Melacak Tradisi Filsafat Ismailiyah
Anthology of Philosophy Persia Ismaili Thought in the Classical Age From Jabir Ibn Hayyan to Nasir al-Din Tusi (2008) karya Seyyed Hossein Nasr dan Mehdi Aminrazavi ini, barang kali menjadi satu-satunya literatur filsafat Islam yang sedikit banyak mengulas tentang tradisi filsafat Ismailiyah yang cukup komprehensif dan sangat menarik.
Tentu, hal ini hanya sepanjang pengalaman penulis selama bergelut dalam studi filsafat Islam dan pemikiran Islam. Entah itu karena minimnya bacaan penulis terhadap hal ini, atau memang benar, literatur yang membahas tradisi filsafat Ismailiyah ini sangat minim, apalagi literatur berbahasa Indonesia.
Dalam tradisi filsafat Islam yang ada di ruang lingkup civitas akademika saat ini, kita selalu hanya dihadapkan dan diperkenalkan dengan tradisi filsafat Islam Paripatetik. Padahal, kalau kita mau menelusuri dan menelisik lebih jauh lagi, pada abad-abad awal pertama sejarah Islam, maka kita akan didapati banyak kejutan dari khazanah intelektual Islam.
Dalam tradisi filsafat Islam misalnya, kita tak hanya memiliki tradisi filsafat Islam Paripatetik saja, melainkan ada tradisi filsafat Ismailiyah yang juga dikenal baik pada perkembangan awal, bahkan tradisi filsafat Ismailiyah dianggap sebagai sinonim dari tradisi filsafat Islam Paripatetik.
Konon, jauh-jauh hari sebelum kemunculan para filsuf Muslim Paripatetik seperti, al-Kindi, al-Farabi dan kawan-kawan sebagaimana yang kita kenal sampai saat ini, tradisi filsafat Ismailiyah memiliki sejarah panjang dan sudah dikenal, bahkan sangat produktif. Tradisi filsafat Ismailiyah, diidentifikasi dengan kebenaran yang ada dalam agama sehingga memiliki ciri esoterik tersendiri.
Dalam perkembangannya, tradisi filsafat Ismailiyah tak hanya menjadi latar belakang dari perkembangan filsafat Islam, melainkan juga sebagai pendorong bagi pertumbuhan dan perkembangan dari tradisi filsafat lain yang terpisah. Dalam tradisi filsafat Ismailiyah tema-tema yang menjadi pembahasan masih seputar hal mendasar Islam seperti, keesaan (al-tawhid), realitas kitab suci, dan ini agak berbeda dengan berbagai tema yang berkembang dari tradisi filsafat Islam Paripatetik.
Umm al-Kitab adalah karya paling awal yang ditulis, kira-kira ditulis sekitar abad ke-8 Masehi. Karya ini berisi tentang rekaman dialog antara Imam Muhammad al-Baqir, yang dikenal sebagai imam kelima dalam tradisi teologi Syi’ah dan ketiga muridnya sebagai refleksi gnosis Syi’ah, hal ini menjadi semacam elaborasi paling awal dari tradisi filsafat Islam.
Pada dasarnya, Umm al-Kitab ini berisi tentang penekanan ilmu esoterik tentang lambang-lambang yang berkembang dalam tradisi filsafat Syi’ah paling awal dan juga menjelaskan dasar kosmologi pada angka lima di mana hal semacam ini dianggap lebih mirip dengan skema kosmologi orang-orang Mani.
Dari sini kemudian atau, tepatnya dua abad sesudahnya, tradisi filsafat Ismailiyah muncul tokoh seperti, Abu Ya’qub al-Sijistani (w. 360/971). Terkait al-Sijistani ini pemaparan Paul E. Walker dalam Eraly Philosopical Shiim: the Ismaili Neoplatonism of Abu Ya’qub al-Sijistani (1993) terbilang cukup menarik dengan mengatakan kalau al-Sijistani ini merupakan tokoh Ismailiyah yang beraliran Neoplatonimse yang sangat berpengaruh.
