PENGORBANAN AL-HUSAIN UNTUK KEMANUSIAAN

The value of history is, indeed, not scientific but moral: by liberalizing the mind, by deepening the sympathies, by fortifying the will, it enables us to control, not society, but ourselves—a much more important thing; it prepares us to live more humanely in the present and to meet rather than to foretell the future

(Carl L. Becker, A New Philosophy of History, 1915)

Sebuah pertanyaan abadi yang dilontarkan oleh sejumlah sejarawan dan pemerhati sejarah Islam sejak dulu hingga sekarang adalah: “Mengapa cucu mulia Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib (Al-Husain) harus melakukan sebuah pengorbanan total yang tak terbandingkan dalam sejarah umat manusia ketika membawa serta tujuh puluhan orang dari keluarga dan para sahabat dalam melakukan perlawanan terhadap 30.000 pasukan Yazid bin Muawiyah, sehingga berakhir dengan tragedi Karbala yang sulit dilukiskan dengan kata-kata?”

Sejumlah pertanyaan lain yang menggayuti pikiran sejumlah orang adalah: apakah tujuan pokok gerakan perlawanan Al-Husain yang sesungguhnya sedemikian sehingga dia berketetapan hati mengambil keputusan untuk menapaki jalan kesulitan dan penderitaan yang tidak ada taranya dalam sejarah manusia?  Apakah Al-Husain terdorong semata oleh penolakannya untuk berbaiat yang dipaksakan oleh Yazid atau apakah dia melakukan revolusi ini sebagai respons terhadap undangan yang disampaikan oleh 100 ribu orang Kufah (Irak) untuk mendongkel kekuasaan tiran Yazid?

Apakah Al-Husain telah mengetahui takdirnya yang mengenaskan di padang Karbala?  Jika mengetahuinya, sebagaimana dia nyatakan berulang kali sejak di Madinah dan Makkah dan juga sebelumnya dituturkan oleh kakeknya Nabi Muhammad SAW dan ayahnya Imam Ali bin Abi Thalib, kenapa dia tetap teguh keluar meninggalkan Madinah dan Makkah menuju Kufah?  Apakah keadaan seperti itu sesuai dengan prinsip dan syarat-syarat pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar?[1]

Tulisan ini membatasi diri pada ulasan untuk menjawab pertanyaan mendasar dalam paragraf pertama di muka.  Meskipun demikian, karena persoalan ini bersinggungan dengan pertanyaan-pertanyaan sesudahnya (paragraf kedua), maka paper ini juga akan membahas dan mengklarifikasi masalah-masalah itu.  Melalui telaah analisis-sintesis sejumlah literatur yang disertai dengan upaya interpretasi penulis yang faqir, paper ini berusaha menguak salah satu makna kisah syahadah abadi ini dari perspektif kemanusiaan, yaitu revolusi Al-Husain. sebagai gerakan penyadaran dan kebangkitan hati nurani manusia. 

Murtadha Muthahhari menulis, “Para Nabi berusaha membangkitkan kecakapan-kecakapan alami manusia dan mencerahkan karakter gaib yang tersembunyi pada eksistensi manusia”.[2]  Apakah gerakan Al-Husain tergolong ke dalam apa yang diemban oleh para Nabi itu?  Dan apakah hal itu merupakan sebuah keniscayaan sejarah yang mesti dipikul oleh putra tajul ‘arifin (Imam Ali) ini?

Makna Keniscayaan

Kata “harus” dalam kalimat pertanyaan di muka itu mempunyai dua makna: (1) “pemaksaan diri” dan (2) “keniscayaan”.  Dengan sederhana dapat dijelaskan di sini bahwa pengertian “pemaksaan diri” di sini adalah sebuah keinginan dan hasrat individual (Al-Husain) sebagai sebuah respon reaktif dan emosional terhadap situasi sejarah saat itu.  Sedangkan istilah “keniscayaan” yang dimaksud adalah keniscayaan sejarah, yaitu sebuah tindakan aktif Al-Husain sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral keagamaan-kemanusiaan yang tidak bisa tidak mesti diemban ketika itu.

Pengertian “pemaksaan diri” itu sendiri bisa beragam, setidaknya ada dua pengertian umum yang telah diterapkan oleh sebagian orang.  Pengertian pertama adalah tindakan yang didorong oleh hasrat berkuasa dan kepentingan individu atau kelompok tertentu.  Ibn Qayyim al-Jauzi[3] dan Ibn Taimiyyah[4] adalah mereka yang termasuk memiliki pandangan bahwa Al-Husain melakukan perlawanan yang didorong kehendak berkuasa menentang penguasa Yazid.  Kedua tokoh salafiyah ini bahkan mengkategorikan gerakan Al-Husain sebagai tindakan makar karena menentang pemimpin kaum Muslimin yang mereka anggap sah (legal).  Fakta bahwa naiknya Yazid ke singgana kekuasaan melalui tipu daya, intimidasi, teror, dan pembunuhan (seperti yang terjadi di Syam, Irak, Madinah dan Makkah) terhadap siapa saja yang menentang keinginan Muawiyah mewariskan kekuasaan kepada anaknya itu, tidak diperhitungkan atau sengaja diabaikan oleh al-Jauzi dan Ibn Taimiyyah.

Pengertian kedua dari term “pemaksaan diri” adalah seperti yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun.[5]  Sejarawan ini menggarisbawahi sahnya perlawanan Al-Husain karena kefasikan Yazid yang terang-terangan seperti suka minum arak, mudah membunuh orang yang tak disukainya, sengaja membiarkan pasukan Muslimin mati bergelimpangan karena serangan cacar, meninggalkan shalat, main perempuan, dan gemar berpesta pora.  Namun, menurut Ibn Khaldun, Al-Husain melupakan kekuatannya (militer) yang lemah dan jauh tak berimbang dibanding kekuatan pasukan Yazid.  Di sini terkesan bahwa Al-Husain memaksakan diri dalam mengobarkan perlawanan yang dilakukan secara reaktif, emosional tanpa pertimbangan.

Adapun makna istilah  “keniscayaan” merujuk kepada pengertian yang identik dengan “keharusan esensial”.  Maksudnya adalah sebuah bentuk keharusan yang bersifat intrinsik dalam proposisi (representasi realitas), fakta, dan tindakan. Ini berbeda dengan “keharusan aksidental” yang bersifat eksternal dan instrumental.  Jika seseorang mengatakan, “Saya harus minum air sekarang”, maka kata ‘harus’ dalam proposisi ini bersifat aksidental karena tindakan minum itu bisa ditunda atau mungkin dibatalkan saat itu.  Namun proposisi “Manusia harus minum air untuk kelangsungan hidupnya” memuat makna ‘keharusan esensial’ karena air merupakan salah satu kebutuhan esensial tubuh manusia.

