Pada suatu Jum’at siang. Masjid Madinah dipenuhi oleh seribu lebih jamaah. Semua menunggu munculnya sang khatib, Umar, khalifah yang agung untuk menyampaikan khotbah dan memimpin shalat Jum’at. Sang khalifah datang sebelum khutbah dimulai, menyalami para jamaah dan menunaikan shalat sunnah. Kemudian ia naik ke atas mimbar untuk menyampaikan khotbah Jum’at. Umar memulai khotbah dengan mengumandangkan keagungan Allah dan memanjatkan pujian dan syukur kepada-Nya atas semua nikmat yang Ia curahkan.
Suaranya yang khas menggema di seluruh ruangan masjid. Para jamaah duduk dengan tenang dan mendengarkan dengan khidmat. Umar melanjutkan khotbahnya, “Dan kini dengarkanlah wahai saudara-saudaraku kaum muslimin…” Belum sempat Umar melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba seorang lelaki muda berteriak, “Kami tidak akan mendengarkanmu. Dan kami tidak akan menaatimu sampai Anda memberi penjelasan kepada kami!” Seluruh jamaah tersentak oleh interupsi yang sangat berani. Mereka menatap wajah Umar dan orang yang berteriak tadi dengan rasa heran. Khalifah Umar terdiam sejenak dan kemudian ia bertanya dengan suara lembut, “Penjelasan?! Penjelasan apa?”
Si lelaki menjawab, “Kemarin masing-masing kita mendapat jatah sehelai kain dari Baitul Mal, dan Anda sendiri mendapat jatah yang sama dengan jatah kami. Tetapi hari ini aku melihat ada dua helai kain jatah pembagian yang kini melekat pada tubuh Anda. Sekarang kami ingin tahu apa hak khalifah sehingga ia mendapat jatah pembagian melebihi jatah yang seharusnya?”
Jamaah menatap wajah Umar dengan kengerian yang mencekam. Ketika khalifah hendak menjawab pertanyaan si lelaki, tampak putra Umar, Abdullah berdiri dan berkata, “Saudaraku, Anda telah salah menyimpulkan. Ayahku tidak mengambil jatah melebihi bagian kalian. Sebagaimana Anda tahu, aku mengambil jatah kainku bersama Anda kemarin. Aku telah memberikan kainku kepada ayah. Seperti Anda lihat sendiri bahwa beliau terlalu tinggi, sehingga satu jatah kain tidak cukup untuk membuat pakaiannya”.
Mendengar penjelasan ini, lelaki itu menoleh ke arah Umar seraya berkata, “Baiklah, sekarang Anda boleh teruskan dan kami akan mendengarkan khotbah Anda”. Namun, Umar tidak segera melanjutkan khutbahnya. la malah memandang ke arah audiens dan bertanya, “Apa yang akan kalian lakukan, saudara-saudaraku, bila suatu hari aku benar-benar dan dengan sadar menyimpang dari kebenaran?”
Belum sempat khalifah menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba seorang lelaki berdiri dan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. “Kalau Anda berbuat demikian, kami akan memenggal kepala Anda!”
Para jamaah terkesiap mendengar jawaban yang tak dinyana-nyana ini. Karena, tantangan keras itu dilontarkan kepada pribadi yang integritasnya tidak diragukan sedikitpun, bahkan sosok yang keberaniannya mampu mengalahkan kerajaan-kerajaan terkuat pada masa itu. Keheningan mencekam dan menyelimuti ruangan masjid. Degup jantung seakan terhenti, dan hanya kilauan pedang yang bersinar di udara.
“Wahai lelaki gagah, apakah Anda tahu Anda berbicara dengan siapa?” tanya Umar.
“Ya, aku tahu. Aku sedang berbicara dengan Umar, sang amirul mukninin.”
Kengerian dan kesenyapan menyelimuti hati para hadirin. Mereka ngeri memperkirakan apa yang akan terjadi, dan dengan takut-takut mereka melirik Umar. Namun, yang mereka dapatkan justru wajah Umar yang berseri-seri dengan senyuman yang teduh, yang menunjukkan kepuasan dan kegembiraan.
Umar mengangkat kedua tangannya ke langit, dan dengan suara penuh rasa syukur, ia berseru, “Allahu Akbar! Aku ucapkan rasa syukurku yang paling dalam karena masih ada orang yang berani mengangkat pedang demi melindungi kebenaran walaupun harus berhadapan Umar”. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.