Salah satu persoalan yang sempat viral di jagat media sosial dan menyedot perhatian banyak pihak adalah aksi seorang pria yang menendang dan membuang sesajen sembari bertakbir di lokasi erupsi Gunung Semeru, Lumajang. Menurutnya, sesajen ini yang mengundang murka Allah, sehingga menimbulkan turunnya azab berupa meletusnya Gunung Semeru. Disebutkan bahwa sesajen itu diletakkan oleh warga Muslim sekitar; sebagai suatu ritual yang diniatkan untuk Allah, bukan untuk jin atau pun dewa (“Viral di Semeru, K.H. Ma’ruf Khozin Jelaskan Hukum Sesajen dalam Islam”, dalam https://www.nu.or.id, akses 11/05/2023).
Dalam hal ini, setidaknya ada dua poin yang mengemuka dan menjadi perbincangan terkait dengan penendangan sesajen tersebut.
Pertama, perihal tindakan pria yang menendang sesajen tersebut. Alissa Wahid, Koordinator Jaringan Nasional Gusdurian Indonesia, menyesalkan tindakan tersebut. Tindakan ini tidak hanya mencoreng hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin dan dilindungi di Indonesia. Menurutnya, setiap orang tidak boleh mengambil hak orang lain untuk meyakini hal yang berbeda dengan keyakinannya (Ninuk Cucu Suwanti, “Alissa Wahid soal Perusakan Sesajen: Orang Memaksakan Ajarannya Kepada Pihak Lain, Itu Pelanggaran”, dalam https://www.kompas.tv dan “Viral Pria Tendang Sesajen di Gunung Semeru, Ini Kata Alissa Wahid”, dalam https://www.nu.or.id, akses 12/05/2023).
Respons serupa juga dikemukan oleh cendekiawan Muslim Indonesia dan anggota Majelis Hukama al-Muslimin, Quraish Shihab. Dia mengajak umat Islam untuk menghormati keyakinan orang lain. Menurutnya, menghormati keyakinan orang lain yang berbeda ini bukan berarti setuju dengan keyakinan tersebut, tetapi untuk menjaga kerukunan lintas agama (Muhamad Abror, “Pandangan Prof. Quraish Shihab Soal Pria Tendang Sesajen di Semeru”, dalam https://www.nu.or.id, akses 12/05/2023).
Kedua, perihal hukum sesajen dalam Islam. K.H. Ma’ruf Khozin, Pengasuh Pesantren Raudlatul Ulum I dan Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, menyebutkan keterangan dalam fikih mazhab asy-Syāfi‘ī, yaitu: “Barang siapa menyembelih hewan (atau makanan) sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah untuk menghindari petaka dari jin, maka tidak haram. Jika bertujuan untuk jin (bukan karena Allah), maka haram. Sebab, sembelihannya menjadi bangkai. Bahkan jika bertujuan mendekatkan diri dan ibadah kepada jin, maka ia telah berbuat kufur” (“Viral di Semeru, K.H. Ma’ruf Khozin Jelaskan Hukum Sesajen dalam Islam”).
Berdasarkan keterangan ini, maka dapat dipahami bahwa sesajen yang dilakukan sebagai salah satu manifestasi permohonan kepada Allah agar terhindar dari marabahaya dan gangguan makhluk halus adalah boleh. Sedangkan sesajen yang ditujukan semata-sama untuk makhluk halus adalah haram, dan bahkan menjadi kafir jika sesajen itu dilakukan untuk mendekatkan dan beribadah kepada makhluk halus.
Oleh karena itu, Kiai Ma’ruf Khozin mengajak agar masyarakat Muslim meluruskan dan menata niat ketika meletakkan sesajen. Menurutnya, Islam datang ke tanah Jawa tidak untuk mengubah tradisi, tetapi memperbaiki tata niat dalam tradisi tersebut. Dengan demikian, seorang Muslim boleh meletakkan sesajen asalkan niatnya untuk Allah, bukan untuk jin atau pun dewa. Makanya, dia mengimbau umat Islam agar tidak suka mengafirkan Muslim lain karena masalah sesajen selama niatnya masih bisa ditata. Di Lumajang sendiri, masyarakat Muslim yang meletakkan sesajen di Gunung Semeru diniatkan untuk Allah agar Gunung Semeru tidak erupsi lagi. Mereka sengaja membiarkan makanan (yang ada dalam sesajen) tersebut di sana agar dimakan oleh makhluk-makhluk Allah, seperti burung dan hewan lainnya. Hal ini (membiarkan makanan agar dimakan oleh hewan), menurut Kiai Ma’ruf Khozin, adalah boleh karena merupakan bagian dari sedekah kepada makhluk Allah (Faiq Azmi, “Sesajen Milik Siapa yang Viral Ditendang Pria di Semeru?”, dalam https://news.detik.com dan “MUI Jatim Soal Pria Tendang Sesajen: Jangan Mengkafirkan Sesama Muslim”, dalam https://news.detik.com, akses 11/05/2023).
