Cinta dan benci adalah dua hal yang tak pernah luput dari kehidupan manusia. Cinta artinya suka sekali; sayang benar. Mencintai berarti menaruh kasih sayang kepadanya; menyukai. Kebencian ialah perasaan sangat tidak suka. Membenci artinya merasa sangat tidak suka atau tidak menyenangi. Cinta dan benci adalah ibarat air dan minyak; keduanya tak pernah bersatu.
Orang tidak mungkin mencintai sesuatu sekaligus membencinya, karena Allah tidak menciptakan dua hati dalam rongga dada manusia. Ia tidak dapat menghimpun dua sikap yang tidak sejalan, yakni pengabdian kepada Allah dan kepada selain-Nya; menganut kebenaran agama dan sekaligus percaya kepada takhayul. Ibarat bejana, jika hati penuh dengan kebatilan, maka tidak ada tempat untuk cinta kepada Allah. Jika hati berisi perkataan Allah, maka pengetahuan tentang kesempurnaan akan memenuhinya.
Al-Quran menyebut cinta, hubb dan derivasinya sebanyak 83 kali, sedangkan lawan katanya, benci, bugd-bagda’ sebanyak 5 kali. Kata yang berdekatan dengan bugd ialah sukht, disebut 4 kali; lawan katanya ridha terulang 73 kali. Hubb dan mahabbah seakar dengan habb yang artinya biji atau inti. Hubb disebut habbat al-qalb, biji atau inti hati, karena keserupaan aktivitasnya. Jika dikatakan, “aku mencintai Fulan, berarti aku menemukan inti hatinya, sama dengan aku jadikan hatiku sebagai sasaran dan tujuan cintanya”.
Syahdan, cinta itu adalah kehidupan. Apabila cinta hilang dari jiwa seseorang, ia bagaikan hidup dalam kematian. Cinta adalah cahaya. Apabila cinta hilang dari hati seseorang, ia bagaikan berada dalam kegelapan. Cinta laksana obat penawar. Apabila tidak ada cinta, maka hati akan ditimpa penyakit. Cinta adalah nikmat.
Jika seseorang tidak mendapatkannya, hidupnya penuh kegelisahan. Orang yang tengah jatuh cinta hanya menginginkan apa yang disukai kekasihnya. Seseorang mencintai apa yang dicintai kekasihnya, dan membenci apa yang dibenci kekasihnya. Kerinduan menguat menurut kekuatan cinta, dan melemah menurut lemahnya cinta. Bila cinta kepada kekasih kuat, keinginan untuk berhubungan dengannya pun semakin kuat pula.
Cinta manusia itu bermacam bentuk. Pertama, cinta untuk kenikmatan, seperti cinta pria kepada wanita. Kedua, cinta untuk manfaat, seperti kecintaan terhadap sesuatu untuk memperoleh manfaatnya. Ketiga, cinta untuk keutamaan, seperti kecintaan kepada ahli ilmu.
Orang mencintai orang-orang berilmu. Makin banyak ilmu seseorang, makin disukailah ia. Manusia mencintai orang saleh disebabkan: Pertama, karena ilmunya. Ia memiliki ilmu lebih banyak daripada orang lain; mengenal Allah, kitab-Nya dan Rasul-Nya. Kedua, karena kemampuannya. Ia mampu memperbaiki diri dan orang lain. Ketiga, karena ia bersih dari cacat dan kejelekan. Cinta membangkitkan kepribadian dan memunculkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalamnya.
Lalu Siapa Orang yang Dicintai Allah?
Cinta Allah kepada manusia tidak terpisah dari cinta manusia kepada-Nya. Al-Qur’an dalam surah Al-Maidah [5]: 54, sudah menegaskannya. Dalam tinjauan tasawuf, kecintaan kepada Allah adalah puncak perjalanan manusia, puncak tujuan seluruh maqam. Setelah mahabbah (cinta), tak ada lagi maqam lain kecuali buah mahabbah itu, seperti syauq (kerinduan), uns (kemesraan), ridha, dan tidak ada maqam sebelum mahabbah kecuali pengantar-pengantar kepadanya, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lainnya.
Guru-guru sufi mengajarkan pada murid-murid mereka bahwa kewajiban mereka adalah memenuhi kehendak Allah, bukan karena sebuah rasa kewajiban, tetapi lebih karena cinta, sebab adakah sesuatu yang lebih besar daripada cinta yang tak bersyarat yang manusia persembahkan kepada Tuhannya? Seorang pecinta Tuhan tahu bahwa kesusahan adalah tangan Tuhan Yang Tercinta, yang dia rasakan, dia percayai; bahwa apa pun yang menimpanya untuk kebaikannya semata, karena Tuhan mengetahui apa yang baik bagi pertumbuhan jiwa dan penyucian roh ciptaan-Nya.
