Politik sebagai Jalan Kebahagiaan Perspektif Al-Farabi

Wacana tentang politik merupakan isu yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Politik sebagaimana yang diketahui sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Politik itu sendiri dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur serta bersedia menerima pendapat yang lebih besar, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu Polis yang berarti negara-kota. Dalam bahasa Inggris, politic yang berarti bijaksana atau dengan bijaksana dan dalam bahasa Latin politicus. Secara terminologi politik merupakan keterampilan menghimpun dan meningkatkan kuantitas serta kualitas kekuatan, mengontrol kekuatan, dan menggunakannya untuk mencapai tujuan tertentu.

Isu sosial dan politik berhubungan erat dengan kehidupan manusia. Manusia memiliki potensi yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain begitu juga dengan permasalahan yang mereka hadapi. Tergantung bagaimana mereka menggunakan akal pikiran yang telah dianugerahi oleh Allah swt. Antara satu dengan yang lain memiliki masalah yang berbeda, baik itu masalah sosial maupun masalah politik. Tidak jelasnya masalah politik yang ada dalam suatu negara menjadi suatu permasalahan yang rumit dan sangat berpengaruh kepada kehidupan masyarakat. Adakalanya sistem politik yang ada dalam suatu negara tidak mencerminkan hak-hak ataupun tujuan yang hendak dicapai. Tujuan awal dari politik sebagaimana untuk menciptakan kesejahteraan serta kebahagiaan bagi warga negara justru yang terjadi sebaliknya. Masyarakat bahkan mengalami kesenjangan dan ketidakadilan dari pemimpin pemerintahan. Pemimpin yang baik merupakan pemimpin yang adil dan tidak membedakan antara satu dengan yang lain. Politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Relativitas Ajaran Islam: Apa dan Bagaimana?

Al-Farabi sebagai salah satu tokoh filsafat Muslim memberikan pandangannya terkait dengan politik itu sendiri, bahkan ia menjadi filsuf pertama yang memusatkan perhatiannya terkait dengan permasalahan politik. Politik yang baik akan membawa kepada kebahagiaan bagi semua manusia.

Al-Farabi yang bernama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Awzalagh al-Farabi dan bahasa Latin al-Farabi dikenal dengan nama al-Farabius atau Avennasar. Al-Farabi lahir di kota Wesij suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 259 H/ 870 M. Selisih satu tahun setelah wafatnya filsuf Muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya seorang bangsa Iran (Persi) yang menikah dengan wanita Turki. Al-Farabi itu sendiri pernah menjadi hakim. Oleh karena itu, sedikit banyaknya ia mengetahui bahkan mendalami permasalahan politik yang terjadi dalam suatu negara.

Al-Farabi dalam pemikirannya menempatkan politik menduduki tempat yang paling penting. Itu dapat diketahui dalam pemikirannya terkait dengan isu filsafat yang mempunyai tujuan politik, namun politik bukanlah tujuan dalam dirinya tetapi sebagai sarana untuk memperoleh tujuan terakhir bagi manusia yaitu kebahagiaan dengan memiliki sifat-sifat keutamaan yang dicapai.

Untuk mencapai suatu kebahagiaan bagi semua orang, maka harus melalui politik yang baik, jujur, dan adil. Bagi al-Farabi, ilmu politik meneliti berbagai bentuk tindakan, cara hidup, watak, dan akhlak. Adapun kebahagiaan manusia dapat diperoleh karena perbuatan atau tindakannya dan cara hidup yang dijalankannya. Al-Farabi menuangkan pemikirannya tentang politik dan negara utama dengan asumsi bahwa pencapaian kebahagiaan manusia hanya dapat diaktualisasikan dalam masyarakat berdasarkan gotong royong dan solidaritas di mana manusia tidak terisolasi. Kebahagiaan itu sendiri tidak diperoleh hanya dengan satu jalan saja, namun bisa diperoleh melalui berbagai cara dengan syarat harus adil dan tidak mementingkan kepentingan pribadi dan mengorbankan kepentingan orang lain.

Baca Juga:  Malamati

Manusia menurut al-Farabi merupakan makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain. Manusia tidak mampu hidup sendiri-sendiri. Mereka tidak akan hidup bahagia apabila tetap bersikeras hidup sendiri dan tidak memerlukan bantuan orang lain serta tidak berkaitan dengan orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial akan menghantarkan kebutuhannya terhadap perpolitikan atau kepemerintahan. Sebagaimana Aristoteles, al-Farabi meyakini bahwa individu yang berwatak zoon politicon (makhluk kemasyarakatan) tidak akan memperoleh kebahagiaan tanpa dukungan masyarakat. Kebahagiaan merupakan tujuan hidup atau tujuan akhir dari segala yang dilakukan. Seseorang menjadi jujur, ikhlas, tidak sombong, dan menolong orang lain karena mereka ingin bahagia. Tidak ada satupun manusia yang tidak menginginkan suatu kebahagiaan. Mereka akan melakukan apapun agar mencapai tujuan akhirnya yaitu bahagia.

Ilmu politik dalam pandangan al-Farabi adalah luhur dan ditempatkan sebagai induk pengetahuan tentang perilaku manusia yang meliputi jenis-jenis tindakan dan semua perbuatan, tujuan yang harus diraih yakni kebahagiaan sejati dan segala sesuatu yang mengantarkan manusia kepada kesempurnaan. Pemimpin atau penguasa harus mendidik rakyatnya sesuai dengan kapasitas intelektual mereka yaitu dengan argumen-argumen demonstratif atau seruan-seruan retoris. Sebagaimana yang diketahui, konsep negara bagi al-Farabi dikaitkan dengan tubuh manusia. Keduanya memiliki organ-organ yang berbeda dan punya satu penguasa. Organ negara (mungkin mencakup lima kategori yang didasarkan atas pembagian kerja) muncul secara alamiah melalui pembagian kerja. Namun, sifat dan kebiasaan yang ada pada diri mereka bukanlah secara alamiah namun sukarela. Organ-organ komunitas terbentuk bukan secara alami, namun melalui kebiasaan yang diupayakan seperti berbagai keterampilan dan kegemaran mereka.

Al-Farabi mencantumkan konsep politik dalam karyanya Al-Madinah al-Fadhillah. Konsep politiknya berdasarkan pemerintahan Rasulullah dan harus adanya kerja sama antara warga negara, pemimpin yang adil. Al-Farabi membagi negara menjadi negara utama, negara bodoh, negara rusak, negara yang merosot, negara sesat, dan rumput-rumput liar.

Baca Juga:  Metafora Ibn 'Arabi tentang Status Agama-Agama Pra-Islam

Sedangkan masyarakat dibagi kepada masyarakat sempurna dan masyarakat tidak sempurna. Dengan sistem pemerintahan yang adil, jujur, dan masyarakat yang saling bahu membahu serta tolong menolong, maka akan tercipta suatu kebahagiaan atau kesejahteraan bagi semua orang. Tidak adanya perbedaan atau diskriminasi antara satu dengan yang lain.

0 Shares:
You May Also Like