ZIARAH (Bagian 4)

Ya, tak dinyana tak diduga, pada suatu hari di bulan November, saya menerima undangan dari sebuah organisasi besar, Yayasan Inki untuk Riset dan Studi, untuk hadir dan menyampaikan makalah, dalam sebuah konferensi internasional di Baghdad. Di akhir Januari 2024. Hampir bertepatan dengan rencana awal saya ikut dalam perusahaan travel itu. Bukan saja semua biaya mereka tanggung, bahkan mereka pun menanggung semua biaya istri saya. Memang, saya hampir selalu bepergian bersama istri saya dalam perjalanan ke luar kota, apalagi ke luar negeri.

Saya pun bersyukur, dan bersangka baik bahwa keinginan besar saya, dan ziarah jarak jauh yang saya lakukan itu, telah membuka jalan bagi datangnya karunia Allah dari arah yang tidak terduga-duga. (Karena beberapa alasan, sebetulnya saya sempat ragu juga untuk memenuhi undangan ini. Tapi, mengenai hal ini, dan juga lebih jauh mengenai Yayasan Inky, akan saya tuliskan dalam sebuah tulisan khusus di bagian akhir seri ini).

Alhasil, pada tanggal yang telah ditetapkan, saya bersama istri berangkat ke Baghdad. Karena waktu tinggal saya di Iraq praktis hanya 4 hari (di luar masa perjalanan), sesampainya di Baghdad, kami pun tak menghabiskan waktu. Kami sampai dini hari (sebelum Subuh) di Baghdad. Sementara saya sendiri sama sekali tak tidur di pesawat. Sempat juga mencoba tidur di hotel, tapi sama sekali jauh dari nyenyak. Sehingga, sepagi kira-kira pukul 11 di hari pertama itu saya dan istri sudah menunggu taksi di hotel untuk berziarah ke beberapa tempat, kali ini di Baghdad. Saya menyewa taksi selama 5 jam, untuk menuntaskan ziarah di kota ini. Saat taksi datang, saya sampaikan rencana saya, dan saya serahkan kepada si supir taksi untuk mengatur rutenya, sesuai arah masing-masing obyek ziarah. Alhamdulillah, tampak si supir—namanya Murtadha—cukup menguasai jalan-jalan di Baghdad ke arah obyek-obyek ziarah itu. Maka, mulailah ziarah dengan perjalanan ke arah Kazhimayn. Kazhimayn adalah nama wilayah di Baghdad, yang merujuk kepada gelar dua orang tokoh besar dalam sejarah Islam yang dimakamkan di sana. Pertama, Sayidina Musa al-Kazhim. Dia adalah salah satu tokoh besar (imam) dari keturunan Nabi saw, putra Sayidina Ja’far al-Shadiq, saudara Sayidina Ali al-‘Uraydhi—yang makamnya di Madinah itu sempat dua kali saya ziarahi juga. Lalu, makam kedua yang terletak di tempat yang sama, adalah makam cucunya, Sayidina Muhammad al-Jawad.

Baca Juga:  Ramadan: Madrasah Spiritual Orang-Orang Beriman (Bagian 3)

Masjid al-Kazhimayn berdiri tegak dan megah, dengan ornamen kaca berbentuk sarang lebah—yang memantulkan cahaya ke seantero ruangan—dan lapisan emas di mana-mana. Ribuan orang dari berbagai negara setiap hari mengunjunginya. Dengan penuh khusyuk dan luapan cinta yang membahana. Doa-doa dan permintaan-permintaan dipanjatkan, kadang dengan suara keras, tapi lebih sering dengan suara lirih penuh tangisan dan keharuan. Menghasilkan suara mendengung seperti lebah berkerumun.