Nah, merujuk penjelasan singkat di muka, dalam pandangan Ibn Khaldun, yang mengakui kesahihan gerakan Al-Husain secara agama tapi menyebutnya sebagai hal yang keliru dalam perhitungan militer, revolusi Al-Husain tergolong ke dalam “keharusan aksidental”.  Sebaliknya, bagi tokoh seperti ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad[6], yang melihat motivasi dan tujuan revolusi yang sepenuhnya berwatak keimanan dan moral, revolusi Al-Husain tergolong sebagai “keharusan esensial.”

Pengertian keharusan esensial itulah yang disebut sebagai kemestian atau keniscayaan.  Dilihat dari referensi realitas yang diacu, terdapat tiga jenis keniscayaan, yaitu : (1) Keniscayaan filosofis, (2) Keniscayaan alamiah, dan (3) Keniscayaan sejarah.

KENISCAYAAN SEJARAH

Keniscayaan filosofis adalah modalitas yang bersifat pasti dan mutlak antara subyek dan predikat sebuah proposisi yang merepresentasikan realitas.  Proposisi “Segala kejadian membutuhkan sebab” merepresentasikan hubungan yang niscaya antara sebab dan peristiwa.  Keniscayaan filosofis ini adalah sesuatu yang mesti dan tidak bisa ditolak.  Sekalipun ada sejumlah orang yang mengingkarinya, namun hal itu hanya terjadi dalam alam pikiran dan proposisi, tidak dalam realitas obyektif.

Keniscayaan alamiah merujuk kepada hubungan intrinsik di dunia alamiah.  Meski tidaklah bersifat absolut sebagaimana dalam keniscayaan filosofis, sejauh batas-batas pengetahuan empiris fakta-fakta alamiah juga bisa memiliki modalitas keniscayaan.  Misalnya hubungan antara “hewan” dan “berkembang biak” ; adalah sebuah keniscayaan bahwa hewan itu makhluk yang berkembang biak. Sama halnya dengan proposisi “Air bisa mendidih”; ini juga sebuah keniscayaan karena salah satu sifat esensial zat cair adalah kemampuan mendidih.  Keniscayaan alamiah itu bersifat faktual dan tidak melibatkan kehendak bebas manusia.

Keniscayaan sejarah adalah sejenis keniscayaan yang unik.  Keniscayaan ini hanya terjadi pada dunia manusia.  Melalui akal pikiran, kesadaran, dan kehendak bebasnya, manusia berkemampuan melakukan tindakan-tindakan yang merespons keadaan tertentu dalam konteks sejarah tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, berbeda dengan keniscayan filosofis yang bersifat reflektif dan representatif, keniscayaan historis bersifat performatif dan presensial (penyingkapan).  Ia hadir dalam pentas sejarah tindakan-tindakan manusia yang melintasi ruang dan lorong waktu tertentu.   Demikian pula halnya, berbeda sepenuhnya dengan keniscayaan alamiah, tindakan-tindakan yang tergolong keniscayaan sejarah mensyaratkan hadirnya kesadaran dan kehendak bebas.

Keunikan lain keniscayaan sejarah adalah bahwa sekalipun ia awalnya bersifat performatif dan presensial yang hanya mungkin dipahami dalam ruang dan waktu tertentu (dan karenanya menyejarah), ia bisa direfleksikan melampaui konteks di mana dan kapan ia terjadi.  Itu sebabnya kenapa peristiwa-peristiwa sejarah bisa menjadi sumber rujukan dan pelajaran bagi manusia sepanjang masa ketika peristiwa-peristiwa itu diabstraksikan (dipisahkan, diangkat) dari konteks ruang dan waktu peristiwa-peistiwa itu muncul.  Reinhold Niebuhr (The Nature and Destiny of Man, 1945) menulis, “Kemampuan manusia untuk mentransendensikan pusaran alam memberinya kapasitas untuk membuat sejarah” (Man’s ability to transcend the flux of nature gives him the capacity to make history).[7]  Yang dimaksud dengan ‘pusaran alam’ di sini adalah batasan spasiotemporal (ruang dan waktu tertentu).

Tabel 1 berikut mencoba membandingkan ketiga jenis keniscayaan yang diulas secara ringkas di muka:

Keniscayaan   Filosofis            Keniscayaan Alamiah          Keniscayaan     Sejarah

– reflektif                                – empiris                                 – performatif

– representatif                         – faktual                                  – presensial

– universal                               – partikular                              – partikular-universal

– diskursif                               – mekanistik                            – keterlibatan kehendak

Dalam konteks pembahasan keniscayaan inilah, banyak sejarawan, pemikir dan sarjana umumnya entah beragama Islam, Kristen atau Hindu yang menyebut gerakan revolusioner Al-Husain sebagai sebuah keniscayaan sejarah.  Filsuf Muhammad Iqbal[8] yang menyebut Al-Husain sebagai penghulu para pencinta Allah menyatakan bahwa tindakan Al-Husain yang menawarkan pilihan bebas bagi sahabat-sahabat dan keluarganya telah menunaikan tugas yang sama dengan Nabi Ibrahim a.s. dalam mengorbankan anaknya Nabi Ismail a.s.  sebagai bentuk ketaatan total kepada Allah, Sang Sumber segala kebajikan.  Sementara Annemarie Schimmel, sarjana Jerman yang menekuni studi Islam puluhan tahun dan menerbitkan sejumlah karya yang menjadi rujukan internasional tentang pelbagai dimensi ajaran Islam, mengungkapkan bahwa Al-Husain adalah model sufi yang menapaki tarekat cinta melalui pengorbanan dan penderitaan.[9]

Sarjana Hindu Daniel Rudman[10], setelah melakukan penelitian bertahun-tahun, tiba pada kesimpulan bahwa salah satu makna esensial dari syahadah Al-Husain adalah termanifestasikannya nilai-nilai spiritual ke dalam pengalaman imanen (tindakan historis); dan ini adalah salah satu karakter kunci spiritualitas Islam (tasawuf yang sejati) di mana dimensi transendental dan imanensi menyatu berjalin jelindan.   Syahadah cucu Nabi al-Musthafa SAW bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya di padang Karbala memanifestasikan integrasi kecakapan reflektif (pemikiran) dan daya performatif (tindakan), dimensi transendensi dan imanensi, visi keabadian dan aksi temporalitas, universalitas dan partikularitas nilai-nilai moral dan spiritualitas Islam.

