Dalam kehidupan sehari hari, kita terbiasa dengan membuat dikotomi antara benda hidup dan benda mati. Pandangan tersebut sebenarnya kurang tepat. Semua ciptaan Tuhan itu sebenarnya hidup, dan mempunyai jiwa, hanya kehidupannya berbeda tingkatan atau martabatnya. Bahkan zat organik maupun an-organik di dalam tanah, air, udara, juga hidup di alamnya sendiri yaitu alam mineral. Demikian juga virus, bakteri, sel, tumbuhan, hewan, dan manusia hidup di alamnya sendiri sesuai martabatnya. Pandangan tersebut timbul karena kita memandang ciptaan-Nya hanya dari aspek materi saja. Padahal semua ciptaan Tuhan ada aspek non materi, atau dapat kita sebut jiwa.
Ibn Sina, sejak 1000 tahun yang lalu telah membahas tentang jiwa ini, dalam kitabnya As-Syifa. Semua ciptaan Tuhan adalah manifestasi dari sifat Rahman dan Rahim-Nya. Semua ciptaan-Nya bertingkat tingkat martabat-nya. Setiap martabat merupakan petanda sekaligus penjelas martabat di atasnya. Alam fisik lahiriah atau alam materi atau alam dunia adalah petanda keberadaan alam akhirat. Manusia mengenali alam akhirat melalui perenungan alam dunia. Ketika manusia berhenti hanya mengenali alam fisik atau lahiriah saja maka dia tidak akan mampu menikmati karunia-Nya yang terbesar, hal esensial yang merupakan asal penciptaan yang lebih tinggi martabatnya, yaitu alam non materi.
Rasulullah membantu kita semua untuk memiliki tekad kuat dalam mencapai martabat yang lebih tinggi. Tidak hanya berada di alam lahiriah saja, seperti hewan dan tumbuhan. Dalam Surah Al-Hasyr ayat 19 Allah berfirman, “Jangan jadikan diri kalian seperti mereka yang melupakan Allah sehingga mereka melupakan diri sendiri. Mereka itu lah orang yang fasik”.
Menurut Ibn Sina terdapat tiga martabat jiwa yaitu jiwa nabati, hewan, dan manusia. Martabat jiwa yang lebih tinggi mengandung potensi jiwa martabat di bawahnya. Jiwa hewan mengandung jiwa nabati. Sedangkan jiwa manusia mengandung jiwa nabati dan hewan. Jadi dalam diri manusia terdapat potensi jiwa nabati dan hewani.
Menurut Ibn Sina jiwa nabati berperan sebagai sumber untuk potensi nutrisi, tumbuh, dan regenerasi. Sedang jiwa hewani, didamping ketiga potensi tadi terdapat potensi gerak, syahwat, dan emosi. Ketiganya merupakan potensi untuk bertahan hidup di dunia, dan mesti dikendalikan serta dimanfaatkan dengan seimbang. Berbeda dengan tumbuhan dan hewan, manusia diberi karunia berupa jiwa yang tertinggi yaitu akal untuk mengendalikan semua potensi tersebut. Tanpa akal yang di dalamnya bersemayam Ruh Ilahi, maka manusia tidak berbeda dengan hewan.
Syahwat yang tidak terkendali tehadap kekuasaan, seks, maupun perut, akan menjadikan manusia seperti hewan, yang hanya memuaskan jasadnya saja. Emosi yang tidak terkendali akan membakar manusia sehingga emosinya menjalar dan berlebihan seperti hewan. Manusia diberikan kehendak bebas untuk memilih, jiwa manusia yang di dalamnya bersemayam Ruh Allah atau jiwa yang lebih rendah, yang hanya hidup seperti hewan.
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS. Al-Balad [90]:10).
“Sesungguhnya beruntunglah manusia yang mensucikan nafs (jiwa)-nya dan sesungguhnya merugilah dia yang mengotori nafs-nya” (QS Asy-Syams [91]: 9-10).
Wallahualam