Al-Qur’an sebagai Sumber Pengetahuan (Bagian 2)

Habib ‘Aidrûs al-Habsy menyebutkan bahwa Allah mengajari Rasulullah saw. Al-Qur’an pertama kali tanpa perantara malaikat Jibril, dan setelah itu Allah mengajarinya melalui perantara malaikat Jibril. Hal ini dipahami dari firman-Nya: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar telah diberi Al-Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui” (QS. An-Naml (27): 6) dan “Kami akan Membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa (QS. Al-A‘lâ (87): 6) (Habib Zein bin Smith, Al-Fawâ’id al-Mukhtârah, 2008: 184).

Menurut Habib M. Quraish Shihab, Al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai “petunjuk bagi seluruh umat manusia” (hudan li an-nâs), dan Rasulullah saw. menyebutnya sebagai Ma’dubatullâh (Hidangan Ilahi). Oleh karena itu, Hidangan Ilahi ini tidak hanya menjadi pelita bagi umat Islam dalam menghadapi pelbagai persoalan hidup, tetapi juga membantu umat manusia untuk mendalami dan menghayati ajaran-ajaran Islam (Tafsir Al-Mishab, Volume 1, 2005: v).

Oleh karena itu, Syekh Muḥammad ‘Alî aṣ-Ṣâbûnî menyayangkan sebagian sikap umat Islam yang hanya mencukupkan diri dengan membaca Al-Qur’an dan memperindah langgam bacaannya tanpa menaruh perhatian untuk memahami kandungan-kandungannya. Sehingga Al-Qur’an hanya berfungsi sebagai bacaan yang enak didengar atau sebagai bacaan untuk tabarrukan semata, seperti ketika ada orang meninggal, ziarah kubur, hajatan tertentu, maupun acara resmi lainnya. Sebab, menurut Syekh ‘Alî aṣ-Ṣâbûnî, berkah paling agung dari Al-Qur’an adalah merenungi dan memahami kandungannya, mengikuti petunjuknya, ajarannya, dan bimbingannya, mengamalkan perintahnya, dan meninggalkan larangannya (At-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, 2003: 64).

Tentu, orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami Al-Qur’an secara langsung harus sadar diri dan rendah hati, yaitu memahami Al-Qur’an melalui tafsir para ulama yang memang sudah kompeten di bidangnya. Dengan demikian, mereka tidak boleh memahami Al-Qur’an seenaknya sendiri tanpa bekal keilmuan tafsir yang memadai. Selain itu, mereka tidak boleh mencukupkan diri kepada terjemahan Al-Qur’an semata, tetapi harus mengimbanginya dengan penafsiran para ulama yang terbentang luas dalam literatur keislaman terutama kitab-kitab tafsir. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian, sehingga terhindar dari kesembronoan dan keserampangan dalam memahami kalam Allah.

Baca Juga:  Makna Esensial Hijrah

Menurut Imam ‘Ali as., Al-Qur’an adalah samudra yang kedalamannya tidak bisa dicapai (Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku, 2009: 52). Syaikh al-Akbar Ibnu ‘Arabî menyebutkan bahwa seseorang boleh menyelami samudra Al-Qur’an jika memiliki kemampuan. Namun, jika dia tidak memiliki kemampuan, maka cukup baginya menelaah tafsir-tafsir para mufasir. Sebab, jika dia memaksakan diri menyelami samudra Al-Qur’an yang teramat curam itu, maka dia akan binasa (Lihat akun Instagram @nuralwala, 21/08/2021).

Menurut Imam asy-Syâfi‘î, seluruh pendapat para ulama hanyalah syarah dari sunah Nabi, dan seluruh sunah Nabi merupakan syarah dari Al-Qur’an. Beliau menyebutkan bahwa segala hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. berasal dari pemahamannya atas Al-Qur’an (Imam Nawawî al-Jâwî, Nûr aalâm, hlm. 21). Di sisi lain, beberapa ulama berpendapat bahwa setiap ayat Al-Qur’an memiliki 60 ribu pemahaman, dan bahkan masih ada makna lain yang lebih banyak lagi dari 60 ribu pemahaman tersebut (Imam al-Gazâlî, Iyâ’ Ulûm ad-Dîn, 2005: 342).

Dalam hal ini, Syekh Ibnu ‘Arabî pernah menafsirkan Al-Qur’an hingga mencapai 90 jilid, dan masih sampai pada ayat “wa ‘allamnâhu min ladunnâ ‘ilmân (dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami)” (QS. Al-Kahfi (18): 65). Namun, Syekh Ibnu ‘Arabî menumpahkan tintanya dan mematahkan penanya ketika hendak menafsirkan ayat tersebut. Menurutnya, usianya tidak akan cukup jika membahas masalah ilmu ladunnî yang tidak akan pernah habis (Fawâ’id al-Mukhtârah, hlm. 54). Wallâhu A‘lam wa A‘lâ wa Akam…

0 Shares:
You May Also Like