Baca Juga:  Makna Batin Kisah Nabi Nuh

Sementara itu, Antonie Bara, sarjana Kristen asal Suriah yang menghabiskan waktu lima tahun khusus untuk meneliti literatur-literatur tentang kehidupan dan perjuangan Al-Husain berkesimpulan bahwa jika revolusi Al-Husain tidak terjadi maka Islam tinggal sisi lahiriahnya saja tanpa akidah dan keimanan yang hidup di dada setiap Muslim.  Menurutnya, “..kondisi sosial umat Islam pada waktu itu mengharuskan (meniscayakan) adanya pengorbanan luar biasa yang mendekati kebinasaan kolektif.”[11]

Dengan demikian, sebagian sarjana menggolongkan gerakan perlawanan Imam Husain a.s. sebagai sebuah tindakan yang salah, berlebihan, pemaksaan diri atau minimal tidak esensial (Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim al-Jauzi, Ibn Khaldun); dan sebagian lainnya mengkarakterisasi revolusi Al-Husain sebagai hal yang niscaya secara esensial, sebagai sebuah keniscayaan sejarah guna menjaga prinsip-prinsip keimanan, moral dan syariah Islam sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAWW (Muhammad Iqbal, Annemarie Schimmel, Antonie Bara, Daniel Rudman, dan tentu saja mayoritas sarjana-ulama Islam).

Sekarang marilah kita coba jawab pertanyaan di muka dengan menganalisis pelbagai peristiwa dan pernyataan-pernyataan Al-Husain yang menggema di Madinah, Mekkah dan selama perjalanan ke Kufah hingga detik akhir syahadahnya di padang Karbala. Para peneliti dan sarjana sebetulnya tidak perlu terlalu sulit menafsirkan peristiwa demi peristiwa yang terkait dengan kisah tragedi Karbala.  Karena, pernyataan-pernyataan Al-Husain sudah sangat gamblang dalam menjelaskan dasar, tujuan, metode dan karakter gerakannya.  Kita hanya cukup mensistematisasi dan memahami makna-maknanya secara utuh dan mendalam seraya menimbang kondisi sosial politik, mentalitas, moralitas dan religiusitas umat Islam pada saat itu.

UNIVERSALITAS DAN RASIONALITAS TINDAKAN

Niebuhr (1945) menekankan bahwa kapasitas manusia untuk keluar dari batasan spasiotemporal sejarah mensyaratkan universalitas dan rasionalitas tujuan sebuah tindakan yang kita gores dalam perjalanan sejarah.  Karena itu, mari kita analisis karakter dasar dan tujuan pokok gerakan revolusi  Al-Husain.

Ketika gubernur Madinah, Al-Walid bin ‘Utbah, atas perintah Yazid, meminta baiat dari Imam Husain a.s, putra Sayyidah Fathimah a.s. ini berkata:

“Wahai gubernur! Kami adalah penghuni rumah kenabian, sumber risalah dan tempat persinggahan para malaikat. Dengan kami, Allah membuka dan dengan kami pula Dia menutup.  Yazid adalah orang fasik, durhaka, peminum arak, pembunuh jiwa yang suci, dan pelaku kefasikan secara terang-terangan.  Orang sepertiku tidak akan berbaiat kepada orang seperti dia (mitslī lā yubāyi‘u mitslahu)…”[12]

Kalimat terakhir yang diutarakan oleh Al-Husain memiliki makna mendalam, simbolik, dan bisa menggambarkan karakter perlawanan beliau kepada Yazid.  Al-Husain berkata,

“Orang sepertiku tidak akan berbaiat kepada orang seperti dia”

(mitslī lā yubāyi‘u mitslahu).

Dalam proposisi ini, Al-Husain menggunakan istilah ‘mitslī’ (orang seperti aku) dan ‘mitslahu’ (orang seperti dia).  Al-Husain tidak menggunakan term-term singular atau kata ganti perseorangan ‘saya’ dan ‘dia’ seperti dalam kalimat “Saya (Al-Husain) tidak akan berbaiat kepada dia (Yazid)”.   Tidak.  Dia justru menggunakan term-term universal yang bisa berlaku untuk siapa saja dengan karakter tertentu, yaitu ‘mitslī’ (orang yang berkarakter seperti aku) dan ‘mitslahu’ (orang yang berkarakter seperti dia).

Untuk mengungkap makna simbolik term ‘mitslī’ dan ‘mitslahu’, kita perlu menengok akar katanya, yaitu berasal dari term dasar ‘mitsl’, yang berarti serupa, sama dengan, eksemplar (contoh).  Istilah ini juga memiliki kata turunan ‘mitsal’ dan ‘amtsal’ yang berarti pola, model, standar, representasi, tipikal; juga bisa berarti simbol, perumpamaan.  Dengan menganalisis penggunaan istilah ini berikut turunannya kita bisa sampai pada pemahaman bahwa pengertian term ‘mistlī’ dan ‘mitslahu’ yang digunakan oleh Al-Husain terkait dengan makna tipologi, model, atau representasi.

Dengan demikian, kalimat Al-Husain mitslī lā yubāyi‘u mitslahu merupakan proposisi universal.  Kalimat itu adalah:

“Setiap manusia yang berkarakter seperti aku tidak akan berbaiat

kepada setiap manusia yang berkarakter seperti dia”.

Dalam bentuk kategoris proposisi ini menjadi:

“Semua manusia yang berkarakter seperti aku (Al-Husain) bukanlah

orang yang berbaiat kepada manusia yang berkarakter seperti dia (Yazid)”.

Dalam terminologi ilmu logika, kalimat ini adalah proposisi universal negatif (salibah kulliyyah), yaitu penafian total adanya hubungan dua kelas (yang masing-masing diwakili oleh term subyek dan term predikat).  Oleh karena itu, proposisi ini disebut juga proposisi yang bersifat complete exclusion (pemisahan total).  Dengan menggunakan diagram Venn, proposisi itu bisa digambarkan dalam Bagan 1 berikut:

SP = 0

S = semua manusia yang berkarakter seperti Al-Husain

P = semua orang yang berbaiat kepada manusia yang berkarakter seperti Yazid

Bagan 1. Relasi ‘complete exclusion’ antara karakter Al-Husain dan Yazid

Sesuai dengan hukum logis akal kita, proposisi universal negatif tersebut bisa dengan mudah dibalik (konversi) tanpa mengubah kuantitas dan kualitasnya sama sekali.  Konversi proposisi tersebut adalah:

“Semua orang yang berbaiat kepada manusia yang berkarakter seperti Yazid bukanlah

manusia yang berkarakter seperti Al-Husain”

Ulasan di muka memerikan bahwa gerakan yang dibangun oleh Al-Husain bersifat universal dan rasional, bukan personal dan emosional-reaksioner.  Penggunan kata “mitslī” (umat manusia sepertiku) alih-alih “ana” (aku) jelas sekali merupakan sebuah pesan yang hendak disampaikan oleh Al-Husain bahwa perlawanan Karbala merupakan tanggung jawab moral-keagamaan yang bersifat umum dalam konteks ruang-waktu yang beliau arungi dan mesti beliau emban dengan segenap penuh resiko. Dengan mengasaskan gerakannya melalui pernyataan, “Siapa saja manusia yang berkarakter seperti aku tidak akan berbaiat kepada siapa pun yang berperilaku fasik seperti yang dimodelkan oleh Yazid”, Al-Husain hendak menyatakan bahwa pertarungan ini didasarkan atas prinsip-prinsip universal dan rasional.

