Setiap orang, apa pun agamanya sudah barang tentu menginginkan kebahagian dalam hidupnya. Meskipun ta’rif atau defenisi kebahagian tiap orang mungkin saja berbeda. Ada yang bahagia jika punya uang, bahagia karena sudah wisuda, bahagia ketika dapat pekerjaan, atau bagi para jomblo bahagia itu ketika ada yang ngajak ta’aruf misalnya. Namun, ada Sebagian orang yang bahagia ketika uangnya habis untuk membantu orang lain dan bahagia karena sudah membahagiakan orang lain. Ada juga yang bahagia ketika mendapat musibah, ada lagi yang bahagia dengan kesendirian. Kebahagian setiap orang memang cenderung tidak sama dan bersifat subjektif.
Kaum sufi punya cara tersendiri dalam merayakan kebahagiaan, serta mengajarkan trik agar berdamai dengan kehidupan dan mencintai takdir. Ibarat makan malam, kesannya bukan tentang di mana (tempat) melainkan dengan siapa. Bagi Maulana Jalaluddin Rumi, “Rumah yang gelap ialah rumah yang tanpa kekasih”. Rumah ibarat hati, akan sepi tanpa kehadiran kekasih, tanpa menghadirkan Dia dalam kehidupan maka akan terasa gelap, tak punya lentera untuk terus menapaki jalan.
Langkah pertama untuk mencapai bahagia ialah hadirkan selalu Dia dalam setiap hembusan nafas, kapan pun dan di mana pun. Jika selalu bersama Dia dalam hidup, maka kata Maulana Rumi Bersamamu, penjara laksana kebun mawar, bersamamu, neraka menjadi tempat kegembiraan. Pada bait lain dalam Matsnawi Maulana Rumi juga mengatakan, “Jika kau mencintai Tuhan, Tuhan mencintamu”. Dalam istilah Al-Qur’an, rida dan diridai sebagai syarat untuk “Kembali” dan dipanggil dengan seruan “Wahai jiwa yang tenang”, yang merupakan sebuah penghargaan dari Tuhan kepada hamba-Nya (Baca: QS. Al Fajr [89]: 27-28).
Syaikh Ibnu Athailah, dalam magnum opusnya Al Hikam, menyediakan hidangan spiritual bagi para pencari hakikat kebenaran. Wejangan rohani yang beliau paparkan bagaikan pelita di kegelapan malam bagi pembacanya. Aforisma sufistik yang memiliki “sengat” untuk menyadarkan manusia dari kelalaiannya. Di antara hikmah yang beliau lontarkan:
Janganlah terlambatnya pemberian Tuhan, sementara engkau sudah berdoa begitu lama, membuatmu putus asa. Tuhan pasti mengabulkan permintaanmu dengan cara yang Dia pilih, bukan dengan cara yang engkau pilih. Dia akan mengabulkan permintaan itu pada waktu yang Dia kehendaki, bukan menurut waktu yang engkau kehendaki.
Berdoa merupakan perintah Tuhan, namun bukan berarti Tuhan tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh hamba-Nya. Terkadang apa yang baik menurut hamba belum tentu baik dan bermanfaat dalam pandangan Tuhan, oleh karena itu, Dia akan memberikan atau mengabulkan dengan cara dan waktu yang Dia kehendaki. Inilah cara kaum sufi agar tidak terjerumus dalam jurang keputus-asaan. Husnuzhan atau sikap positif merupakan cara hidup yang akan melahirkan kebahagiaan, menerima kehendak Tuhan dengan suka rela.
Hamba yang paripurna ialah hamba yang mejadikan doa sebagai bagian dari perintah Tuhan, bukan fokus kepada materi atau bentuk dari permintaan yang diajukan tersebut. Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzily dalam hal ini mengatakan, “Janganlah engkau bahagia ketika hajat-hajat-mu terpenuhi, namun kebahagiaan itu harus terletak pada saat engkau bermunajat kepada Tuhan”. Kebahagiaan kaum sufi terletak pada keasyikan bermunajat kepada Tuhan, bukan ketika terkabulnya permintaan tersebut.
Terkait dengan diijabahnya doa seorang hamba, Syaikh Mutawali As-Sya’rawi memberikan komentar, “Kau akan dibuat heran dengan sesuatu yang pernah kau minta kepada Allah sudah sekian lama, barangkali kau telah lupa, tapi Allah tak tidak melupakannya”.
Kegalauan atau keputus-asaan tidak akan terjadi jika memahami serta menghayati kebijaksanaan Tuhan dalam menentukan takdir. Barangkali takdir hari ini merupakan perwujudan dari apa yang telah dilakukan seseorang pada masa silam. Misalnya ada dosen yang dikukuhkan menjadi Guru Besar dalam bidang filsafat, tasawuf dan sebagainya. Peristiwa pengukuhan tersebut disebabkan oleh usahanya dalam menelaah, mempelajari dan mengajari, menulis, juga riyadhah atau tirakat yang dilakukannya selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun, hingga sampailah ia ditakdirkan untuk menjadi Guru Besar dalam bidang yang ia tekuni tersebut.
Kaum sufi juga akrab dengan musik, sebagai makanan rohani yang dapat membakar jiwa para pecinta. Hal ini merupakan cara dalam mencapai ketenangan bahkan sebagai wasilah memperoleh wajd (sesuatu yang hadir dalam hati yang bersifat alamiah tanpa kesengajaan). Mendengarkan musik memiliki efek yang baik bagi kesehatan, sebagai terapi yang bisa mengarahkan kearah yang positif, menghilangkan kecemasan dan melahirkan kebahagiaan.
Musik juga dijadikan sebagai terapi bagi penyakit zahir/fisik seperti stroke, kanker dan sebagainya. Sebagaimana eksprimen yang dilakukan oleh Kate dan Richard Mucci yang ditulis dalam bukunya The Healing Sound of Music. Penyakit fisik tersebut bisa saja disebabkan oleh faktor jiwa yang goyah, stress, dan terbebani oleh persoalan hidup yang tidak dirayakan dengan suka rela.
Kebahagiaan dalam term kaum sufi ialah mencintai Tuhan serta senantiasa bersama Tuhan. Cara menempuh maqam tersebut salah satunya dengan ber-husnuzhan kepada Tuhan, menerima kehendak-Nya dengan suka rela. Tujuannya agar kebahagiaan senantiasa dirasakan, dengan jalan “meniadakan diri”. Socrates pernah berujar, “Orang yang paling bahagia ialah orang yang tidak mengharapkan apa-apa”. Wallahu A’lam