Makna Batin Kisah Nabi Nuh

Ketika Nabi Adam wafat, beliau berwasiat bahwa Allah tidak akan meninggalkan manusia sendiri di muka bumi. Dia akan mengutus para nabi untuk membimbing mereka dan menyelamatkan mereka. Para nabi itu memiliki nama, sifat, dan makna batin yang berbeda, namun bertujuan sama yaitu tauhid.

Waktu berlalu, sejak wafatnya Nabi Adam. Banyak hal berubah di muka bumi.  Wasiat Nabi Adam mulai dilupakan. Kesalahan yang lalu kembali terulang, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Sebelum Nabi Nuh lahir, telah hidup lima orang saleh dari kakek kaum Nabi Nuh. Mereka hidup selama beberapa zaman. Mereka adalah Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Setelah kematian mereka, orang membuat patung mereka, untuk menghormati dan sebagai peringatan terhadap mereka. Seiring waktu dan zaman, timbul berbagai dongeng dan khurafat yang membelenggu akal manusia bahwa patung-patung itu memiliki kekuatan khusus, sehingga mereka menyembahnya.

“Mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan ) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr,'”(QS. Nuh [71]: 23).

Dalam situasi seperti ini, Allah mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan kaumnya kepada tauhid sejati. Nabi Nuh merupakan keturunan kesembilan dari Nabi Adam, dan merupkan Nabi pertama yang mempunyai kaum dalam jumlah besar.

Setiap kisah para nabi dalam Al-Qur’an itu selalu mempunyai makna lahir dan makna batin yang dalam. Kisah Nabi Nuh ini mungkin merupakan kisah yang paling kontroversial dari sisi makna batin yang diuraikan dalam Fusush al-Hikam, karya Ibn ‘Arabi yang khusus membahas makna batin dari kisah para nabi dalam Al-Qur’an.  Ibn ‘Arabi menafsirkan kisah para nabi dengan metode takwil, yaitu pemahaman Al-Qur’an dengan menggali makna batinnya yang lebih dalam, karena memang, seperti disabdakan Nabi saw sendiri, “Al-Qur’an memiliki berlapir-lapis makna.” Meski pun demikian, lapis makna itu tak bertentangan satu sama lain, bahkan dengan makna literal (harfiah)-nya.

Baca Juga:  Perempuan Sufi: Bukti Kesejajaran Laki-laki dan Perempuan di Hadapan Tuhan

Sabda Nabi saw.: “Sungguh Al-Qur’an memiliki (aspek) lahir dan batin. Untuk setiap batin ada batinnya, sampai tujuh lapis.”

Syirik dan kufur kepada Allah pada kaum Nabi Nuh menyebabkan hilangnya keseimbangan antara tanzih (transenden) dan tasybih (imanen) dan hancurnya akal, serta kosongnya kehidupan dari fitrah dan tujuan utama yaitu tauhid.

Kakek dan leluhur kaum Nabi Nuh adalah orang yang saleh, sesuai fitrah dan seimbang dalam tauhid. Mereka meyakini bahwa Tuhan adalah Tanzih (Maha Suci dari segala kemiripan dengan makhluk, tidak terbatas, tidak terjangkau oleh manusia), namun sekaligus Tasybih (Sangat dekat dengan manusia, bahkan menjadi satu dengan manusia, mempunyai ciri kemanusiaan seperti Maha Mendengar, Maha Melihat, dan yang lain).

Namun, seiring waktu kaum Nabi Nuh menjadi terlalu tasybih, sehingga mereka beriman kepada Tuhan yang terlalu manusiaswi, yang disimbolkan dengan berhala dan patung.

Nabi Nuh adalah seorang hamba yang dijaga Allah, sehingga akalnya tidak terpengaruh oleh kondisi tersebut. Allah mengutus Nabi Nuh untuk menyeimbangkan tauhid kaumnya yang terlalu tasybih itu.

Namun, dakwah Nabi Nuh mengalami tantangan yang besar. Sangat sulit  untuk men-tanzih-kan masyarakat yang sudah terlarut demikian dalam kepada tasybih. Mereka sudah demikian meyakini Tuhan hanya dalam sisi tasybih saja. Mereka tidak mengenal makrifat sisi tanzih-Nya. Bahkan bagi anak Nabi Nuh sendiri, dakwah ayahnya terasa sangat asing dan jauh:

“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: Hai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir. Anaknya menjawab: Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah. Nuh berkata: Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah Yang Maha Penyayang. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditelenggelamkan” (QS. Hud [11]: 42-43).

Baca Juga:  Belajar Hidup dari Buya Hamka

Nabi Nuh dan kaumnya sebenarnya merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Namun, terdapat ketidak-sesuaian yang menunjukkan belum sempurnanya maqam dan dakwah Nabi Nuh. Nabi Nuh sangat menampilkan sisi tanzih-Nya, sedangkan kaumnya masih berkutat dalam dimensi tasybih-Nya, sehingga muncul jarak yang jauh.

Maka Allah berkehendak untuk menyempurnakan maqam Nabi Nuh sekaligus misi dakwah kepada kaumnya, sehingga Allah menenggelamkan kaum Nabi Nuh dalam makrifat Allah, dan pada akhirnya mereka mengenal Allah dan menyempurnakan tauhid mereka. Semuanya adalah “makar” Allah Yang Maha Berkehendak. Semua Kehendak-Nya adalah indah dan sempurna. Wallahualam.

Previous Article

Renungan Pagi Hikmah Kisah Nabi Yunus

Next Article

MASIHKAH PERLU MEMPELAJARI AL-QUR’AN, KETIKA TELAH DIJANJIKAN AKAN DIBERI KEMUDAHAN?

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