Berkarakter universal artinya bahwa asas dan tujuan tindakan revolusioner ini berwatak umum dan untuk kepentingan umat Islam atau umat manusia pada umumnya, yang karenanya, bisa menjadi sumber inspirasi gerakan moral-keimanan-kemanusiaan di mana, kapan, dan oleh siapa saja, sesuai dengan semboyan “Kullu yaumin ‘Āsyūrā wa kullu ardhin Karbalā” (Setiap hari adalah ‘Asyura dan setiap tempat adalah Karbala).  Syahid Murtadha Muthahhari menulis, “Pesan-pesan Imam Husayn tidaklah terbatas untuk kelompok tertentu secara eksklusif. Pesan-pesan beliau tertuju kepada seluruh umat manusia”.[13]

Revolusi dan syahadah Al-Husain di Karbala telah menginspirasi gerakan dan perjuangan penegakan keadilan dan kemuliaan manusia melintasi batas-batas wilayah dan zaman bahkan agama dan ideologi.  Tokoh kemerdekaan India, Mahatma Gandhi, menyatakan bahwa dia mengambil pelajaran dari perlawanan Al-Husayn dalam menentang penindasan secara bermartabat dan meraih kemenangan moral-spiritual yang abadi.[14]

Penyair ternama asal Lebanon, Khalil Gibran, menulis, “Al-Husain adalah cahaya yang menyinari semua agama”. Sementara itu, seorang sarjana Kristen asal Suriah, Antoane Bara, menyatakan, “Imam Husain milik seluruh dunia. Dia adalah hati nurani agama-agama.”[15] Penyair Lebanon kontemporer, George Shakoor, yang beragama Kristen Ortodoks, tidak segan-segan menggunakan pertemuan-pertemuan internasional membacakan puisi persembahan dan pembelaan bagi Al-Husain.[16]

Revolusi Al-Husain juga bersifat rasional dalam pengertian bahwa karakter tindakan revolusi tersebut didasarkan pada pertimbangan visioner akal budi jauh ke depan, ketangguhan komitmen, ketabahan jiwa, dan ketulusan hati nurani. Oleha karena itu, ia bersifat terbuka untuk dipelajari dan diteliti oleh siapa saja, yang pada gilirannya, memberikan pelajaran dan contoh bagaimana prinsip-prinsip amar ma’ruf nahi munkar mestinya dilakukan dalam kondisi yang sangat genting sedemikian sehingga memerlukan pengorbanan seluruh level eksistensi seperti pada gerakan ‘Asyura.

Mungkin tidak ada sebuah gerakan perlawanan yang telah menghasilkan ribuan buku, puisi, esai, dan analisis dalam berbagai bahasa sepanjang zaman sebagaimana yang terjadi pada revolusi Karbala. Tidak ada revolusi moral-spiritual sekaligus sosial-politik  yang mendorong para sarjana sejak dulu hingga sekarang untuk melakukan penelitian dan pengkajian mendalam seperti halnya terhadap revolusi Al-Husain.

Sejarawan Inggris, Edward Gibbon, menulis, “Meskipun dipisahkan oleh rentang waktu yang sangat jauh dan situasi yang berbeda, epos tragis kematian Husain akan membangkitkan simpati dari pembaca yang hatinya paling dingin sekalipun.”[17]

Dengan demikian, semakin terungkap bahwa revolusi Al-Husain bukanlah sebuah gerakan emosional yang merespons sejarah secara spontan dan reaksioner tanpa visi dan pertimbangan, dan bukan pula tindakan untuk kepentingan partikular dan sesaat yang ditelan oleh waktu.  Sebaliknya, revolusi ini ditegakkan atas dasar prinsip-prinsip nalar yang bening (‘aqliyyah), visioner, kearifan, tanggung jawab moral, keteguhan kehendak, dan teks suci agama (naqliyyah) yang dijalankan dengan kesempurnaan komitmen hati nurani. Dalam bahasa seorang filsuf sosial-budaya, Hannah Arendt, revolusi Al-Husain tergolong sebagai tindakan (action), sebuah kategori perbuatan manusia yang tertinggi.[18]

Mari kita lanjutkan analisis pernyataan Al-Husain di muka.

Abu Muhammad Zaynul Abidin[19] menambahkan bahwa kata lā yubāyi‘u (tidak akan berbaiat) bisa merupakan sebuah narasi realitas dan juga suatu informasi tentang tindakan.  Oleh karena itu, proposisi mitslī lā yubāyi‘u mitslahu itu hendak  mengatakan dua hal, yaitu:

  1. Al-Husain tidak akan pernah berbaiat kepada Yazid (narasi realitas)
  2. Al-Husain tidak akan berbaiat kepada Yazid (informasi tindakan)

Proposisi pertama menyampaikan kemustahilan pemberian baiat bahwa tidak akan pernah terjadi orang yang berkarakter Al-Husain memberi baiat kepada orang yang berkarakter Yazid.  Modalitas proposisi ini adalah keniscayaan filsofis yang dideduksi dari prinsip kemustahilan bertemunya dua hal yang kontradiktif (prinsip non-kontradiksi).  Kata yang berarti ‘tidak pernah’ dalam proposisi ini identik dengan pengertian yang terdapat pada proposisi “Kebenaran tidak pernah bertemu dengan kebatilan”.

Sedangkan proposisi kedua menegaskan sikap performatif yang akan dilakukan oleh Al-Husain, yang memanifestasikan prinsip non-kontradiksi dalam tindakan sejarah; dan karenanya, proposisi kedua ini menyingkap keniscayaan sejarah. Kata yang berarti ‘tidak akan’ dalam konteks ini mengacu kepada komitmen untuk menjalankan prinsip kebenaran teoritis dalam dunia konkrit. Komitmen ini mentransformasikan prinsip universal yang teoritis-filosofis menjadi prinsip partikular yang praksis-historis.

