Konsep Kenabian dalam Pandangan Abu Bakar al-Razi

Rhazes, demikian nama Latin yang digunakan di kalangan intelektual Barat dalam menyebut nama al-Razi. Lahir di permulaan paruh kedua dari abad ke-9 M, di Rayy Persia, sebuah kota tua di mana pada masa silam dikenal sebagai Rhogee, dekat kota Teheran republik Islam Iran saat ini. Di Barat, al-Razi lebih dikenal sebagai dokter, ahli kimia dibandingkan sebagai filsuf, apalagi sebagai agamawan layaknya, al-Kindi dan al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan filsuf lainnya.

Nama al-Razi sepanjang sejarah peradaban pemikiran intelektuali Islam begitu populer. Paling tidak, ada beberapa nama tokoh yang dipanggil al-Razi, seperti Abu Hatim al-Razi (811-890 M), Fakhruddin al-Razi (1149-1210) dan Najmuddin al-Razi (1177-1256 M). Oleh karena itu, para intelektual Muslim memberikan pembedaan pada al-Razi yang dikenal sebagai saintis sekaligus filsuf daripada tokoh yang lain, dengan menambah sebutan Abu Bakar sebagai gelarnya.

Secara sosio-kultural, al-Razi hidup di masa puncak keemasan Dinasti Abbbasiyah. Dalam banyak literatur kajian filsafat Islam modern dan kontemporer, potret, kiprah, gagasan dan pemikiran al-Razi diletakan setelah al-Kindi. Hal semacam ini mengindikasikan, bahwa al-Razi merupakan salah satu filsuf Islam Paripatetik yang sangat penting dan memiliki pengaruh besar dalam khazanah intelektual Islam, khususnya dalam bidang kedokteran dan kimia.

Dalam Islamic Philosophy and Theology: an Extended Survey (1985), karya W. Montgomery Watt, menarasikan, bahwa al-Razi tumbuh berkembang dalam peradaban hellenisme Islam awal sekitar 750-950, di mana kemungkinan besar al-Razi pernah berguru pada menerjemah ulung, Hunayn bin Ishaq (809-873), seorang Kristen Nestorian dari Hira yang dikenal sebagai penerjemah pertama yang paling terkenal dan guru ilmu kedokteran serta dokter istana kala itu.

Di kalangan masyarakat menengah ke bawah, al-Razi dikenal sebagai dokter yang sangat dermawan, penuh kasih sayang pada setiap pasien-pasiennya. Bahkan, juga dikenal sebagai dokter yang suka memberikan pengobatan gratis pada orang-orang miskin. Karyanya yang terkenal al-Hawi Fi al-Thibb, merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Latin dengan judul Continens dan menjadi buku wajib di kalangan kedokteran di Eropa hingga abad ke-17 M. Al-Thibb al-Mansur, terdiri dari 10 jilid, juga diterjemahkan dalam bahasa Latin dan juga menjadi buku wajib di abad ke-17 M. Kitab Sirr al-Asrar, berisi tentang ilmu kimia diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Geard Fo Gremon.

Baca Juga:  RELIGIUSITAS CUMA GEJALA NEUROLOGIS ATAU MALAH NEUROTIK BELAKA? Mari Menjadi Peneliti yang Lebih Berhati-hati

Dalam banyak hal, pemikiran al-Razi, jauh berbeda dengan para filsuf seperti al-Kindi, al-Farabi atau filsuf lainnya. Gagasan dan pemikirannya yang banyak mengundang polemik ialah terkait konsep kenabian. Bagi al-Razi, keteraturan alam tak membutuhkan seorang pemimpin seperti Nabi, cukup akal saja. Sebab setiap individu dari manusia bisa memberikan keteraturan dalam kehidupan. Akal merupakan anugrah terbesar dari Tuhan untuk manusia. Baginya, akal dapat membantu manusia bisa membedakan baik dan buruk, bisa mendapat manfaatkan sebanyak mungkin dan bisa memberikan informasi  bagi manusia.

