Hadiah Terbaik Bagi yang Berpuasa

Buku               : Puasa Sufistik: Mereguk Pesan-Pesan Batin Ibadah Puasa

Penulis            : Darmawan

Halaman          : xviii + 125

Penerbit           : Nuralwala

Betapa banyak manusia berpuasa, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu dari puasanya selain rasa lapar dan haus”. Demikian, sabda Nabi yang rasanya tidak pernah ketinggalan dikutip setiap Ramadan oleh para dai, mubaligh, dan ulama saat berdakwah di mimbar-mimbarnya.

Secara syari, puasa bermakna menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, yakni makan, minum, dan berhubungan seksual sejak terbit fajar, hingga terbenamnya matahari. Namun, apa maksudnya sabda Nabi bahwa banyak orang yang tidak memperoleh sesuatu dari puasanya selain lapar dan haus? Bukankah merasakan lapar dan haus adalah konsekuensi dari menahan diri dari makan dan minum? Sesuatu yang menjadi esensi puasa? Lalu, apa yang sebenarnya diharapkan oleh Nabi terhadap orang yang berpuasa? Adakah hal yang lebih esensial daripada lapar dan haus dalam berpuasa?

Buku Puasa Sufistik: Mereguk Pesan-Pesan Batin Ibadah Puasa karya Darmawan—yang segera akan kita review—kiranya menyediakan jawaban bagi pertanyaan tersebut. Buku ini terbagi ke dalam tiga bagian utama. Bagian pertama, membahas sekilas mengenai Tasawuf, ilmu batin Islam yang akan digunakan untuk membedah makna puasa. Bagian kedua, membahas puasa secara generik termasuk di dalamnya penjelasan mengenai Ramadan, serta fungsi dan tujuan puasa. Terakhir, bagian ketiga membahas puasa sufistik. Pada bagian ini, didedahkan berbagai sudut pandang tokoh-tokoh sufi mengenai puasa mulai dari tokoh yang lama hingga yang belakangan, mulai dari Timur Tengah hingga ulama Nusantara. Yang kesemuanya menekankan pentingnya puasa batin sebagai jalan menuju transformasi diri.

Membaca buku ini, kita diantar berwisata mengenali tokoh-tokoh sufi terkemuka melalui gagasan-gagasannya, khususnya mengenai puasa. Sehingga, di akhir kita akan merasakan betapa puasa adalah ibadah yang unik dan spesial. Tentu saja, bukan puasa yang hanya menahan makan, minum, dan senggama saja, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Yakni puasa yang berdampak pada transformasi diri, bukan sekedar formalitas semata.

Baca Juga:  Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan Dunia Muslim

Berkali-kali, kita akan menjumpai penulis mengutip hadis Qudsi, “Puasa adalah Milik-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya” dalam buku ini. Jika ditafakuri puasa adalah ibadah yang pasif, alih-alih ‘diperintahkan mengerjakan sesuatu, kita justru disuruh untuk jangan mengerjakan sesuatu’. Ibadah yang lain, semisal salat dan haji, jelas terdapat aktivitas zahir yang bisa disaksikan, sedangkan puasa sama sekali tidak ada, negatif, pasif. Tak dapat dibedakan antara yang puasa dengan yang tidak. Oleh karena itu, Allah-lah yang mengetahui hakikat siapa di antara hambanya yang berpuasa.

Puasa, juga menjadi sarana bagi hamba (manusia) untuk melatih diri berakhlak mulia, bahkan sebagaimana hadis Nabi “berakhlak dengan akhlak Allah”. Kenapa demikian? Tentu yang dimaksud bukan menjadi sama dengan Allah, namun kita sebagai hamba-Nya haruslah mencerminkan sifat-sifat-Nya yang agung di alam kasar ini dan sebisa mungkin hidup untuk menjadi alat Tuhan menebarkan asma’ al-husna-Nya, khususnya sifat cinta dan kasih Tuhan, ar-Rahman. Oleh karenanya, peran puasa sangat strategis dalam membina manusia demi tujuan ini.

Betapa tidak, saat puasa kita sejatinya sedang meniru perbuatan Allah itu sendiri. Allah ialah zat yang tidak makan, tidak minum apalagi berhubungan seksual, Dia sama sekali tidak membutuhkan itu. Namun, di saat yang bersamaan Dialah yang memberi makan, minum serta merahmati dan menjaga alam semesta. Manusia, dengan demikian diharapkan melalui puasa tumbuh di dalam dirinya sifat-sifat-Nya, sebagaimana diungkap Darmawan, menjadi yang memberikan makan, meskipun tidak makan, bukan sebaliknya. Ujungnya, manusia harus menjadi rahmatan lil alamin, bermanfaat bagi dirinya serta selainnya.

Dari sini, dapat dipahami makna hadis di atas, bahwa puasa yang benar adalah milik Allah, sebab hanya Allah yang mampu untuk selamanya tidak makan-minum. Allah pula yang mampu mencurahkan Rahmat (memberi makan, minum) pada selainnya. Sedangkan manusia hanya dapat melaksanakan semampunya. Benar pula, bahwa Allah sendiri yang membalas pahala puasa, bahkan dalam salah-satu judul pembahasan dalam buku ini, Darmawan memaparkan pendapat Ibn ‘Arabi, bukan saja Allah yang memberi ganjaran, lebih dari itu balasannya itu adalah Allah itu sendiri. Maksudnya, orang yang berpuasa dengan benar, dia menjadi “mirip” dengan Tuhan, pastilah ia menjadi manifestasi Tuhan di dunia, perpanjangan tangan Tuhan, alat Tuhan untuk menebar cinta dan kasih. 

Baca Juga:  Multiple Intelligences Sebagai Strategi Pengajaran Masa Kini

Sejauh itu pentingnya puasa, sehingga mengantarkan pelakunya menjadi mirip dengan Tuhan, dengan kata lain hidup selaras dengan kehendak Allah. Oleh karenanya, beroleh kebahagiaan sejak di dunia, hingga di akhirat. Namun justru kita jarang merenunginya dan lebih memilih menjalankan puasa secara formal saja. Sehingga, meski berkesempatan mendapatkan balasan langsung dari Allah, bahkan Allah sendiri balasannya, kita justru hanya menjadi orang yang hanya memperoleh lapar dan haus.

Buku Puasa Sufistik Mereguk Pesan-Pesan Batin Ibadah Puasa karya Darmawan ini, sangat baik untuk menginspirasi kita agar lebih memahami hakikat puasa, yang tidak hanya zahirnya saja, namun juga—bahkan cenderung pada—batinnya. Sebab, jika secara zahir kita memperoleh lapar dan haus, maka secara batin kita memperoleh pemilik seluruh alam, Allah, Tuhan Yang Maha pengasih. Apalagi hadiah yang lebih baik dari itu?

0 Shares:
You May Also Like