Baca Juga:  ZIARAH (3)

Dengan kata lain, penolakan pemberian baiat kepada Yazid adalah sebuah keniscayaan ganda (yaitu, keniscayaan filosofis dan sejarah) karena kedua proposisi itu baik reflektif-informatif maupun performatif–eksistensial menafikan kemungkinan bertemunya dua karakter itu,  baik secara teoritis maupun praktis, pada duo-level visi dan aksi, dan dwi-dimensi universal dan partikular.  Keniscayaan filosofis-teoritis terintegrasi dengan keniscayaan historis-praksis dan itulah bentuk kesempurnaan sebuah keputusan dan tindakan.  Namun, mengingat gerakan ini digores dalam sejarah, maka momen yang unik dan krusial yang mengkarakterisasi tindakan revolusioner ini lebih dipandang sebagai sebuah keniscayaan sejarah.

Karena Al-Husain dan Yazid adalah pelaku yang hadir dalam pentas sejarah dengan karakter yang berbeda secara total dan eksistensial, maka kita bisa menyusun dua proposisi sebagai berikut:

  1. Al- Husain adalah manifestasi kebenaran
  2. Yazid adalah manifestasi kebatilan

Jika dua proposisi itu digabung dengan dua proposisi berikut:

  1. Suatu manifestasi kebenaran tidak dapat menyatu dengan manifestasi kebatilan
  2. Pemberian baiat adalah sebuah penyerahan jiwa, penyatuan karakter

maka kita bisa menyusun sebuah silogism yang terdiri dari empat premis dan satu kesimpulan sebagaimana berikut:

Premis 1:  Al-Husain adalah manifestasi kebenaran

Premis 2:  Yazid adalah manifestasi kebatilan

Premis 3:   Manifestasi kebenaran tidak dapat menyatu dengan manifestasi

kebatilan (aplikasi prinsip non-kontradiksi dalam tindakan)

Premis 4:  Pemberian baiat merupakan bentuk penyerahan jiwa dan penyatuan

—————————————————————————————————

Kesimpulan:  Al-Husain  tidak akan memberikan baiat kepada Yazid

Tampak kian jelas bahwa gerakan perlawanan Al-Husain berwatak universal dan rasional. Keputusan dan tindakan Al-Husain yang menentang Yazid merupakan sebuah tindakan yang berasal dari refleksi deduktif yang menurunkan prinsip-prinsip kebenaran dalan situasi sejarah tertentu, sesuai dengan prinsip non-kontradiksi bahwa kebenaran dan kebatilan tidak akan pernah bertemu.  Dan prinsip inilah yang hendak dimanifestasikan oleh Al-Husain dalam pusaran sejarah yang dia arungi.

Dalam hal ini, sangat menarik jika kita membaca ayat suci Al-Quran berikut yang menggunakan term mitsl dalam menggambarkan perbedaan antara peristiwa sejarah yang langgeng dan peristiwa yang punah dengan mendenotasikannya sebagai hal yang benar dan hal yang palsu:

Allah telah menurunkan air dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang.  Dan dari logam yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada pula buihnya seperti buih air itu (mitsluhu). Demkianlah Allah membuat perumpamaan bagi kebenaran dan kebatilan.  Adapun buih itu, ia akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia akan tetap di bumi.  Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (al-amtsāl). (QS Ar-Ra’d: 17).

TEKS DAN KONTEKS: PRINSIP UNIVERSALITAS DAN PARTIKULARITAS

Jika ulasan di muka mendedah karakter dasar prinsip-prinsip umum yang melambari tindakan Al-Husain untuk bangkit melakukan sebuah revolusi moral-sosial-spiritual, maka perlu bagi kita sekarang untuk mengungkap kondisi-kondisi historis yang bersifat partikular. Pembentangan situasi sejarah saat itu diperlukan untuk lebih bisa menyelami latar belakang dan konteks sejarah mengapa Al-Husain secara niscaya melakukan revolusi Karbala.  Bergabungnya komitmen terhadap prinsip-prinsip kebenaran umum dengan kondisi-kondisi khusus yang mesti dihadapi secara tak terelakkan telah mendorong Al-Husain untuk membuat keputusan penyelamatan Islam melalui kisah kepahlawanan yang tragis, dan karenanya menjadi sangat unik dan inspiratif dalam perjalanan sejarah umat manusia.

Faktor pertama yang perlu diperhatikan adalah kondisi psiko-moral-politik umat Islam ketika itu.  Sebagaimana diketahui bahwa dalam waktu yang sekejap umat Islam menguasai berbagai daerah yang sangat luas.  Wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam ketika itu telah mencapai Byzantium (Ibukota Kerajaan Romawi Timur) di Utara, Persia di Timur, dan Afrika Utara serta seluruh jazirah Arabia.  Luasnya wilayah kekuasaan ini secara alamiah mendorong banyak orang untuk berebut kekuasaan, saling sikut dan fitnah, dan bahkan, menjual agama dalam berbagai modus seperti: pembuatan hadis-hadis palsu, penafsiran sewenang-wenang nash-nash agama, pelarangan studi kritis hadis dan agama dengan alasan teologis Jabbariyah, pembuatan bid’ah-bid’ah, dan sebagainya.  Umat Islam pada umumnya  ketika itu seakan-akan berlomba-lomba mencari kesenangan dunia, dan termasuk di dalamnya melalui kekuasaan.  Penarikan zakat dan pajak (bagi non-Muslim) yang mencakup wilayah yang amat luas menggiurkan banyak orang untuk mencicipinya melalui pintu-pintu kekuasaan.

Kondisi di muka diperparah oleh hasrat terpendam sebagian orang yang mengaku umat Nabi Muhammad SAWW untuk berkuasa menghegemoni kehidupan orang Arab dan umat Islam umumnya.  Kelompok yang menonjol adalah kaum keturunan Umayyah seperti Abu Sufyan, Mu’awiyah, Marwan bin Hakam, Yazid bin Mu’awiyah.  Mereka sangat terobsesi untuk menjadi raja atau penguasa orang-orang Arab sebagai bentuk kebanggaan ashabiyah mereka terhadap kabilah Umayyah.   Mereka makin terdorong untuk merealisasi obsesi itu setelah kenyataannya pemimpin umat Islam, yaitu Nabi Muhammad SAWW itu sendiri, berasal dari musuh bebuyutannya, yaitu  keturunan Hasyim.  Pada masa kekuasaan Mu’awiyah, umat Islam telah mengalami cuci otak selama 20 tahun (40 – 60 H) dengan praktek penistaan dan permusuhan kepada Imam ‘Ali dan keluarga Nabi Suci berserta pengikut mereka pada umumnya sedemikian rupa sehingga banyak generasi baru Islam yang tidak mengenal jati diri pewaris dan penjaga misi kenabian tersebut.[20] Demikianlah keadaannya, sangat ironis bahwa Nabi Mulia yang membawa pesan-pesan universal kemanusiaan mengatasi perbedaan suku dan ras, justru ditafsirkan oleh kaum yang terobsesi oleh kekuasaan kesukuan sesuai dengan cara-pandang mereka yang ashabiyah.

