Tren Muslim Hijrah Masa Kini, Benarkah Hijrah?

Nampaknya tren hijrah Muslim masa kini belumlah usai bahkan malah menggurita, dari eksis di medsos sampai dakwah dadakan di pinggir jalan, mall, bahkan warung kopi pun mereka lahap. Entah, apakah ini fenomena kebangkitan Islam atau justru kemunduran Islam? Hal ini menjadi menarik untuk diperbincangkan.

Tren hijrah yang menggurita di sebagian umat Islam Indonesia nampaknya memberi warna baru bagi gerakan Islam post-modernisme. Gerakan hijrah ini bukan terlahir dari rahim pemikiran keislaman dan hasil telaah keagamaan, tetapi lebih pada tren gaya hidup semi Muslim dan menonjolkan corak Islam semau gue.

Fenomena tersebut melahirkan ustaz dadakan dengan pedenya berpakaian gamis, celana cingkrang, dan menumbuhkan jenggot (katanya menjadi sarana para Bidadari bergelayutan) yang kerap kali eksis mengisi siraman rohani, zikir dan pertaubatan nasional di pertelevisian Indonesia.

Memang tidak sepenuhnya salah apabila seseorang hijrah dari semula keadaan buruk menjadi baik. Akan tetapi apakah makna hijrah yang mereka pahami hanya sebatas hijrah fisikal saja? Sebut saja tren hijabers yang dilakukan para selebgram dengan mengubah gaya hidup hedonisnya menjadi religius, yang semula tampil seksi simsalabim berubah menjadi ustazah dengan mengenakan kerudung bahkan cadar.

Hal-hal tersebut mungkin cukup lumrah untuk diterima bagi sebagian orang yang memang mendapat keuntungan dari tren tersebut. Mengapa demikian? Ya. Dari transformasi selebgram hijabers tersebut  bisa menambah jumlah followers dan mendapat endorse. Dari sinilah pundi-pundi cuan tumbuh, berkembang, subur dan siap dipanen.

Bahkan tempo hari netizen Indonesia sempat dibuat geger dengan tren hijrah yang bisa kita bilang “out of the box”. Yakni salah satu komoditi makanan atau jajanan khas daerah yang dinamakan “Klepon” juga tidak luput dari statusnya menjadi hijrah. Sebuah jajanan klepon juga harus tampil relijius, entah khusus fenomena ini tampaknya memang sudah cuti nalar bahkan di luar nalar kemanusiaan. Entah apa yang merasukimu!

Baca Juga:  Senyuman Teduh Sayyidina Umar

Tampaknya tren hijrah ini memang sudah salah kaprah bahkan keluar dari jalur substansial dari makna hijrah tersebut. Apalagi tren hijrah yang dibawa artis sesungguhnya sudah mereduksi makna hijrah yang sesungguhnya. Sebab ada anggapan bahwa seseorang tidak cukup Islami sebelum ia akhirnya berhijrah. Jelas anggapan seperti ini tidak lebih dari tipu daya dan tidak berdasarkan pada cara berpikir yang baik dan benar.

Makna hijrah sendiri berasal dari bahasa Arab, dari kata dasar “hajara” yang secara bahasa (lughatan) berarti bergerak, berpindah, berpisah, mengambil bagian, menyerahkan diri.

Secara terminologis istilah hijrah digunakan untuk menggambarkan perpindahan dan pergerakan Rasulullah saw. dan mitra sahabat dari Mekkah ke Madinah. Bahkan dari kondisi hijrah tersebut Nabi dan rombongan sahabat mendapat pengalaman baru akan kondisi dan situasi masyarakat Arab yang terkesan konservatif dan jumud.

Pada sisi lain hijrah Nabi tidak hanya dipahami hanya sekedar physical movement, tapi juga menyangkut kondisi mental atau psikologis sekaligus membangun kesadaran antar dua kalangan yakni Muhajirin dan Anshar untuk menyatukan pendapat bersama, agar tidak terulangnya konflik lama di antara mereka.