Meski demikian, kecintaan Allah kepada hamba-Nya berarti Allah memberinya kenikmatan dan pahala. Siapa saja yang dicintai Allah, maka Dia akan memberikan rezeki, kecintaan, dan kedudukan di hadirat-Nya. Adapun cinta hamba kepada Allah berarti ia mencari dan meminta rida-Nya. Jika Allah tidak mencintai hamba-Nya, berarti Ia menahan kenikmatan dan pahala yang dijanjikan kepada hamba yang dicintai-Nya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT berfirman, ‘Barang siapa memusuhi salah seorang wali-Ku, maka sungguh Aku telah memaklumkan kepadanya peperangan. Dan tidak akan dapat hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku selain dengan apa yang telah Aku fardhukan atas dirinya. Demikian pula hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan sunah-sunah sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Akulah yang menjadi telinganya yang ia mendengar dengannya, Aku menjadi tangannya yang dengannya ia memukul, dan Akulah yang menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Seterusnya, kalau ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku memberinya, dan bila ia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya’” (HR. Imam Bukhari).
Nabi SAW bersabda, “Apabila Allah SWT telah mencintai seorang hamba, maka malaikat Jibril akan berseru, bahwa sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka aku pun mencintainya, sehingga Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril berseru kepada para penghuni langit, ‘Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah ia, sehingga ia dicintai oleh para penghuni langit. Kemudian diletakkan untuknya kemakmuran di bumi’” (HR. Imam Bukhari).
Hadis-hadis di atas sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an: “Ingatlah Aku, maka Aku akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku” (QS. Al-Baqarah [2]:152).
Alkisah, suatu waktu Sahabat Anas dan Rasulullah SAW keluar dari masjid. Tiba-tiba mereka berjumpa dengan seseorang dan bertanya, “Wahai Rasulullah, kapankah kiamat?” Rasulullah SAW menjawab dengan balik bertanya, “Apakah kamu sudah menyiapkan bekal menghadapi hari kiamat?” Ia menjawab, “Aku belum mempersiapkannya dengan melakukan banyak shalat, juga berderma dan tidak juga dengan banyak puasa. Akan tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Maka beliau menjawab, “Kelak kamu akan bersama orang yang kamu cintai” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Orang yang Berbuat Baik
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Nafkahkanlah hartamu di jalan Allah dan jangan jerumuskan diri ke dalam kehancuran dengan tangan sendiri. Berbuatlah kebaikan. Sungguh Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” (QS. Al-Baqarah [2]:195).
“Berlombalah mendapatkan ampunan Tuhanmu, dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan bagi orang bertakwa. Yaitu orang yang menafkahkan hartanya di waktu lapang atau dalam kesukaran; dapat menahan kemarahan dan memberi maaf kepada orang. Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. Dan mereka yang bila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri segera mengingat Allah dan memohon ampunan atas segala dosanya dan siapa yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa demikian padahal mereka tahu. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, tempat mereka tinggal selamanya dan itulah pahala terbaik bagi orang yang beramal” (QS. Ali Imran [3]:133-136).
“Berapa banyak nabi-nabi yang berperang di jalan Allah bersama sejumlah besar pengikut-pengikutnya. Mereka tak merasa lemah karena bencana yang menimpa di jalan Allah, dan tak patah semangat, juga tak menyerah. Dan Allah mencintai orang yang berhati tabah. Tiada lain yang mereka katakan hanyalah, “Tuhan, ampunilah segala dosa kami dan tindakan kami yang berlebihan dalam kewajiban kami, teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami melawan orang kafir.” Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Karena Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” (QS. Ali Imran [3]:146-148).
“Maka maafkanlah mereka dan lupakanlah; Allah mencintai orang yang berbuat baik” (QS. Al-Maidah [5]:13).
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan waspadalah. Jika kamu berpaling, ketahuilah tugas Rasul Kami hanyalah menyampaikan amanat dengan sejelas-jelasnya. Bagi mereka yang beriman dan berbuat baik tiada berdosa atas apa yang mereka makan waktu lalu, selama mereka menjaga diri dan beriman dan berbuat segala amalan baik, kemudian menjaga diri dan beriman, kemudian sekali lagi menjaga diri dan berbuat baik. Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” (QS. Al-Maidah [5]:92- 93).
Pada ayat pertama dan kedua di atas, yang dimaksud kebaikan ialah menafkahkan harta di jalan Allah, pada waktu lapang atau dalam kesukaran, menahan kemarahan dan memberi maaf kepada orang, memohon ampunan atas segala dosa serta tidak meneruskan perbuatan dosa demikian padahal mereka tahu. Seseorang yang suka-rela bersedekah termasuk orang yang mencintai Allah, dan Allah sangat mencintai hamba-Nya yang dermawan, murah hati, dan ringan tangan. Allah melipatgandakan pahala dan melimpahkan ketenteraman.
Sementara, pada ayat ketiga, kebaikan meliputi perang di jalan Allah, tidak lemah ditimpa bencana di jalan Allah, tidak patah semangat, dan tidak menyerah; tabah dan senantiasa memohon ampun atas dosa dan tindakan berlebihan. Pada ayat keempat, memaafkan kesalahan orang. Pada ayat kelima, kebaikan itu meliputi kewajiban kepada Allah dan diri sendiri dengan menjaga diri dan menjalankan kewajiban kepada sesama.