Dua kondisi psiko-moral-politik umat Islam itu bekerja secara sinergis.  Artinya, kedua kondisi tersebut saling memperkuat, yaitu sekelompok orang yang haus kekuasaan menggunakan kelengahan dan kelemahan moral umat ketika itu  untuk mencapai tujuan-tujuan mereka sendiri, dan sebaliknya orang-orang yang mulai tergoda dengan kemewahan materi tidak begitu acuh terhadap perilaku kaum yang memperalat agama untuk meraih kekuasaan.  Kondisi seperti ini melahirkan masyarakat yang mengalami disorientasi dalam visi dan misi agama Islam itu sendiri sedemikian rupa sehingga terjadilah krisis moral dan krisis spiritual yang sangat parah.

Ketika itu banyak ditemukan tukang-tukang pembuat hadis-hadis palsu demi setumpuk dinar; suatu perbuatan yang tergolong amat berani dalam memperjualbelikan agama, yang orang kafir pun jika jujur tidak akan bersedia melakukannya.  Ketika itu begitu mudahnya orang mengkafirkan dan membunuh sesama kaum Muslimin hanya karena perbedaan cara berwudlu.   Ketika itu orang-orang yang menggemari kenikmatan duniawi juga telah kehilangan jiwa keberanian dan kehormatan diri hanya karena bujukan dinar atau ancaman pedang Muawiyah dan Yazid.[21]

Berikut disebutkan tiga buah contoh guna memperjelas bagaimana kondisi moral dan karakter umat sesungguhnya ketika itu.  Ketiga contoh ini berkenaan dengan peristiwa yang dialami kedua cucu Nabi, Al-Hasan dan Al-Husain, dan Muawiyah yang hidup pada masa-masa kegelapan dalam sejarah Islam itu.  Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib (Al-Hasan) terbunuh oleh racun yang dibuat oleh istrinya sendiri hasil bujukan Muawiyah, padahal Muawiyah telah menyatakan ikrar perdamaian dengan Al-Hasan.[22]   Untuk itu, Muawiyah berjanji kepada istri Al-Hasan itu akan mengawinkannya dengan anaknya Yazid, suatu janji yang akhirnya dikhianati oleh Muawiyah.  Kasus ini menggambarkan betapa praktek pengkhianatan dan ingkar janji begitu mudahnya dilakukan.  Dan ironisnya, kebanyakan umat ketika itu tidak begitu peduli dengan praktek-praktek kebangkrutan moral seperti itu.

Peristiwa kedua adalah adanya seorang tokoh kabilah Malik bin Hubairah Al-Sukuni yang marah dan berkehendak memberontak Mu’awiyah karena telah membunuh pengikut Imam Hasan, yaitu Hujur bin ‘Adi dan para pengikutnya. Namun, dia ternyata dengan begitu mudahnya mengurungkan niatnya hanya karena disuap 100.000 dirham yang diberikan Mu’awiyah.  Praktek seperti ini tentu saja teramat banyak terjadi.  Demikian pula para tokoh umat dan kabilah lainnya yang bungkam karena dinar atau pedang. Ada sebuah puisi untuk menggambarkan mentalitas umat Islam saat itu secara umum:

Teriakan Banu Syakam dibungkam

dengan dinar-dinar emas

Dan nuranimu pun

dihancurkan dengan jabatan[23]

Dari sebuah contoh ini kita juga bisa menilai kualitas moral umat pada umumnya ketika itu.  Telah terjadi moral hazard, yaitu kebangkrutan moral secara sistematis sedemikian rupa sehingga muncul perasaan tidak bersalah para pelaku perbuatan-perbuatan yang melanggar nilai-nilai moral agama dan kemanusiaan, dan masyarakat umumnya juga bersikap permisif, fatalis, dan apatis sejauh tidak mengusik kepentingan duniawi mereka.

Peristiwa ketiga berkaitan dengan pembahasan kita sekarang, yaitu peristiwa Revolusi Asyura.  Seperti yang disebutkan dalam sejarah bahwa sebelum tragedi kemanusiaan itu banyak rakyat Kufah-Irak yang berkirim surat kepada Al-Husain dengan maksud mengundang beliau menuju Kufah menentang Yazid, dan mereka menyatakan kesetiaannya kepada cucu Nabi itu.  Riwayat menyebutkan terdapat 18.000 surat yang masing-masing dibubuhi tanda tangan beberapa orang hingga dua puluh orang, sehingga totalitas orang yang menandatangani pernyataan dukungan kepada Al-Husain tidak kurang dari 100.000.[24]

Namun, kenyataan sejarah yang kita saksikan banyak dari mereka yang begitu mudah meninggalkan Al-Husain ketika rombongan cucu Nabi ini baru saja meninggalkan Mekkah menuju Kufah.  Sebagian dari mereka dibujuk dengan harta benda dan kesenangan duniawi.  Umar bin Sa’ad, misalnya, yang mengakui kemuliaan Imam Husain a.s. jauh tak terbandingkan dengan Yazid, namun justru menjadi pimpinan pasukan Yazid yang membantai Husein r.a dan para sahabatnya, karena dijanjikan diberi kota Rayy oleh Gubernur Yazid di Irak, Ibn Ziyad.[25]  Ada juga rakyat Kufah yang berhasil ditakut-takuti oleh Ibn Ziyad yang memang terkenal penjagal manusia yang berdarah dingin itu.

Ketiga contoh yang diungkapkan di muka menggambarkan betapa dalamnya krisis moral dan spiritual umat Islam ketika itu.  Tidak tampak lagi jiwa kepahlawanan Hamzah, jiwa perjuangan Abu Dzar, karakter mulia Salman al-Farisi yang merupakan hasil pendidikan moral dan karakter Islam.   Itulah sebabnya para sejarawan seperti Ibrahim Ayati, Ali Hussain Jalali, atau Antoane Bara menyatakan bahwa jika tidak ada peristiwa Revolusi Asyura karakter moralitas dan spiritualitas Islam yang hakiki sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW  akan sirna dari sejarah. Yang mungkin tersisa hanyalah nama Islam tetapi ajaranya telah terdistorsi setelah 50 tahun wafatnya Nabi Suci (11-61 H) dan karena masih sangat muda, maka ajaran Islam dengan mudah terkubur selamanya.