Langkah politis ini sangat tepat untuk meredam efek keretakan sosial yang ditimbulkan oleh berbagai manuver orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik (hipokrit) yang berupaya menyulut api permusuhan antara suku Aus dan Khazraj, antara Muhajirin dan Anshar.

Upaya mempersaudarakan dua kelompok tersebut dipandang sebagai fondasi awal dalam fase pertama perjalanan negara Islam. Dengan persaudaraan itu, primordialisme suku dan golongan terkikis habis. Ikatan genealogis telah digantikan dengan ikatan agama dan persaudaraan Islam.

Dalam konteks ini, tampak kecerdikan Rasulullah dalam mendesain sebuah sistem yang mengantisipasi masa depan Islam. Jika pergerakan Rasul di Mekkah lebih cenderung pada penataan pranata sosial dan membangun optimisme masyarakat, maka peran Rasul di Madinah lebih terfokus pada pembangunan kehidupan sosial secara lebih luas.

Baca Juga:  Memahami Hukum dengan Pendekatan Substansial (Maqashid al-Syari’ah)

Di Madinah, Nabi bersama semua elemen penduduk Madinah berhasil membangun structure religio politics atau “Negara Madinah”. Untuk mengatur roda pemerintahan, semua elemen masyarakat Madinah secara bersama menandatangani sebuah dokumen yang menggariskan ketentuan hidup bersama yang kemudian lebih dikenal sebagai konstitusi atau Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).  

Di sisi lain, jika kita tarik sedikit makna hijrah yang seyogianya merupakan suatu pergerakan politik dan kesadaran masyarakat di era Hijrah Rasul dan sahabat. Tentu elemen rohani atau jiwa juga tak luput dari suatu pergerakan, gerakan (hijrah) di sini yang dimaksud ialah gerak jiwa yang menyempurna.

Dalam hal ini cukup layak pemikiran Mulla Sadra mengenai gerakan transubstansial (al-harakat al-jawhariyyah) ikut meramaikan makna hijrah yang saat ini mulai tergerus zaman dan kehilangan substansinya. Namun, gerak bagaimanakah yang dimaksud?.

Gerakan transubstansial terjadi meliputi segala sesuatu, baik pada jasmaniah maupun rohaniah. Manusia, menurut Mulla Sadra, sesuatu yang awalnya berasal dari materi pertama (al-maddah al-ula) yang bergabung dengan bentuk (shurah), melalui gerakan transubstansial, unsur-unsur tersebut mengalami perkembangan dan perubahan.

Gerakan transubstansial yang terjadi pada materi menuju kehancuran, sedangkan gerakan transubstansial yang terjadi pada jiwa menuju kesempurnaan. Untuk mencapai kesempurnaan jiwa ini harus dilandasi dengan akhlak. Seperti halnya diktum Ibn al-‘Arabi yang mengatakan, “Berakhlaklah dengan akhlak Allah swt”.

Oleh karena itu, sudah cukup jelas bahwa substansi makna hijrah yang dipahami dan dilakukan oleh Rasulullah saw. dan sahabat serta sumbangsih pemikiran jiwa Mulla Sadra mengantarkan sekaligus mengembalikan substansi makna hijrah ke tempat seharusnya.

Jadi, sangat disayangkan jika di era masa kini masih ada segelintir orang yang mengaku beragama dan memakai atribut Islami berlomba-lomba memproklamirkan hijrah yang seyogyiannya malah mereduksi makna hijrah itu sendiri. Maka bisa jadi apa yang mereka pahami dan lakukan merupakan pseudo hijrah. Bahkan sangat jauh dari kesan Islam yang substantif.

Baca Juga:  Bertafakur Sesaat Lebih Baik dari Ibadah Seribu Tahun
0 Shares:
You May Also Like