Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan Dunia Muslim

Identitas Buku

Judul          : Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan Dunia Muslim

Penulis               : Ahmet T. Kuru

Penerbit             : KPG

Tahun Terbit      : Desember,2020.

ISBN                   : 978-602-481-517-2

Jml Hlm              : xviii + 498

Ahmet T. Kuru, seorang guru besar ilmu politik dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies di San Diego University menulis buku yang sangat menarik, karena menghadirkan tesis yang menyegarkan. Adapun buku yang dimaksud, yaitu Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan Dunia Muslim (2020).

Dalam bacaan saya, ada tiga hal yang coba dibantah oleh Kuru, pertama, yaitu tesis para sarjana Barat yang menyebut Islam adalah penyebab mengapa di masa kini dunia Muslim mengalami ketertinggalan, penuh dengan kekerasaan, dan otoritarianisme; kedua, Kuru pun mengevaluasi pandangan yang menyebut bahwa kolonialisme merupakan penyebab ketertinggalan Muslim; ketiga, ia pun membantah diskursus di kalangan Muslim itu sendiri yang dikembangkan oleh para islamis yang menyebut kemajuan peradaban Islam di masa lalu karena ortodoksi Islam (Sunni).

Kemajuan Dunia Muslim pada Awal Sejarah Islam

Untuk soal pertama, Kuru mengacu pada masa awal Islam, sekitar abad 8, kemudian abad 9-11, di mana dunia Muslim mengalami kemajuan intelektual yang luar biasa, pun kemajuan dalam bidang sosio-ekonomi. Pada masa tersebut, dunia Muslim menghasilkan ahli seperti Farabi, Biruni, Ibn Sina, serta berperan penting dalam perdagangan antar-benua. Itu artinya, dengan mendasarkan pada fakta historis tersebut, nyatanya dunia Muslim pun sangat sesuai dengan perkembangan keilmuan dan kemajuan sosio-ekonomi.

Baca Juga:  Majelis Ayat Kursi: Keseimbangan Dunia Akhirat & Moderasi Beragama

Kuru memaparkan bahwa pada masa awal sejarah Islam, kemerdekaan para sarjana Islam dari negara dan pengaruh ekonomi para pedagang memungkinkan kemerdekaan berpikir dapat dinikmati para filsuf, yang bukan hanya berlatar Sunni dan Syiah, melainkan juga orang Kristen, Yahudi, bahkan agnostik. Para filsuf didanai oleh para pedagang dan otoritas politik.

Para penguasa pun secara khusus menjadi penyandang dana penerjemahan teks-teks klasik (Yunani, Suriah, Persia Tengah, Sansekerta ke Bahasa Arab). Namun, tidak ada sekolah yang diatur negara untuk menstandarkan filsafat. Maka, patronase negara terhadap para filsuf pada awal sejarah Islam kurang berbahaya dalam pengembangan intelektual dibanding apa yang nantinya jadi patronase negara terhadap para sarjana Islam (ulama) setelah abad 11.

Dari bantahannya tersebut, Kuru kemudian menganalisis, dan ini menjadi tesis utamanya, bahwa yang sesungguhnya berperan mengapa dunia Muslim mengalami kemandekan, kemunduran, keterbelakangan dan sebagainya, karena adanya persekutuan antara “ulama dan negara”. Jadi, bukan karena doktrin Islam yang tidak compatible dengan kemajuan ataupun kemodernan. Kuru sendiri menyebut para sarjana yang memandang Islam bertanggung jawab atas keterbelakangan dunia Muslim sebagai golongan esensialis.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, selain membantah para sarjana Barat, Kuru pun membantah para Islamis, karena kemajuan Islam sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya, merupakan produk beragan kelompok dengan berbagai identitas. Dengan kalimat lain, Kuru berpendapat bahwa dunia Muslim menciptakan peradaban maju dengan menggabungkan kontribusi pendahulu mereka dan orang-orang sezamannya yang non-Muslim, serta dengan pembaharuan mereka sendiri. Dalam konteks tersebut, saya menyepakatinya, karena memang dunia Muslim menjadi sintesis dari berbagai peradaban.

