Sesampainya di terminal bus Madinah, saya segera menghampiri loket penjualan tiket. Saya bilang: “Dua tiket untuk Makkah”. Di luar dugaan saya, dengan acuh tak acuh si penjual minta saya menunjukkan tiket pesawat kami untuk pulang ke Indonesia. Dengan bimbang saya katakan bahwa tiket pesawat tersebut kami tinggal di Makkah. Tanpa berpikir panjang penjual mengatakan: “Kamu hanya bisa beli tiket jika bisa menunjukkan tiket pulang ke negerimu”.
Tapi, tiket kami kan ada di Makkah, terus gimana, dong? Masih dengan nada seolah tak terjadi apa-apa, si penjual berkata, “Kirim orang untuk membawa tiketmu ke sini”.
Whaaat? Siapa yang bisa saya kirim dari Makkah ke Madinah di waktu-waktu seperti ini? Bagaimana menghubungi mereka? Telepon antar kota—dulu disebut interlokal—juga bukan soal kecil. Tahun 1985, mana ada hape? Darah saya berdesir, saat mengingat bahwa esok lusa subuh kami sudah harus meninggalkan rumah paman kami di Makkah untuk berangkat ke Jeddah dan mengejar pesawat balik ke Indonesia di sana. Bagaimana mungkin? Saat itu waktu sudah menunjukkan lebih dari pukul 11 malam. Sedang saya tahu bahwa bus terakhir yang pergi ke Makkah setiap harinya adalah pukul 12 malam. Kalau pun besok ada yang bisa kami minta seseorang berangkat ke Madinah, yang kami sama sekali belum punya bayangan tentangnya, kapan dia bisa berangkat?
Perjalanan makan waktu sekitar 8 jam. Berarti bolak balik sekitar 16 jam. Plus berbagai hal lain, paling sedikit diperlukan waktu sehari penuh untuk bisa sampai lagi ke Makkah. Belum persiapan lain-lain. Jadi, sudah hampir bisa dipastikan saya akan terlambat mengejar pesawat. Dan di masa itu, entah sekarang, seseorang yang pergi haji, jika terlambat mengejar atau terpaksa mengubah jadwal pesawat, harus menunggu setidaknya 2 minggu untuk bisa mendapatkan jadwal baru. Terus kami akan ngapain selama itu?
Maka saya pun mencoba bernegosiasi. Antara lain saya sampaikan, kenapa setiap orang asing yang membeli tiket bus di terminal Makkah tak diingatkan untuk memastikan bahwa dia membawa tiket pulang ke negerinya bersamanya? Tapi, siapa saja yang tahu bagaimana cara pelayan publik melayani orang asing di Saudi Arabia, setidaknya di masa-masa itu, akan tahu betapa percumanya pekerjaan yang satu ini. Negosiasi dan pelayanan sama sekali bukan salah satu keahlian mereka.
Dengan agak kesal saya pun minta dia menunjukkan kepada saya kantor pimpinan mereka. “Untuk apa?” Katanya ketus. “Itu urusan saya,” saya jawab dengan tak kalah ketus. Dengan ogah-ogahan dia menunjuk sebuah pintu yang, rupanya, membawa ke kantor pimpinan terminal itu. Maka, tanpa berpikir panjang, saya pun bergegas menuju pintu itu dan mengetuknya. Terdengar suara dari dalam menyuruh saya masuk. Saat masuk, saya dapati seorang lelaki muda, cukup tampan dan berkulit agak gelap, duduk di balik sebuah meja besar dalam suatu ruangan yang tidak kecil juga.
Begitu mendekati mejanya, tanpa menunggu disilakan duduk—yang, berdasar pengalaman saya dengan pelayan publik di Saudi pada waktu itu, tak yakin akan dilakukan—saya nerocos menyampaikan protes kepadanya dalam bahasa Inggris. Belum selesai saya protes, laki-laki Arab itu memotong saya, dengan bahasa Inggris yang baik: “Sebentar, Anda orang mana?” Saya jawab, orang Indonesia.
Segera saja dia bilang: “Impossible!“. Lho, saya orang Indonesia? “Impossible!!”, sekali lagi dia menukas. Maka saya tunjukkanlah kepadanya paspor Indonesia saya. Sekali lagi dia menyergah: “Impossible!” Sampai di situ saya mulai sadar. Bukankah wajah saya adalah wajah Arab asli, yang tak mirip dengan wajah orang-orang Indonesia asli?
