Pagi hari, setelah bangun dan shalat subuh bersama Raushan anakku yang kecil, merupakan hari yang paling cerah dalam rutinitas harianku. Sambil menikmati kopi, telur, dan roti, menunggu persiapan anak berangkat sekolah. Waktu yang pendek namun penuh berkah. Biasanya aku memanfaatkan waktu itu untuk wirid, mengaji, menulis, dan muhasabah.
Muhasabah atau evaluasi diri merupakan hal sangat dianjurkan. Muhasabah bisa dilakukan setiap saat, dengan cara merenungkan apa yang telah kita lakukan sebelumnya. Dalam buku karya ulama besar tentang suluk, Manazil Al-Sa’irin (stasiun-stasiun perjalanan rohani) karya Syekh Abdullah Al-Anshari, muhasabah ini termasuk dalam salah satu tingkatan perjalanan rohani sesudah taubat.
Muhasabah adalah jalan yang ditempuh untuk menunaikan perjanjian setelah taubat yang dilakukan sebelumnya. “Wahai orang-orang beriman hendaklah kamu tunaikan janjimu” (QS. Al-Ma’idah [5]: 1).
Jadi, muhasabah ini merupakan kelanjutan taubat. Setelah kita bertaubat kita merenungkan apa yang telah kita lakukan selama ini. Bahwa diri kita ini tidak dapat dipercaya karena cenderung seringkali mengajak pada keburukan.
“Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya diri ini selalu mendorong kepada keburukan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku” (QS. Yusuf [12]: 53).
Kita perlu berhati-hati atas setiap dorongan yang muncul dari diri kita. Bahwa kita telah menyia-nyiakan karunia-Nya yang demikian luas tak terbatas, setiap detik yang tercurah pada diri kita dan keluarga kita. Karunia yang terus menerus, jauh lebih banyak dari cobaan-Nya yang hanya sesaat.
Setiap detak jantung kita adalah karunia-Nya. Setiap desir aliran darah yang tak pernah berhenti sekejap pun untuk memberi nutrisi tubuh kita, adalah karunia-Nya. Setiap saat usus kita yang luar biasa, membedakan zat yang berguna untuk diambil, serta zat yang tidak berguna untuk ditolak. Setiap detik ginjal kita menyaring zat toksik dengan efektifitas yang tiada taranya. Setiap hembusan nafas kita untuk mengambil oksigen. Setiap saat indra kita dapat melihat, mendengar, mencium, merasa dan meraba, dengan keajaiban yang tiada taranya. Belum lagi karunia di luar tubuh kita yang tak terhingga jumlahnya.
Demikian luar biasa tak terhingga karunia-Nya yang menakjubkan itu, sehingga tidak mungkin dapat dituliskan. Semuanya itu merupakan karunia-Nya yang tak terkira, yang sering kita lupakan.