Meski sangat santun dan apolitik, Sayidina Musa harus banyak menghabiskan hidupnya di tahanan Khalifah Abbasiyah di masanya—bahkan meninggal di penjara. Maklum, pengaruh para tokoh dari keturunan Nabi saw sering dianggap sebagai ancaman bagi penguasa karena kecintaan umat Islam kepada mereka. Sayidina Musa diakui sebagai Imam ketujuh Syiah Itsna’asyariyah. Tapi, beliau juga amat dicintai kaum Sunni, antara lain karena pandangan-pandangannya yang moderat dan penuh kesantunan.

Sufi besar Syaikh Abdul Qadir Jailani (Kaylani) yang makamnya juga berdiri megah di Baghdad, dicatat dalam silsilah  keilmuan yang terpampang di masjid beliau. Bahkan, Ma’ruf al-Karkhi, yang juga saya ziarahi setelah ini, dicatat sebagai salah seorang murid langsung Sayidina Musa al-Kadhim.

Sedang Sayidina Muhammad Jawad, adalah putra Sayidina Ali Ridha bin Musa al-Kazhim—yang makamnya ada di Masyhad, Iran. Selain seorang yang terkenal dengan ketakwaan dan kedermawanannya, Sayidina Muhammad Jawad dikenal sebagai seorang yang menguasai ilmu fikih dengan kemampuan ijtihad yang luar biasa.

Ke makam Ma’ruf al-Karkhilah kemudian saya melanjutkan ziarah saya. Di lingkungan makam yang amat besar ini juga bisa ditemukan makam banyak ulama besar lain, termasuk mufasir sufi Al-Alusi dan ahli hadis Baghdad Daruquthniy.

Dari makam Ma’ruf al-Karkhi, saya pun meluncur ke makam Sirry al-Saqathi, yang bersebelahan dengan makam muridnya, Syaikh Junayd al-Baghdadi. Di area makam, yang terletak di dekat salah satu stasiun besar di Baghdad ini, juga terdapat makam Buhlul. Buhlul secara populer biasa dipanggil sebagai Bahlul. Bahkan, dalam bahasa Indonesia, dan juga dalam bahasa Arab tertentu, makna konotatif kata “bahlul” adalah “bodoh”. Padahal Bahlul adalah seorang sufi besar. Tapi, memang, seperti Abunawas (Abunuwas), Buhlul adalah seorang sufi yang menyampaikan ajaran-ajarannya dengan cerita-cerita yang sepintas seperti konyol, padahal menyimpan banyak kebijaksanaa yang dalam. Baru dari sini saya menuju tujuan terakhir prosesi ziarah hari pertama saya di Iraq, yakni

Baca Juga:  MERAYAKAN TANGAN TUHAN DALAM FILM-FILM BESUTAN MIZAN:

Masjid Imam Abu Hanifah, yang juga merupakan lokasi makam beliau. Seperti sudah banyak ditulis, Imam Besar fikih ini selalu membanggakan masa-masa beliau belajar dari Imam Ja’far al-Shadiq, dengan berkata: “Law laa sanataan, lahalaka Nu’man (Kalau bukan karena dua tahun—saya belajar dengan Imam Ja’far—sungguh Nu’man (nama kecil Imam Abu Hanifah) tidak ada apa-apanya).”

Sayang sekali, waktu tak memungkinkan saya berziarah ke makam Imam Ahmad bin Hanbal—yang juga merupakan guru Syaikh Abdul Qadir Jailani—padahal waktu ziarah sudah molor sampai hampir 6 jam. Lebih sayang lagi, saya gagal menemukan makam al-Hallaj, yang konon juga berada di Baghdad. Tadinya saya dengar makam sufi besar ini ada di area makam Ma’ruf al-Karkhi, sementara penjaga makam al-Karkhi menyatakan bahwa makam al-Hallaj ada di area makam Junayd al-Baghdadi—yang memang merupakan salah seorang guru al-Hallaj. Lagi-lagi waktulah yang menyebabkan saya gagal mengeksplorasi persoalan ini. ‘ Alaa kulli haal….

0 Shares:
You May Also Like