Selanjutnya ada Hamid al-Din al-Kirmani penulis Rahat al-Aql yang dianggap sebagai karya paling sistematis tentang ajaran-ajaran filsafat Ismailiyah awal serta karya terbesar filsuf Ismailiyah. Dan, ada juga Nasir-i Khusraw, seorang pujangga dan filsuf berkebangsaan Persia yang juga sangat terkenal di mana dalam setiap tulisannya lebih banyak menggunakan bahasa Persia daripada bahasa Arab. Karya terbesar Nasir-i Khusraw adalah Jami’ al-Hikmatayn yang berusaha membanding dan mengkontraskan antara filsafat yang terverifikasi dengan wahyu dan tradisi filsafat Yunani.
Setelah surutnya Dinasti Fatimiyah di Mesir, tradisi filsafat Ismailiyah terus berkembang baik, di Persia maupun di Yaman. di Persia ada Hasan as-Sabah yang mendengungkan kebangkitan kembali tradisi Ismailiyah di benteng pegunungan Alamut dan menetapkan pemerintahan Ismailiyah yang baru dalam benteng Persia Utara. Dari sinilah oleh kalangan intelektual dianggap sebagai perjumpaan sejarah dalam tradisi filsafat Ismailiyah semakin akrab dengan tradisi sufisme.
Para sufi tertentu dan para punjangga seperti, Sana’i dan Attar, serta Qasim-i Anwar (w. 837/1434) dianggap bagian dari Ismailiyah sebagai khazanah tradisi filsafat Ismailiyah. Bahkan, muncul juga sufi besar yang ikut memberi komentar seperti Sa’dudin Mahmud Syabistari dengan karyanya berjudul Haqqul Yakin dan Risalai Shaded, disamping Gulsyan-i Raz menjadi bagian dari periode penting metode-metode filsafat Ismailiyah. Terjemahan karya tersebut bahasa Indonesia berjudul Kebun Mawar Rahasia (2001) diterbitkan oleh penerbit Risalah Gusti.
Tokoh penting lainnya pada masa ini adalah Nasir al-Din al-Tusi dengan karyanya berjudul Tasawwurat dianggap sebagai karya yang memiliki peran penting atas metode filsafat Ismailiyah yang disusun dengan gaya prosa dalam bahasa Persia. Tradisi filsafat Ismailiyah pada periode ini terus berlanjut dengan sangat baik hingga sekitar abad ke 16 Masehi.
Di Yaman, tradisi filsafat Ismailiyah memiliki bentuk baru di mana lebih dekat dengan Dinasti Fatimiyah dan dapat dikatakan mencapai puncaknya di masa Sayyidina Idris Imad al-Din (w. 972/1468). Dari Yaman ini kemudian, tradisi filsafat Ismailiyah akhirnya bercabang dan bertahan di India serta merupakan bagian dari kelanjutan tradisi Alamut yang dikemudian hari menjadi Agha Khanid.
Uniknya, kalangan pelajar dan intelektual Ismailiyah di Yaman pada umumnya mengikuti gaya penulisan dalam karya-karya filsafat yang lebih klasik seperti Hamid al-Din dan Nasir-i Khusraw, di mana tradisi Alamut tetap mewakili lingkaran imamalogi dan pengalaman mistik antara teosofi Ismailiyah dan metafisika kaum sufi.
Di tengah perkembangan tradisi filsafat Ismailiyah tersebut, berbagai karya-karya tokoh Ismailiyah juga bermunculan yang disinyalir banyak dipengaruhi tradisi lainnya dengan cara menerjemah ke dalam bahasa Arab, sehingga tak hayal dikenal baik sebagai ahli kimia maupun filsuf. Salah satunya, Jabir bin Hayyan yang hidup disekitar abad ke-8 Masehi dikenal sebagai ahli kimia Islam dan banyak menulis tentang filsafat yang dianggap mendapat inspirasi dari tradisi hermetika.
Pada periode selanjutnya tradisi filsafat Ismailiyah dalam bidang kimia ini dilanjutkan generasi berikutnya seperti, Abu-i Qasim al-Iraqi, Izz al-Din al-Jaldaki, dan Abu Maslamah al-Majriti, tokoh-tokoh ini sebagai penting dalam tradisi filsafat Ismailiyah dan dianggap memiliki pengaruh terhadap kebangkitan dalam sektor kehidupan intelektual Islam. Selain itu, hampir semua karya-karyanya sudah diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin.
Dengan demikian, menelisik tradisi filsafat Ismailiyah memiliki lingkaran inti yang tercermin dan termanifestasi dalam banyak bentuk eksposisi tradisi filsafat melalui sejarah intelektual Islam yang tercermin dalam diri para pemikir dan sejumlah filsuf besar.