Pancasila dalam Dimensi Praxis: Menyelami Samudera Kebajikan

Oleh: Cusdiawan

Mahasiswa Pascasarjana FISIP Unpad

Riwayat Buku  

Judul Buku       : Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan

Penulis             : Yudi Latif

Penerbit           : Mizan

Tahun Terbit   : 2016 (Cetakan ke-3)

Jumlah Hlm     : xxii+650

ISBN               : 978-979-433-830-8

 

Saya tidak ragu menyebut Pancasila, sebagai kerangka konsepsi, merupakan ideologi tersempurna yang mempertemukan (sintesis) berbagai macam pemikiran besar dunia yang  didialogkan dengan nilai-nilai lokalitas di bumi Nusantara.

Namun, ketika duduk di sekolah menengah hingga awal masuk perguruan tinggi, yang selalu mengganjal pikiran saya, saking sempurnanya Pancasila, adakah yang benar-benar dapat dikatakan pancasilais? Bahkan pernah terbesit dalam benak saya “Pancasila itu terlalu sempurna untuk bangsa Indonesia”.

Saya rasa, pertanyaan dan simpulan saya yang terlalu dini tersebut, tidak bisa dilepaskan karena masih begitu lebarnya das sollen dan das sein dari penerapan Pancasila itu sendiri. Di samping itu, pertanyaan dan kesimpulan tersebut tidak bisa dilepaskan karena saya hidup dan tumbuh dewasa ketika bangsa kita mengalami “krisis keteladanan” terhadap apa yang disebut sebagai sosok Pancasilais.

Selain itu—kesimpulan saya yang terlalu dini tersebut—dikarenakan juga minimnya literatur yang membahas Pancasila dalam dimensi tindakan secara khusus. Seperti yang kita ketahui, kebanyakan buku yang membahas Pancasila hanya mengupas Pancasila sebagai tuntunan normatif kehidupan bangsa dan negara. Padahal, problem mendasar Pancasila yakni bagaimana Pancasila hanya diperlakukan sebagai “wacana” tapi tidak dijadikan sebagai praxis. Pancasila lebih banyak dijadikan sebagai retorika politik dan sebagainya. Dengan kata lain, seperti yang diungkapkan Yudi Latif, “Terlalu surplus ucapan dan terlalu minus tindakan”.

Oleh sebab itu, buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan yang ditulis oleh Yudi Latif merupakan buku yang sangat penting dalam diskursus Pancasila, karena dapat mengisi minimnya atau kosongnya literatur yang membahas secara khusus Pancasila dalam dimensi tindakan.

Baca Juga:  Tilik Buku Ibn Rusyd: Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam

Selain itu, buku tersebut dapat menyadarkan saya, bahwa di satu sisi, memang tidak mudah untuk mencari sosok Pancasilais yang sempurna, karena tiap manusia mempunyai sisi negatifnya. Akan tetapi, di sisi lain, buku tersebut mampu menggambarkan bahwa usaha untuk mempraktikan nilai-nilai kebajikan Pancasila itu nyata adanya dalam sejarah kebangsaan kita.

Pada Bab I, Yudi Latif membahas mengenai “Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Ketuhanan”. Pada bagian tersebut, Yudi menuturkan kisah, bagaimana seorang Prawoto Mangkusasmito, yang merupakan tokoh Masyumi, pada akhir dekade 1950-an belum mempunyai rumah. Saat itu, situasi perpolitikan Indonesia tengah dihadapkan pada debat Konstituante menyangkut dasar negara. Hal yang menarik, Kasimo (Ketua Partai Katolik) yang meskipun sikap politiknya berbeda dengan Prawoto, dengan rasa kasihnya, justru membantu Prawoto untuk membeli sebuah rumah.

Bagi Yudi Latif, kisah persaudaraan dengan kerelaan gotong royong yang melibatkan dua tokoh dengan corak keagamaan dan politik yang berbeda itu secara gamblang menggambarkan semangat ketuhanan yang berperikemanusiaan. Semangat ketuhanan yang penuh kasih sayang, lapang, dan toleran, berlomba-lomba dalam kebaikan (hlm.2).

Soekarno pernah mengatakan ketuhanan tanpa “egoisme agama” sebagai “ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang menghormati satu sama lain” (hlm.3). Bagi saya, sosok seperti Gus Dur pun perlu dikedepankan sebagai teladan dalam soal pengalaman ketuhanan yang sesuai dengan kebajikan dalam Pancasila. Dalam bukunya Islamku, Islam Anda dan Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (2006), Gus Dur bahkan menekankan pentingnya membangun dialog antar-agama untuk bekerjasama guna mewujudkan kehidupan baik bersama.

Pada Bab dua, Yudi Latif menjelaskan mengenai “Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Kemanusiaan”. Bab tersebut dibuka dengan cerita seorang Otto Iskandar Di Nata yang memperjuangkan harkat kemanusiaan kaum terjajah. Dengan keberaniannya yang luar biasa, Otto melakukan kritik yang tajam terhadap segala praktik ketidakadilan yang menimpa kalangan bawah (hlm 128-130).

