Islam dan Rasionalitas: Konstruksi Masyarakat Ideal
Oleh: Muhammad Reza, S.sos, M.A
Dosen Universitas Ibnu Chaldun (UIC) dan Penulis Buku Keberislaman Zaman Now
Di dalam Islam, posisi rasionalitas sering menuai perdebatan. Sebagian masyarakat menilai penggunaaan rasio di dalam beragama sangat berbahaya karena dianggap dapat menjerumuskan umat kepada segala bentuk penolakan terhadap nilai-nilai sakralisme simbol keagamaan. Stigma buruk yang ditimpahkan kepada akal dan rasionalitas tersebut, nampaknya cukup berhasil mempengaruhi cara berfikir kebanyakan kita umat Islam. “Jangan dekati agama pakai akal, dekatilah dengan hati”, ucapnya. Hal ini seakan sudah menjadi stereotip dan pandangan umum di tengah masyarakat Muslim.
Padahal sebagaimana diketahui, rasionalitas mempunyai basis teks di dalam Al-Qur’an, banyak ayat-ayat yang menegaskan terkait betapa pentingnya rasionalitas. Sebut saja afala ta’qilun (menggunakan akalmu), afala tatafakarun (memikirkan), bahkan merupakan ijma para ulama bahwa ayat yang pertama kali turun adalah Iqra (membaca), yang bisa jadi memiliki makna lebih dari sekedar membaca, tapi memahami dan mendalami. Oleh karena itu, di dalam kajian epistemologi Islam yang dirumuskan oleh Muhammad Abed Al Jabiri, terdapat istilah burhani (pendekatan rasio), sebuah perangkat atau metode dalam menyimpulkan suatu hukum, di samping bayani (pendekatan teks) dan irfani (pendekatan intuisi). Namun secara faktual, basis burhani/rasio tak cukup mendapatkan tempat di dalam retorika keagamaan kita. Narasi-narasi kontra rasio pun menghegemonik keilmuan dengan bermacam asumsi yang bersifat reduktifikasi terhadap semangat rasionalitas.
Persoalan ini semestinya menjadi perhatian serius bagi kaum cendikiawan, karena di depan sana banyak tantangan besar yang harus dihadapi. Tanpa bekal rasionalitas yang mapan, umat akan gagap menghadapi gelombang globalisasi, teknologi dan modernisme. bahkan tak menutup kemungkinan, agama ini hanya dipandang sebagai sebuah warisan mitologi karena muatannya yang tak logis dan tak sesuai dengan perkembangan zaman, dan secara politis sangat rentan disusupi oleh kepentingan tertentu.
Sebenarnya, upaya memperkenalkan Islam dengan wajah rasionalitas sudah dilakukan oleh sebagian sarjana Muslim Indonesia, sebut saja Nurcholis Majid, Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo atau para pembaharu lainnya. Namun gagasan mereka tampak sulit diserap oleh kalangan grassroot, tentu ada beragam faktor kompleks yang melatarbelakanginya. Pada posisi lain, sebagian agamawan terlihat tidak pernah secara serius atau bahkan terkesan menghindari untuk menggunakan perangkat rasionalitas/burhani, sehingga tak heran bila kebanyakan orientalis secara membabi buta memberikan stigma tendesius terhadap Islam sebagai kumpulan dogma minus akal.
Tampak anomali memang, ketika Islam justru menjadi paradigma yang antagonistik terhadap semangat modernisasi. Cara pandang ini pun kadang dibungkus dengan beragam argumentasi teologis, bahkan tak jarang pendekatan tasawuf pun digunakan demi mendelegitimasi peran akal di dalam beragama. Melihat kenyataan ini, dekonstruksi pemahaman secara fundamental perlu digalakkan agar umat Islam tidak memandang akal dengan kacamata dikotomis, vis to vis dengan agama.
Lalu, bagaimana mentranformasikan gagasan tersebut pada tataran praktis? Hal yang paling mungkin dilakukan adalah pengupayaan secara bertahap dengan menggalakan ilmu-ilmu logika dan filsafat pada lembaga-lembaga keagamaan, tentu disesuaikan dengan kapasitas si murid. Hal ini dapat dimulai dari kurikulum yang berbasis metodologis sampai kepada penggunaan rasio secara demonstratif melalui pola-pola aplikatif. Untuk sampai pada tahap tersebut, dibutuhkan sumber daya intelektual yang mapan dari para tenaga pengajar. Mesti hal ini tidak mudah dan mungkin terkesan terlalu mengsimplikasikan permasalahan, terlebih ini juga terkait dengan kebijakan dan birokrasi yang kompleks, namun setidaknya gagasan ini dapat dijadikan proyeksi kedepan dalam upaya menyegarkan keberagamaan kita dan membangkitkan ghirah keilmuan agar siap dalam menghadapi berbagai tantangan kedepan. Selain itu, secara sosiologis, upaya tersebut dimaksudkan guna menghindari konflik horizontal di antara umat beragama atau bahkan di intra Islam sendiri, dari politisasi ayat, fenomena pengkafiran dan segala macam bentuk provokasi atas nama agama yang belakangan ini berkembang cukup masif.
