiannya oleh Tuhan.

Jadi tradisi mudik memiliki dimensi sosio antropologis, berupa kembali ke kampung halaman. Dan dimensi psikologis-tasawuf, yakni kembali kepada ruh terdalam diri kita. Yang sejatinya, selalu berteriak merintih merindukan Tuhan. Namun telinga batin kita tidak mendengarnya, karena tertutupi oleh hijab rutinitas mengejar dunia. Jika kita perhatikan, saat ini dimensi sosio antropologis, tradisi mudik lebih kental dibanding dimensi psikologis-tasawuf. Sehingga tradisi mudik menjadi hanya sekedar artefak kebudayaan, yang mulai kehilangan ruh substansialnya. Meskipun hal ini tetap perlu kita syukuri dan apresiasi. Karena betapa akan kita temukan fakta bahwa tradisi mudik saat Idul Fitri merupakan kekayaan tradisi Islam Indonesia, yang tidak terdapat di beberapa negara Muslim lainnya.

Baca Juga:  Pentingnya Dakwah dengan Akhlak di Era Digital

Perihal mudik, menarik untuk menyimak syair Mawlana Rumi yang lainnya dalam Matsnawi. “Siapa yang jauh dari kampung halamannya, suatu hari nanti akan kembali mencarinya” (Matsnawi 1 : Bait 4). Maulana Rumi dalam syair tentang Nei (seruling bambu) sedang menceritakan kejatuhan manusia ke muka bumi ini, serupa Nei yang terpisah dari sekawanan pohon bambu. Dan karena keterpisahan ini, Nei, menanggung derita tiada akhir. Derita yang dirasakan oleh Nei, adalah perlambang derita manusia yang terlempar ke dunia ini. Dan sesungguhnya derita ini, bisa dilihat sebagai blessing in dissguise atau rahmat terselubung. Sebuah “pesan Tuhan” bahwa ada sesuatu yang menanti untuk digenapi. 

Ada kisah seorang sufi yang setiap malam selalu menghabiskan waktu untuk mengetuk pintu Ilahi dengan beribadah. Namun setelah sekian lama dia tidak juga merasakan apa-apa dari hasil riyadhah spiritualnya.Selain penderitaan yang dia tanggungkan. Sang Sufi merasa Tuhan tidak membalas panggilannya. Tuhan kok cuek saja, pikirnya. Akhirnya dia memutuskan untuk menghentikan saja upaya mengetuk pintu langit. Kemudian dalam tidurnya, suatu saat ia bermimpi bertemu dengan cahaya yang berkata padanya, “Mengapa engkau menghentikan ibadahmu. Ketahuilah, derita yang kau rasakan itu, adalah jawaban-Ku atas ibadahmu”. Ia tersadar dan kemudian mulai kembali tekun beribadah lagi.

Maka derita keterpisahan Nei, dari rumpun bambunya, adalah juga derita yang dialami manusia. Sehingga menghasilkan sebuah gelora untuk menemukan “jalan kembali” ke kampung halaman. Ke rumpun bambunya. Ke tempat asal-usulnya di mana dia pertama kali mengada sebagai makhluk. Yang dalam konteks manusia, adalah kembali untuk menyatu dengan Tuhan. Muasal dari mana manusia bermula. Mawlana Rumi berkata, “Derita adalah pembimbing manusia dalam setiap perbuatan. Jika dia tidak merasakan derita karena perbuatan itu, hasrat dan cinta tak akan muncul di dalam dirinya, dia tak akan meraihnya. Tanpa derita, dia tak mungkin akan meraih keberhasilan , baik di dunia ini maupun dunia yang akan datang… Jika saja Maryam tidak merasakan derita melahirkan, dia tak akan menuju pohon kebaikan”. (Matsnawi 2, Bait 2516) 

Baca Juga:  Sama Seperti Kita, Al-Ghazali Pernah Depresi, Terpuruk, Lalu Bangkit

Maka belajar dari Mawlana Rumi, sudah menjadi garis tangan nasib manusia, semenjak diambil persaksiannya oleh Tuhan di “waktu alastu” bahwa dia akan menderita jika tidak mudik. Namun mudik yang dimaksud adalah mudik spiritual, kembali kepada fitrah primordialnya sebagai seorang makhluk. Sebagai seorang hamba. Adapun derita yang kita tanggungkan saat ini, karena tidak bisa mudik secara fisik, tak lain merupakan pesan semesta yang tengah mengajari manusia, untuk belajar menikmati keheningan. Dalam keheningan, kita akan lebih mudah memurnikan jiwa kita. Dan jika hari ini kita merasakan derita karena tidak bisa mudik secara fisik, kita tidak perlu berkecil hati. Karena kita sesungguhnya masih memiliki kesempatan mudik yang sejati yaitu mudik secara spiritual, kembali kepada jati diri terdalam kita. Dan inilah barangkali salah satu  makna dari kembali ke fitrah, jika kita berhasil melewati madrasah bulan suci Ramadhan. Yang merupakan perjamuan manusia dengan Tuhan.

*Rae Wellmina,

Pelayan Kata. Menulis Embun Kerinduan (2019) dan bergiat di Rumi Institute Jakarta.

0 Shares:
You May Also Like