Baca Juga:  Soal Yasinan dan Malam Jumat

Ibrahim Ayati menulis, “.. jika Imam Husain tidak mengambil tindakan ini (revolusi Karbala), maka seluruh ajaran dan tradisi Islam akan terhapus dan semua usaha keras yang telah dilakukan Rasulullah SAW akan menjadi sia-sia belaka…”[26]

Menurut Ayatollah Muhammad Syirazi, Al-Husain telah menyimak perjalanan sejarah ayahnya dan kakaknya bagaimana mereka menghadapi Mu’awiyah.  Salah satu fakta sejarah yang dipertimbangkan adalah strategi dan metode yang dilakukan Al-Hasan dalam menghadapi Mu’awiyah, yaitu dengan melakukan berperang dan berdamai. Strategi ini berhasil mengungkap watak Mu’awiyah yang sesungguhnya sehingga umat Islam dapat menyaksikan pengkhianatan dan kemunafikan suami Hindun itu baik dalam masa perang maupun damai. Sejarah menjadi saksi bahwa dusta, khianat, dan ingkar janji merupakan watak asli Mu’awiyah. Sejarah pun akan mencatat daftar kejahatan, kebengisan, dan kezaliman Mu’awiyah selama dia berkuasa 20 tahun bahkan semenjak kepemimpinan Imam ‘Ali (35 – 40 H).  Fakta-fakta ini semua tentu juga menjadi bahan pertimbangan Al-Husain dalam membuat keputusan historis melakukan revolusi Asyura.[27]

KESIMPULAN

Dengan mengacu kepada konteks sejarah yang diungkap secara singkat di muka, maka tidak ada pilihan lain bagi kita untuk berkesimpulan bahwa perlawanan yang digerakkan oleh Al-Husain adalah sebuah keniscayaan sejarah.  Seluruh syarat-syarat niscaya (necessary conditions) berupa perintah-perintah agama (teologis, syariah, moral) dan syarat-syarat mencukupi (sufficient conditions) berupa situasi-situasi sejarah telah dipenuhi untuk melakukan sebuah perlawanan atau revolusi sosial-kemanusiaan.  Dengan kata lain, keadaan yang sudah sedemikian parah ketika itu menuntut satu-satunya pilihan modus gerakan untuk mengingatkan umat kepada pesan inti dan abadi agama dan memutar kembali jarum sejarah kepada evolusi kemajuan peradaban manusia; pilihan itu adalah revolusi, revolusi ‘Asyura di Karbala.

Dengan demikian, kita bisa menyaksikan bahwa prinsip-prinsip universalitas dan prinsip-prinsip partikularitas telah hadir dalam revolusi Asyura. Prinsip universalitas  bersandarkan pada teks, dalam hal ini, teks agama seperti Al-Qur’an, sabda Nabi Muhammad SAWW, dan prinsip amar ma’ruf nahi munkar.  Prinsip partikularitas adalah konteks sejarah kapan dan tempat tindakan hendak digelar. Dalam hal ini, setidaknya terdapat tiga konteks yang perlu disimak, yaitu (1) Konteks sosial politik; (2) Konteks mentalitas; (3) Konteks moral keimanan.  Ketiga konteks ini secara tak semena-mena paralel dengan tiga lapisan kebudayaan: material, sosietal dan ideasional. Artinya, seluruh dimensi dan lapisan kebudayaan – ditinjau dari budaya-keagamaan – pilar-pilar peradaban umat Islam ketika itu telah rusak dan terancam punah.

Kedua prinsip ini telah sempurna dan paripurna (lengkap) sedemikian sehingga revolusi Al-Husain di Karbala memang menjadi satu-satunya pilihan tindakan yang mesti dilakukan demi menjaga prinsip-prinsip ajaran Islam.  Pengorbanan dan syahadah Al-Husain bersama keluarga dan para sahabatnya yang terpilih merupakan keniscayaan sejarah untuk menyelamatkan Islam dalam konteks penyelamatan umat manusia pada umumnya. Dan perjalanan sejarah sesudah revolusi Karbala hingga hari ini menjustifikasi tesis ini.

T E K S                                  K O N T E K S

Prinsip universalitas                           Prinsip partikularitas

TINDAKAN                       è        KENISCAYAAN SEJARAH

Bagan 2. Kesempurnaan syarat-syarat niscaya dan memadai sebagai prinsip universalitas dan partikularitas yang mengimplikasikan revolusi Karbala sebagai keniscayaan sejarah.

 

 

Daftar Pustaka

  1. ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad, Al-Husayn Abū al-Syuhadā (Beirut:Dār al-Kitāb al-Libnānī, 1974).
  2. Abu Muhammad Zaynul Abidin, An Everlasting Instruction: Imam al-Husayn’s Journey to Makka, dalam Allamah Thabathabaei et.all., Koleksi Bahan Referensi Seminar Riset Imam Husayn (ICAS Jakarta, 2008).
  3. Ali Muhammad Ali, Para Pemuka Ahlul Bait Nabi – Jilid 3-4 (Bandung: Pustaka Hidayah, 1993)
  4. ________________, Para Pemuka Ahlul Bait Nabi – Jilid 5-6 (Bandung: Pustaka Hidayah, 1993)
  5. Allamah Thabathabaei et.all., Koleksi Bahan Referensi Seminar Riset Imam Husayn (ICAS Jakarta, 2008).
  6. Annemarie Schimmel, Karbala and the Imam Husayn in Persian and Indo-Muslim Literature, Al-Serat, Vol. XII (Cambridge: Harvard University Press, 1986).
  7. Antonie Bara, The Saviour: Husain Dalam Kristianitas (Jakarta: Citra, 2007).
  8. Carl L. Becker, A New Philosophy of Histoy’, (New York: The Dial , 1915)
  9. Edward Gibbon, The Decline and Fall of the Roman Empire – Volume 5 (London, 1911),
  10. Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1998).
  11. Husain Heriyanto, The Awakeing of Human Conscience: The Everlasting Lessons form the Scrifice of Imam Husain for Our Civilization Today (ICAS Jakarta, unpublished, 2008)
  12. Ibrahim Ayati, A Probe Into the History of Ashura (Karachi: Islamic Seminary Publications, 1995),
  13. Imam Muhammad Shirazi, Husayn: The Sacrifice for Mankind (translation by Z. Olyabek), (London: Fountain Books, 2003).
  14. Mahmoud Ayoub, The Martyr of Karbala ( London: al-Serat Journal, Vol. 4, 1978),
  15. Murtadha Muthahhari, Man and Universe (Berkeley: Mizan Press, 1985)
  16. __________________, The Truth about Hussain’s Revolt: Husain – The Universalist, dalam Allamah Thabathabaei et.all., Koleksi Bahan Referensi Seminar Riset Imam Husayn (ICAS Jakarta, 2008).
  17. Reinhold Niebuhr, The Nature and Destiny of Man (New York: Charles Scribner’s Sons, 1945),

[1] Imam Muhammad Shirazi, Husayn: The Sacrifice for Mankind (translation by Z. Olyabek), (London: Fountain Books, 2003), hal. 13-14.