Dengan demikian, dapat dilihat betapa pentingnya penggunaan rasionalitas di dalam keberagamaan kita, hal ini memiliki konsekuensi langsung secara sosial maupun politik pada kehidupan berbangsa. Rasionalitas bersumber dari akal murni yang juga merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri, di samping kitab suci Al Qur’an. Tanpa penghargaan terhadap akal, rasanya agama tak lebih kumpulan mantra-mantra tak bernyawa.
Konstruksi Masyarakat Ideal
Dalam kaitannya dengan masyarakat ideal, Islam harus dilihat dari empat aspek. Pertama aspek intelektual yang berbasis akal dan filsafat sebagaimana yang sudah dijelaskan di awal. Namun rasionalitas saja tidak cukup, perlu perangkat-perangkat lain untuk menunjangnya, yaitu aspek spiritual yang berbasis tasawuf atau ritual-ritual keagamaan, aspek budaya yang berbasis humanisme dan aspek ideologis.
Aspek spiritual: aspek ini pada umumnya menyentuh pada wilayah batiniah, hati dan cinta. Dari sini akan lahir pribadi-pribadi yang lembut, dewasa, tidak emosional dan santun. Watak seperti ini amat diperlukan dalam membantu membangun sebuah peradaban. Selain itu, Aspek ini sangat menghargai nilai-nilai tradisional (sakralism). Inilah yang menjaga keseimbangan terhadap kekeringan rasionalisme dan modernisasi. Thomas Merton, dalam bukunya Mysticism in the Nuclear Age, berkata: “Anda tidak dapat mendatangkan kedamaian tanpa disertai amal saleh. Anda tidak dapat memperoleh tatanan sosial tanpa kehadiran kaum mistik, orang-orang suci”.
Aspek Budaya: Tak dapat dihindarkan bahwa yang menjadi ke-khasan Islam Indonesia adalah singkretisme, di sini agama dapat berbaur dengan nilai-nilai budaya setempat. Karena Islam bukan hanya sekedar agama, tapi juga sebuah peradaban. Dalam sejarah, Islam sangat mengapresiasi segala bentuk budaya selama itu tidak melanggar hukum Syar’i. Melalui aspek ini, Islam dapat berinteraksi dengan beragam budaya sekaligus menegaskan universalitas Islam.
Aspek Ideologis: Aspek ini sebenarnya cukup rentan yang dapat menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Namun untuk menciptakan sebuah peradaban besar, diperlukan manusia-manusia yang mempunyai komitmen kuat dan dari sini akan melahirkan sebuah militansi. Maka bisa dikatakan bahwa kebutuhan terhadap aspek ideologi merupakan suatu keharusan. Tanpa aspek tersebut, orang sangat rentan bersikap opurtunistik dan pragmatis. Tidak mungkin sebuah peradaban dapat gemilang tanpa jiwa-jiwa militan yang siap untuk berkorban. Selain itu, Perjuangan berbasis massa akan sulit dilakukan tanpa ideologi yang mampu menjembatani persepsi masing-masing individu, sehingga memunculkan persepsi tunggal yang merupakan basis dari perjuangan. Ketidakjelasan ideologi akan membuat perjuangan tercerai-berai serta tidak berpola. Seperti apa yang dikatakan oleh Ali Syariati bahwa ideologi adalah sarana dominan untuk perubahan sosial.
Keempat aspek di atas dirasa dapat melahirkan sebuah tatanan sosial masyarakat yang ideal. Masyarakat yang bijak dalam menghadapi perbedaan di tengah umat yang majemuk, masyarakat yang mengapresiasi rasionalitas sebagai dasar berpikir dan tidak tertutup dengan segala kemajuan, sembari tetap menghargai nilai-nilai budaya dan merasa perlu menjaga kelestarian tradisi. Masyarakat yang siap berjuang dan berkorban demi bangsa, agama serta isu-isu keadilan. Memiliki jiwa militansi yang didasarkan pada kesadaran, bukan militansi dicecoki/sumbu pendek yang bergerak karena ketidaktahuan dan kepolosan sehingga mudah dijadikan alat kepentingan politik tertentu.