Menyadari itu saya pun mengatakan: “Kakek saya adalah pendatang ke Indonesia dari Hadhramaut.” Mendengar itu tiba-tba dia berkata dengan penuh kehangatan: “Ahlan, wa sahlan, wa marhaban! “Apakah Anda sendirian?” Saya bilang ada istri saya di luar. Dia pun meminta saya memanggil istri saya untuk ikut masuk ke kantornya. Lalu, dengan penuh keramahan menyilakan kami duduk di sofa yang tersedia, dan menyuguhi kami dengan dua botol Coke dingin.
Belakangan saya ketahui bahwa laki-laki pimpinan terminal ini suka pada Indonesia. Dia pun meminta saya kembali menyampaikan permasalahan kami. Selesai saya menjelaskan, dia bilang: “Santai saja di sini. Saya akan selesaikan persoalan Anda”. Bagaimana kami bisa santai, sedang jam telah menunjukkan hampir pukul 11.45. Hanya 15 menit lagi bus terakhir akan berangkat. Saya lihat segera saja pimpinan terminal bus Madinah itu menelepon ke sana ke mari seperti meminta sesuatu. Belakangan kami tahu bahwa dia sedang mencari stiker bertuliskan “CONFIRM” yang, pada waktu itu, biasa ditempel di tiket pesawat jika jadwalnya sudah fixed.
Dia tampaknya ingin menempelkan stiker itu ke visa di paspor kami sebagai bukti bahwa kami sudah punya tiket yang confirmed. Waktu berjalan terus dan, sayangnya, tanda-tanda menunjukkan upayanya gagal. Kami ketar-ketir, sedang dia tampak mulai berpikir keras. Sementara itu saya lihat jam sudah menunjukkan pukul 11.55 malam. Waduh, tampaknya bakal kacau balau ini perjalanan pulang saya ke Indonesia. Bahkan mungkin ke Makkah. Saya hanya bisa komat-kamit membaca shalawat Nabi, andalan saya jika saya mengalami kesulitan yang pelik.
Sang laki-laki baik hati pimpinan terminal itu pun tampak terus berpikir keras. Hingga tiba-tiba dia seperti berseru kepada saya: Kemarikan paspor Anda berdua!”. Lalu dia cepat-cepat menuliskan sesuatu di paspor kami. Lalu, menelepon anak buahnya di loket untuk membawakan dua tiket bus ke Madinah. Tiket tiba, langsung dia serahkan kepada kami, dan kami bayar di tempat itu juga. Segera dia pun mengembalikan paspor kepada kami sambil berkata:
“Nanti jika di perbatasan ada pemeriksaan dan Anda diminta menunjukkan tiket pesawat pulang ke Indonesia, katakan saja: ‘Musajjil‘ (tercatat di paspor). Dan jangan bilang kalau saya yang menuliskan. Jika Anda bilang saya yang menuliskannya, besok saya akan dipecat”. Lalu, dia menyuruh kami cepat-cepat mengejar bus. Sambil bergegas kami menyampaikan terima kasih dan menuliskan nomer telepon yang bisa dia hubungi jika dia berkunjung ke Indonesia. Dengan ramah dia menyambut tawaran kami. “In sya’ Allah“.
Kami berdua pun dengan setengah berlari keluar ke terminal dan mencari bus kami. Setelah naik dan mendapatkan nomor kursi kami, sambil agak terengah-engah, kami tempelkan bokong kami ke kursi bus. Dan, tepat pada saat itu, bus beranjak bergerak meninggalkan terminal Madinah. Persis pukul 12 malam!
Tapi, ketegangan belum habis. Benar saja, di perbatasan Madinah bus dicegat untuk pemeriksaan. Sampai giliran paspor kami diperiksa, dan polisi meminta saya menunjukkan tiket pesawat kami. Saya katakan, persis seperti yang diajarkan laki-laki Arab pimpinan terminal yang baik hati itu: “Musajjil“. Si polisi bingung sejenak, membuka-buka halaman paspor, lalu menyerahkan kembali paspor kepada kami, tanpa bertanya-tanya lagi….
Demikianlah, kami selamat dari kekacauan. Hingga esok subuhnya kami berangkat pulang ke tanah air melaui Jeddah dengan flight seperti yang telah direncanakan semula. Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin. Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad. (Habis)