Baca Juga:  Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat: Duka bagi Mereka yang Tersisihkan

Dari tindak-tanduk seorang Otto Iskandar, kita bisa belajar mengenai semangat perikemanusiaan yang adil dan beradab. Bahwa kehidupan manusia tidak bisa berjalan sehat dan lestari tanpa kesediaan hidup bersama semesta manusia dengan rasa saling mencintai. Hidup bersama dengan cinta berarti harus menghargai setiap orang dengan menjungjung tinggi hak-hak asasinya dengan menegakkan kemerdekaan, perdamaian dunia, keadilan dan keadaban (hlm.130).

Pada Bab tiga, Yudi Latif memaparkan mengenai “Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Persatuan”. Dalam poin tersebut, dijelaskan bahwa cinta Tanah Air sebagai manifestasi semangat kebangsaan Indonesia harus mampu merangkai satu kesatuan dalam keragaman, serta kebaruan dalam kesilaman tradisi Indonesia. Oleh sebab itu, modal sosial sangat diperlukan untuk merawat dan mengembangkan persatuan Indonesia (hlm.256).

Yudi Latif pun membuka bab tersebut dengan memaparkan mengenai kisah Dewi Dja, yang merupakan potret kecil kecintaan dan kebanggan seseorang pada Tanah Airnya. Tanah Air yang molek, yang dilukiskan oleh Edward Douwes Dekker (Multatuli) “laksana sabuk untaian zamrud yang melilit khatulistiwa” (hlm.258).

Saya rasa poin penting dalam pengamalan sila ketiga ini, yakni mengutamakan kepentingan umum guna mewujudkan kehidupan baik bersama, dibandingkan kepentingan primordial atau pribadi semata.

Pada Bab empat, Yudi Latif memaparkan mengenai “Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Kerakyatan”. Dalam bab tersebut, Yudi memaparkan mengenai seorang Ki Hadjar Dewantara, yang seluruh jejak langkah perjuangannya mencerminkan empatinya kepada wong cilik, penghormatannya terhadap martabat dan kesederajatan manusia, serta kegigihannya memperjuangkan daulat rakyat dengan semangat kekeluargaan yang terpimpin dalam suasana pergaulan hidup yang saling mengasihi dan bertanggung jawab (hlm.361).

Penting untuk dipahami, bahwa sila keempat Pancasila sendiri mengandung paham demokrasi dengan cita kerakyatan, cita permusyawaratan perwakilan, cita kepemimpinan hikmat-kebijaksanaan, serta cita pertanggungjawaban publik demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan (hlm.361).

Baca Juga:  Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik dengan Kritis

Pada Bab lima, Yudi Latif menguraikan mengenai “Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Keadilan”. Bab tersebut, dibuka dengan kisah seorang dokter, yakni Johannes Leimina, putra Ambon yang juga seorang Kristiani. Tercatat, Leimina pernah menjabat menteri (termasuk menteri muda, wakil menteri, dan wakil Perdana Menteri) dalam 18 kabinet yang berbeda.

Singkat cerita, Leimina digambarkan sebagai sosok yang mempunyai komitmen kuat dan berintegritas dalam kemanusiaan dan kesejahteraan sosial. Jejak langkah Dokter Leimana merupakan contoh excellent dari penjelmaan tiga peran sosial dalam mewujudkan keadilan sosial: peran penyelenggara negara, peran pasar/pelaku usaha (sebagai dokter dan pemegang merek “Salep Leimina”), dan peran sebagai masyarakat sipil (sejak aktivis mahasiswa) yang secara bergotong royong menghadirkan kesejahteraan sosial (hlm.480-483).

Penting untuk menjadi catatan, mengutip Driyarkara, Yudi latif menulis “keadilan sosial sendiri merupakan perwujudkan khusus dari nilai-nilai perikemanusiaan yang terkait dengan semangat welas asih antarsesama dalam usaha manusia memenuhi kebutuhan jasmaniah” (hlm.483).

Sebagai penutup, tentu tidak semua kisah kebajikan dimensi Pancasila dalam perbuatan bisa ditulis dalam artikel ini. Bagi saya, penting kiranya untuk meninjau buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan, terlebih lagi di tengah permasalahan yang kompleks dan multidimensi yang dihadapi oleh bangsa ini, buku Yudi Latif mampu menghadirkan sebuah rasa optimisme. Karena yang ditekankan dalam buku tersebut adalah aspek afektif dan konotatif, sehingga dapat menghadirkan impresi—kesan yang menggugah penghayatan dan pengalaman. Oleh sebab itu, sangat penting diajarkan untuk generasi penerus bangsa, bahkan sejak di sekolah dasar, tentunya dengan penyesuian-penyesuian. Bagi saya, membaca buku Yudi Latif tersebut bagaikan “menyelami samudera kebajikan”.

 

0 Shares:
You May Also Like