Konsep kenabian tersebut oleh al-Razi dinarasikan dalam dua karyanya, Makhariq al-Anbiya au Hail al-Mutanabbi’in (Keluarbiasaan Para Nabi atau Tipu Daya Orang-Orang yang Mengaku Nabi), dan Naqdal al-Adyan awfi al-Nubuwwah (Kritik terhadap Agama atau Kritik terhadap Teori-Teori Kenabian), di mana oleh sanitis sekaligus filsuf al-Biruni ditempatkan sebagai orang kafir.

Terlepas dari sikap al-Biruni ini, al-Razi menarasikan bahwa seorang Nabi tidak memiliki hak untuk mengklaim diri sebagai seorang yang memiliki keistimewaan khusus. Karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama, dan fitrah yang sama pula. Perbedaan antara satu dengan lainnya disebabkan pengembangan potensi dilakukan oleh setiap individu. Sarah Stroumsa dalam, Para Pemikir Bebas Islam: Mengenal Pemikiran Teologi Ibn ar-Rawandi dan Abu Bakr ar-Razi (2013), menepatkannya sebagai tokoh liberal pertama dalam hal teologi Islam.

Pada dasarnya, konsep kenabian al-Razi ini tak memberikan pengaruh bahwa ia benar-benar menolak Islam dan ajaran-ajarannya. Sebab pada dasarnya al-Razi sendiri tetap seorang filsuf Islam yang bertuhan dan menyembah Allah, hanya saja al-Razi “menolak” konsep kenabian. Karena dalam pandangannya, konsep kenabian telah melahirkan kemalasan yang berujung pada keengganan untuk berusaha dan bekerja keras. Pandangannya ini dianggap sebagai kritik terhadap kebiasaan umat Islam yang salah kaprah dalam memahami dan mempersepsikan ajaran Nabi dengan mengagungkan syafaat Nabi, bukan kritik pada Nabi.

Baca Juga:  Transformasi Insan Menurut Mulla Sadra: Membaca Konsep Dasar Insan Kamil Hikmah Muta’aliyah

Kalau dicermati dan dipahami, pandangan al-Razi ini secara sosio-kultural keagamaan di mana saat ia hidup sedang berkembang pemikiran teologi Mu’tazilah, yang lebih banyak keterpengaruhan pada filsafat Platonisme. Sebagaiamana kita diketahui dalam catatan sejarah, teologi Mu’tazilah sudah lazim dikenal sebagai aliran teologi yang lebih mendahulukan penggunaan akal daripada wahyu. Sedangkan al-Razi sendiri secara teologis menganut paham rasionalisme murni. Pengagungan terhadap akal yang dilakukan al-Razi sebagai filsuf mengakibatkan reputasinya tercoreng oleh tuduhan lawan-lawannya, seperti kemurtadan dan kesesatan, serta mengingkari eksistensi Nabi.

Terkait al-Razi ini, dalam buku Harun Nasution berjudul, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, menarasikan “al-Razi adalah filsuf yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun itu bertentangan dengan faham yang dianut umat Islam, yaitu (1), tidak percaya pada wahyu, (2), Al-Qur’an bukan mukjizat, (3), tidak percaya pada Nabi-Nabi, (4), adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan. Tetapi sungguhpun demikian namanya tercantum di antara pemikir-pemikir Islam lain dalam Tarikh Hukuma’ al-Islam, karangan Zahir al-Din al-Baihaqi. Bahkan di dalam Tabaqat al-Umam karangan Abu al-Qasim Sa’id Ibn Ahmad al-Andalusi, ia disebut dokter umat Islam yang tiada tandingannya (halaman 25).”

Tentu, pernyataan Harun Nasution ini, bisa salah, dan juga bisa benar. Harun Nasution sendiri menulis pernyataan tersebut sebelum membaca atau menemukan karya-karya asli al-Razi. Misalnya, Harun Nasution dalam Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (1985), seakan-akan merevisi dan mengakui serta berpesan setelah membaca karyanya, al-Thibb al-Ruhani dan karya lainnya, jika ingin menulis tentang al-Razi, agar langsung pada karya-karya al-Razi. Sebab yang ada dalam karyanya, atau pembukaan dalam karyanya anjuran untuk bersholawat pada Nabi sebagai penghormatan.

Baca Juga:  Adakah Orang Tua yang Durhaka?
0 Shares:
You May Also Like