Adakah Orang Tua yang Durhaka?

Oleh: M. Khusnun Niam

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni IAIN Pekalongan

Setiap orang tua lazim menginginkan anaknya lebih sukses dari dirinya. Hal ini merupakan harapan yang normal dicita-citakan setiap orang tua ketika memiliki anak. Bagi mayoritas orang tua, kesuksesan anak adalah tujuan utama; sukses di dunia dan sukses di akhirat. Namun, tidak sedikit yang menyepelekan ihwal akhirat, meskipun dibungkus ungkapan sedemikian rupa; sukses akhirat. Pun tidak sedikit juga yang memprioritaskan akhirat; sedikit-dikit akhirat dan lain-lain. Akhirnya, mempengaruhi tumbuh kembang anak dalam memahami tekstualitas dan kontekstualitas yang melingkupinya. Keluarga adalah lembaga penting bagi anak, khususnya orangtua. Oleh sebab itu, secara prinsipil, keluarga memiliki kontribusi besar pada terbentuknya individu baru dalam masyarakat melalui pengetahuan dan tindakannya.

Keluarga dan orang tua adalah faktor penting dalam reproduksi pengetahuan anak; dari persoalan agama hingga harmonisme kasih sayang. Dalam hal ini orang tua; ayah dan ibu dari seorang anak memiliki tanggung jawab besar. Dalam tulisan ini memfokuskan pada tanggung jawab menafkahi. Tentu, orang tua memiliki kewajiban menafkahi anaknya yaitu nafkah jasmani dan nafkah rohani. Nafkah jasmani ialah makanan dan beberapa kebutuhan yang normal, nafkah rohani ialah ilmu. Jika 2 hal ini disepelekan dan diremehkan tanpa aktualisasi yang jelas, maka boleh jadi ‘orang tua yang durhaka’ pada anak adalah sesuatu yang logis. Sayangnya, konsep ‘orang tua durhaka pada anak’ selalu terpinggirkan dengan pertanyaan nurani wujud keheranan ‘apa benar orang tua durhaka itu ada? Bukankah, yang durhaka itu anak pada orang tua ya?

Eksistensi keheranan merupakan bentuk kenormalan individu yang telah menormalisasikan dan melanggengkan konstruksi epistemologis ihwal ‘anak yang durhaka’. Akibatnya, terciptalah individu yang minim kritisisasi dalam agama dan minim logika dalam bertuhan. Artinya, individu cenderung menjadi korban doktrin tanpa penalaran, khususnya dalam penetapan konsep bertuhan. Segala hal dinilai dari ‘katanya’, bukan dari penemuan argumentasi dirinya dalam memaknai suatu perkara. Alhasil, terbentuklah individu yang ‘mamang’ dalam beragama. Bahkan, boleh jadi menciptakan individu yang banyak merugikan agama hingga sesama manusia.

Baca Juga:  Agama dan Kebudayaan Indonesia dalam Tinjauan Clittford Geertz

Adapun faktanya dalam lapangan yang merupakan bukti dari hasil manifestasi kegagalan ‘reproduksi epistemologi agama’ ialah lahirnya ‘oknum-oknum’ baru yang tidak mengindahkan eksistensi agama dan cenderung menetapkan klaim kebenaran mutlak pada ‘pemahaman dirinya dan kelompok yang dianutnya’. Tentu, sangat merugikan banyak pihak. Bagaimana tidak, konsep kebenaran mutlak jika diterapkan oleh individu dalam beragama tanpa melalui dialektika sehat kritis; akan berdampak buruk pada nilai-nilai humanis dalam agama hingga memperburuk sekaligus mengacaukan pesan yang terkandung dalam agama yang dianutnya. Sebab, selain menciptakan kader baru dari keluarganya melalui doktrin fatalistik, eksistensi oknum ini meresahkan perdamaian sebagai upaya manusia menerima dan ikhlas terhadap kuasa Tuhan dalam menciptakan perbedaan layaknya pelangi. Tentu sangat bermasalah dan tidak logis, jika hal demikian terjadi, akan sangat merugikan. Bagaimanapun, esensi agama dan ruh ketuhanan dalam ajaran, menyimpan ruang humanis yang besar juga luas, dan patut dikutip untuk diimplementasikan.

Oleh karena itu, hadirnya ‘oknum-oknum’ yang fatal dalam memahami agama, boleh jadi merupakan hasil didikan orang tua, guru hingga teman pergaulannya. Dalam ranah tanggungjawab menafkahi ilmu, orang tua idealnya ikut serta berperan dalam membentuk individu melalui nafkah rohani yakni ilmu. Jika sekiranya tidak mampu mendidik dengan ilmu, akan lebih baik menitipkan anaknya pada orang yang berilmu—inipun harus jelas rekam jejak dan kompetensinya yang teruji. Jika meremehkan atau sengaja mengajarkan keyakinannya yang dianggapnya benar seperti klaim kebenaran dan budaya melabeli, menghukumi hingga menyiksa orang lain, tentu hal demikian merupakan wujud ‘orang tua durhaka pada anak’. Sebab, setiap anak berpotensi menemukan fitrahnya sebagai hamba kepada yang Esa. Keesahan penghambaan tidak cukup sebatas doktrin, melainkan penalaran hingga penerapan manifestasinya. Maka, jika terdapat ‘anak’ yang kemudian menjadi ‘oknum’, boleh jadi di situ terdapat ‘orangt ua yang durhaka pada anaknya’.

Baca Juga:  PANDANGAN-DUNIA AGAMA DAN TUHAN YANG TOTALITARIANISTIK

Sebagaimana yang terjadi pada ISIS, tentunya mereka mengajari anak-anaknya untuk mengikuti jejak mereka dengan didoktrin ihwal jihad dan surga. Adapun yang lain ialah kelompok yang memutlakkan kebenaran kemudian mengajarkan anaknya tentang keyakinannya melalui doktrin dan mengenalkannya pada guru-guru yang dianggapnya benar hingga berdampak pada terbentuknya individu yang anarkis dan mengenal perdamaian hanya terbatas pada kebahagiaan kelompoknya. Hal ini merupakan wujud ‘orang tua yang durhaka pada anak’. Pun dengan orang-orang di luar Islam, tentunya cenderung menyuntikkan doktrin secara berlebihan pada anak hingga anak tidak dapat berpikir liar dan logis karena terbatas oleh doktrin itu.

Maka, penting untuk menemukan agama melalui jalan kelogisan, khususnya ihwal ketuhanan. Jika saja reproduksi pengetahuan agama ihwal ketuhanan terkonsep logis dalam temuan pikiran kritis secara individual; bukan sebatas taklid, dan kemudian memiliki argumen yang kokoh juga kuat bahkan bisa dibuktikan secara kritis dalam dialektika dengan siapapun. Tentunya, penalaran tersebut dapat diterima oleh setiap kelompok yang dapat berpikir kritis dan sehat. Dengan dasar bahwa dalam agama diajarkan sisi humanis yang sebenarnya terkandung dalam pesan-pesan ketuhanan. Pesan-pesan tersebut kemudian diwujudkan dalam kandungan yang dirisalahkan kepada utusan-Nya, untuk dibumikan kepada manusia sesuai perintah-Nya.

0 Shares:
You May Also Like