[2] Murtadha Muthahhari, Man and Universe (Berkeley: Mizan Press, 1985), hal. 151.

[3] Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Abu Bakr, lebih dikenal dengan nama Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1292-1350), adalah murid dan pengikut Ibn Taimiyyah.

[4] Ibn Taimiyyah (1263-1328) adalah seorang tokoh pendiri Salafi yang hanya memaknai teks-teks keagamaan secara lahiriah (skripturalistik) dengan menolak penggunaan akal serta studi logika, filsafat dan tasawuf.

[5] Ibn Khaldun (1332-1406) adalah seorang sejarawan dan sosiolog Muslim awal; dikenal dengan karyanya Al-Muqaddimah.

[6] ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad (1889-1964) adalah salah seorang tokoh intelektual Mesir dalam pencerahan pemikiran Islam abad ke-20.  Dia menulis Al-Husayn Abū al-Syuhadā (Beirut:Dār al-Kitāb al-Libnānī, 1974).

[7] Reinhold Niebuhr, The Nature and Destiny of Man  (New York: Charles Scribner’s Sons, 1945), hal. 1.

[8] Syair Iqbal: Gharib-o- sāda-o-rangi’n hay dāstān-e-Haram; Nihāyat iski Husayn ibtida hay Ismāil”, dalam Allamah Thabathabaei et.all., Koleksi Bahan Referensi Seminar Riset Imam Husayn (ICAS Jakarta, 2008).

[9] Annemarie Schimmel, Karbala and the Imam Husayn in Persian and Indo-Muslim Literature, Al-Serat, Vol. XII (Cambridge: Harvard University Press, 1986).

[10] Daniel Rudman, Mysticism and Imam Husayn, dalam Allamah Thathabaei et.all., Koleksi Bahan Referensi Seminar Riset Imam Husayn (ICAS Jakarta, 2008).

[11] Antonie Bara, The Saviour: Husain Dalam Kristianitas (Jakarta: Citra, 2007), hal. 84.

[12] Abu Muhammad Zaynul Abidin, An Everlasting Instruction: Imam al-Husayn’s Journey to Makka, dalam Allamah Thathabaei et.all., Koleksi Bahan Referensi Seminar Riset Imam Husayn (ICAS Jakarta, 2008).

[13] Syahid Murtadha Muthahhari, The Truth about Hussain’s Revolt: Husain – The Universalist, dalam Allamah Thabathabaei et.all., Koleksi Bahan Referensi Seminar Riset Imam Husayn (ICAS Jakarta, 2008).

[14] Mahatma Gandhi, “I learnt from Husayn how to be wronged and be a winner”, dalam Allamah Thabathabaei et.all., Koleksi Bahan Referensi Seminar Riset Imam Husayn (ICAS Jakarta, 2008). Dikisahkan bahwa ketika Gandhi memulai perlawanan historisnya terhadap kolonialis Inggris, dia membawa serta 72 orang sebagai sebuah simbol untuk meniru epos revolusi Al-Husain.

[15] Antonie Bara, The Saviour: Husain Dalam Kristianitas (Jakarta: Citra, 2007)., hal. 358-359.

[16] Diantaranya, dalam  Kongres Pertama Penyair Iran dan Dunia (The First Congress of Iranian and World’s Poets) pada April 2010, Shakoor membacakan puisi untuk Imam Husain. Baca esai Jamal D. Rahman, “Menikmati Puisi di Taman Penyair” (www.wordpress.jamalrahman)

[17] Edward Gibbon, The Decline and Fall of the Roman Empire – Volume 5 (London, 1911), hal. 391-392.

[18] Hannah Arendt membagi membagi tiga kegiatan dasariah manusia, yaitu kerja (labour), karya (work), dan tindakan/aksi (action).  Kerja merupakan tuntutan agar manusia bisa hidup; dan karena itu manusia disebut sebagai animal labour.  Perbuatan-perbuatan yang bersifat rekasioner tergolong kerja. Karya merupakan  kegiatan penguasaan manusia terhadap alam, menciptakan obyek yang berguna agar dunia pantas bagi habitat manusia seperti peralatan teknologi; dan untuk itu manusia disebut sebagai homo faber.  Sedangkan tindakan (aksi) merupakan kegiatan pengungkapan kebebasan dirinya sebagai manusia dengan segenap nilai-nilai kemanusiaannya.  Bertindak berarti menciptakan yang baru, mengambil inisiatif, menggerakkan, memulai.  Manusia aksi adalah manusia subyek yang bertanggung jawab.  Tindakan/aksi merupakan aktualisasi nilai-nilai moral dan kemanusiaan seperti, kesucian, keberanian, kemuliaan, tanggung jawab, keagungan, keindahan. Untuk itu manusia disebut sebagai homo politikos, homo religius. Baca Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1998).

[19] Ibid. Abu Muhammad Zaynul Abidin (2008).

[20] Ibrahim Ayati, A Probe Into the History of Ashura (Karachi: Islamic Seminary Publications, 1995), hal. 4

[21] Imam Muhammad Shirazi, Husayn: The Sacrifice for Mankind (translation by Z. Olyabek), (London: Fountain Books, 2003), hal. 8-9.

[22] Ibid. hal. 11.

[23] Ali Muhammad Ali, Para Pemuka Ahlul Bait Nabi – Jilid 3-4 (Bandung: Pustaka Hidayah, 1993), hal. 196.

[24] Ali Muhammad Ali, Para Pemuka Ahlul Bait Nabi – Jilid 5-6 (Bandung: Pustaka Hidayah, 1993), hal. 56-58.

[25] Mahmoud Ayoub, The Martyr of Karbala ( London: al-Serat Journal, Vol. 4, 1978),  hal. 11.

[26] Ibrahim Ayati, A Probe Into the History of Ashura (Karachi: Islamic Seminary Publications, 1995), hal. 18

[27] Imam Muhammad Shirazi (2003) , hal. 12.

0 Shares:
You May Also Like