Kemandekan dan Kemunduran Dunia Muslim

Adapun yang dimaksud dengan “persekutuan ulama dan negara” tersebut di latar belakangi dengan apa yang terjadi pada abad 11, di mana kebangkitan negara-negara Syiah dianggap menjadi ancaman bagi kekuasaan Abbasyiah, dan saat itu dibentuklah “ortodoksi Sunni” sebagai upaya untuk mempersatukan Muslim Sunni guna merespon ancaman dari Syiah tersebut. Pembentukan ortodoksi Sunni ini, menyebabkan terbelenggunya kebebasan berpikir, di mana mereka yang dianggap berbeda dengan akidah Sunni, termasuk aliran Syiah, Mu’tazilah, dan filsuf dinyatakan murtad, dan bahkan menghadapi ancaman hukuman mati.

Baca Juga:  Menghayati Tujuan Pendidikan Karakter di Abad ke-21

Pembentukan ortodoksi Sunni sendiri bertepatan dengan kebangkitan Ghaznawi, negara militer Sunni di Asia Tengah. Kemudian Kesultanan Seljuk (1040-1194) sebagai negara militer Sunni yang lebih kuat, yang saat itu menerapkan perluasan iqta, sistem penyerahan pajak tanah dan pajak pertanian yang sudah ada terlebih dulu. Kebijakan perluasan iqta tersebut jelas berdampak pada melemahnya kapasitas ekonomi dan posisi sosial para pedagang, yang sebelumnya berperan sebagai penyandang dana para ulama dan filsuf.

Dengan semakin melemahnya kapasitas para pedagang untuk membiayai para ulama dan filsuf, peran negara pun semakin sentral untuk membentuk atau memonopoli pengetahuan, melalui persekutuan mereka dengan ulama, dengan pembentukan sejumlah madrasah (Nizhamiyah). Realitas tersebut tentu berdampak dengan mandeknya kreativitas berpikir dalam dunia Muslim dan mandeknya pemikiran-pemikiran alternatif.

Dari abad ke-12 hingga ke-14, Kuru pun memaparkan bahwa model persekutuan negara-ulama Seljuk menyebar ke beberapa negara Sunni lainnya, seperti Andalusia, Mesir, dan Suriah, terutama Malmuk. Terlebih lagi, dengan adanya invasi tentara Salib dan Mongol yang menyebabkan mengapa persekutuan ulama dan negara semakin menyebar. Persekutuan ulama dan negara ini pun terus berlanjut dalam dunia Muslim pada abad-abad selanjutnya.

Itu artinya juga, persekutuan ulama dan negara inilah yang menjadi permasalahan utama dunia Muslim, yang menyebabkan dunia Muslim mengalami ketertinggalan dan menguatkan otoriterisme. Jadi, meskipun Kuru tidak membantah dampak negatif dari kolonialisme Barat, akan tetapi nyatanya kemunduran dunia Muslim sudah dimulai sejak abad 11.

Catatan Reflektif

Saya berpandangan, tesis utama yang dibangun oleh Kuru dengan mendasarkan pada analisis historis untuk menjelaskan ketertinggalan dunia Muslim di kontemporer, akan sulit dibantah. Dalam studinya tersebut, menunjukkan juga bahwa Kuru yang merupakan guru besar ilmu politik sangat piawai menggunakan pendekatan multidisipliner sehingga menghasilkan karya yang komprehensif.

Baca Juga:  Mutu Guru dalam Pengajaran Pendidikan Agama Islam

Dari hasil studi yang ditulis oleh Kuru, tentu dapat menjadi tantangan bagi dunia Muslim, karena yang perlu diupayakan untuk mengejar ketertinggalan dari dunia Barat, yaitu mereformasi kelembagaan untuk menumbuhkan intelektual yang kreatif dan kemajuan sosio-ekonomi.

Akan tetapi, ada hal lain yang menurut saya akan menarik untuk dielaborasi atau diteliti lebih lanjut, yaitu soal mengapa pada masa awal sejarah Islam yang dirujuk oleh Kuru tersebut para pedagang ataupun borjuis mau membiayai kepentingan pengembangan ilmu? Dan mengapa patronase nagara dan sarjana tidak membahayakan kebebasan berpikir dan atau kemajuan pengetahuan?

Apakah hal itu justru bagian dari kepentingan kekuasaan dan kelas pedagang juga? Misalnya saja, kita dapat membaca tulisan Ashgar Ali Enginer dalam Islam dan Teologi Pembebasan (2009), yang menyebut bahwa persentuhan dunia Islam dengan pengetahuan Yunani dan fokus terhadap diskursus tersebut, justru menyebabkan narasi teologi pembebasan ataupun keberpihakan Islam pada kaum tertindas dipinggirkan atau dilupakan oleh para sarjana Islam, sehingga semangat api revolusioner dalam khazanah keislaman nampak redup.

0 Shares:
You May Also Like