Di sisi lain, ahli tafsir Indonesia, K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), menyebutkan bahwa dahulu ketika para wali mendapati fenomena sesajen yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, maka mereka tidak mengafirkan para pelakunya. Akan tetapi, mereka mengubah niat masyarakat tersebut ketika meletakkan sesajen, yaitu dari niat untuk diberikan kepada dedemit diubah menjadi sedekah kepada tetangga. Dia juga menegaskan agar tidak memvonis kafir seorang Muslim hanya karena meletakkan sesajen di sawah atau di tempat lain. Sebab, sesajen yang mengakibatkan kepada perbuatan syirik adalah sesajen yang secara nyata diletakkan didekat berhala yang dituhankan dan diyakini dapat memberikan berkah (Asep Saripudin, “Viral Pria Tendang Sesajen, Gus Baha Sebut Wali Tak Kafirkan, Tapi Diubah dari Demit untuk Sedekah ke Tetangga”, dalam https://seputartangsel.pikiran-rakyat.com dan “Gus Baha Jelaskan Hukum Tradisi Sesajen, Syirik-Kafir atau Tidak?”, dalam https://iqra.id, akses 11/05/2023).
Menurut penulis, kerangka berpikir yang digunakan oleh Kiai Ma’ruf Khozin dan Gus Baha merupakan contoh dari aplikasi konsep Pribumisasi Islam yang digagas oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yaitu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum Islam (fikih) tanpa menambah hukum itu sendiri. Melalui perspektif Pribumisasi Islam ini, maka seorang fakih bisa mendialogkan dan mengakomodasikan ajaran normatif yang bersumber dari Tuhan dengan budaya yang bersumber dari manusia, sehingga umat Islam Indonesia bisa berislam tanpa harus tercerabut dari akar budayanya dan terlepas dari kesejarahan masing-masing. Gus Dur menyebutkan bahwa konsep Pribumisasi Islam ini hanya menyangkut persoalan kehidupan Islam semata, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formal. Sebab, di mana pun berada, Islam adalah tetap Islam meski tanpa harus menyamaratakan bentuk luarnya (Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam” dan “Salahkah Jika Dipribumikan?”, dalam https://gusdur.net dan “Gusdurian Dorong Penerapan Pribumisasi Islam Ala Gus Dur”, dalam https://www.cnnindonesia.com, akses 11 & 12/05/2023).
Salah satu teori yang digunakan dalam konsep Pribumisasi Islam adalah kaidah fikih “al-‘āddah muḥakkamah” (adat istiadat bisa menjadi hukum) (“Pribumisasi Islam”). Menurut Quraish Shihab, ada tiga jenis adat dalam pandangan Islam. Pertama, adat yang sesuai dengan syariat Islam, dan umat Islam dianjurkan untuk menegakkannya. Kedua, adat yang bertentangan dengan syariat Islam, dan umat Islam harus tetap menghormatinya. Ketiga, adat yang bertentangan dengan syariat Islam, tetapi masih bisa diperbaiki sehingga menjadi sesuai dengan syariat Islam. Umat Islam harus mengakomodasi adat jenis ketiga ini sembari menghilangkan nilai-nilai yang bertentangan dengan syariat Islam (“Pandangan Prof Quraish Shihab Soal Pria Tendang Sesajen di Semeru”).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa meskipun sesajen awalnya merupakan adat yang bertentangan dengan syariat Islam, tetapi ia masih bisa diperbaiki; yakni yang awalnya ditujukan kepada selain Allah (seperti makhluk halus dan sejenisnya) kemudian diubah (niatnya dan tujuannya) kepada Allah dan bersedekah kepada makhluk Allah. Dalam tradisi spiritualitas Jawa sendiri, sesajen berfungsi sebagai: (1) negosiasi spiritual dengan kekuatan adikotrati agar tidak mengganggu; (2) pemberian berkah kepada warga sekitar; (3) bentuk ucapan terimakasih (syukur) kepada Tuhan Yang Maha Esa (Suwardi Endraswara, Agama Jawa: Menyusuri Jejak Spiritualitas Jawa, 2012: 72). Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam…