Rida Allah, Rida Orang Tua

Jika kita membuka lembaran-lembaran suci Al-Qur’an, maka kita akan menemukan betapa banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya (birrul wālidayn). Beberapa di antaranya adalah Al-‘Ankabūt (29): 8, Luqmān (31): 14, dan Al-Aḥqāf (46): 15. Bahkan beberapa ayat yang lain menyandingkan perintah beriman dan beribadah kepada Allah dengan perintah birrul wālidayn (Wahbah az-Zuḥaylī, at-Tafsīr al-Munīr, 2009, XI: 160). Ayat-ayat tersebut adalah Al-Baqarah (2): 83, An-Nisā’ (4): 36, Al-An‘ām (6): 151, dan Al-Isrā’ (17): 23.

Selain itu, Allah juga menyandingkan perintah bersyukur kepada-Nya dan perintah bersyukur kepada kedua orang tua. Hal ini disebutkan dalam surah Luqmān (31): 14, yaitu: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Dengan demikian, setiap muslim harus bersyukur kepada Allah atas nikmat iman dan nikmat-nikmat lain yang tidak terhingga. Selain itu, dia harus bersyukur kepada orang tuanya atas nikmat pengasuhan dan pendidikan; bahkan mereka merupakan sebab bagi keberadaannya dan sumber kebaikan baginya setelah Allah. Menurut Sufyān bin ‘Uyaynah, barang siapa yang melaksanakan salat fardu, maka dia telah bersyukur kepada Allah. Barang siapa yang mendoakan orang tuanya setiap selesai salat fardu, maka dia telah bersyukur kepada mereka (at-Tafsīr al-Munīr, VIII: 65 & XI: 161 & 167).

Oleh karena itu, birrul wālidayn merupakan kewajiban yang bersifat pasti dalam Islam. Sebaliknya, durhaka kepada kedua orang tua merupakan dosa besar. Pendek kata, setiap muslim wajib berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya, terutama kepada seorang ibu. Berbakti dan berbuat baik kepada seorang ibu lebih diutamakan daripada seorang ayah berdasarkan dua alasan (Al-Qur’an dan hadis). Pertama, seorang ibu menghadapi kesusahan-kesusahan yang tidak dihadapi oleh seorang ayah, seperti mengandung selama sembilan bulan, melahirkan, dan menyusui sebagaimana disebutkan dalam surah Luqmān (31): 14 dan Al-Aḥqāf (46): 15. Selain itu, seorang ibu juga memiliki andil besar dalam mendidik anak-anaknya. Kedua, seseorang pernah bertanya kepada Nabi Muhammad saw. seraya berkata, “Saya harus berbakti kepada siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia berkata lagi, “Lalu, siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Lalu, siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Lalu, siapa lagi?” Beliau menjawab, “Bapakmu.” (at-Tafsīr al-Munīr, VIII: 65 & XI: 167)

Baca Juga:  Renungan Pagi Hikmah Kisah Nabi Yunus

Kewajiban birrul wālidayn ini hanya menyangkut perkara baik yang diperbolehkan oleh syariat, bukan menyangkut perkara haram dan maksiat. Dalam hal ini, setiap muslim wajib menaati perintah kedua orang tuanya jika perintah tersebut berkaitan dengan perkara yang diperbolehkan oleh syariat. Namun, jika perintah itu berkaitan dengan perkara haram, maka ia tidak boleh menaati perintah tersebut. Bahkan ia haram menaati perintah tersebut jika berkaitan dengan maksiat yang besar, seperti menyekutukan Allah dan meninggalkan fardu ain. Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk melakukan maksiat kepada Khalik (Allah). Jika perintah itu menyangkut perkara meninggalkan sunah, maka ia disunahkan menaati perintah tersebut. Contohnya adalah meniggalkan jihad yang bersifat fardu kifayah dan membatalkan salat sunah karena menjawab panggilan orang tua (at-Tafsīr al-Munīr, XI: 166-167). Jika perintah kedua orang tua itu berkaitan dengan perkara syubhat, maka―menurut sebagian besar ulama―ia wajib menaati perintah tersebut. Sebab, meninggalkan perkara syubhat merupakan sikap warak (kehati-hatian), sedangkan rida kedua orang tua merupakan keharusan (Al-Gazālī, Iyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, II: 222).

Menurut Imam al-Gazālī, seorang anak tidak boleh bepergian (baik untuk urusan yang diperbolehkan maupun untuk urusan yang disunahkan) tanpa izin dari kedua orang tuanya. Contohnya, seseorang tidak boleh pergi untuk mencari ilmu tanpa izin dari kedua orang tuanya. Sebab, meskipun mencari ilmu adalah wajib, tetapi pergi (dari rumah) untuk mencari ilmu adalah sunah. Dia boleh pergi mencari ilmu agama yang bersifat wajib (seperti ilmu tentang salat dan puasa) meskipun tanpa izin dari kedua orang tuanya jika di tempatnya tidak ada orang yang mengajar ilmu agama tersebut. Hal ini sama dengan orang yang baru masuk Islam. Jika di tempat orang tersebut tidak ada orang yang mengajar ilmu agama, maka dia harus pergi untuk mencari ilmu agama meskipun tanpa izin dari kedua orang tuanya (Iyā’, hlm. 222).

Contoh lain, ada seorang sahabat dari Yaman ingin berjihad bersama Nabi Muhammad saw., tetapi dia tidak meminta izin terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya. Mengetahui hal itu, Nabi saw. pun menyuruh sahabat tersebut untuk kembali ke rumahnya dan meminta izin kepada kedua orang tuanya. Jika mereka mengizinkan, maka dia boleh ikut berjihad. Namun, jika mereka tidak mengizinkan, maka dia tidak boleh ikut berjihad. Dia harus berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya semampunya. Sebab, hal itu (birrul wālidayn) merupakan perkara yang paling baik setelah tauhid (Iyā’, hlm. 222-223).

Baca Juga:  BAGAI DAUN-DAUN KERING TERTIUP ANGIN DI MAKKAH DAN MADINAH (BAGIAN 1)

Keutamaan Birrul Wālidayn dan Bahaya Durhaka kepada Orang Tua

Birrul wālidayn memiliki keutamaan yang sangat luar biasa dalam Islam, dan durhaka kepada kedua orang tua merupakan bahaya yang sangat besar. Ada banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan birrul wālidayn dan bahaya durhaka kepada kedua orang tua. Beberapa hadis tersebut di antaranya adalah: pertama, “Keridaan-Ku (Allah) berada dalam keridaan kedua orang tua, dan kemarahan-Ku berada dalam kemarahan kedua orang tua.” Kedua, firman Allah kepada Nabi Musa as., yaitu: “Wahai Musa, barang siapa yang berbakti kepada kedua orang tuanya dan durhaka kepada-Ku, maka Aku mencatatnya sebagai orang yang berbakti. Dan barang siapa yang durhaka kepada kedua orang tuanya dan berbakti kepada-Ku, maka Aku mencatatnya sebagai orang yang durhaka.” Ketiga, firman Allah kepada Nabi Muhammad saw., yaitu: “Katakanlah (Muhammad) kepada orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, ‘Lakukankah apa saja yang kamu mau, karena Allah akan mengampunimu.’” Keempat, “Birrul wālidayn menjadi penebus bagi dosa-dosa besar.” Kelima, “Birrul wālidayn adalah lebih utama daripada salat, sedekah, puasa, haji, umrah, dan jihad di jalan Allah.” Keenam, “Barang siapa yang menyakiti kedua orang tuanya atau salah satunya, maka dia akan masuk neraka.” (Iyā’, hlm. 220 & as-Suyūṭī, Lubāb al-adīś, hlm. 48-49)

Menurut Syekh al-Manāwī, berbakti atau durhaka kepada kedua orang tua tidak berdiri sendiri, tetapi ia merupakan bagian dari ketaatan atau kedurhakaan kepada Allah (Muhammad Nawawī al-Jāwī, Tanqī al-Qawl al-aśīś fī Syar Lubāb al-adīś, hlm. 48). Oleh karena itu, jika seorang anak berbakti kepada kedua orang tuanya, maka berarti dia juga berbakti kepada Allah. Jika dia durhaka dan menyakiti kedua orang tuanya, maka berarti dia juga durhaka dan menyakiti Allah. Sebaliknya, orang yang berbakti kepada Allah tidak mesti berbakti kepada kedua orang tuanya, dan orang yang durhaka kepada Allah tidak mesti durhaka kepada kedua orang tuanya. Maka dari itu, kadang ada orang yang berbakti kepada Allah, tetapi durhaka kepada kedua orang tuanya, dan kadang ada orang yang durhaka kepada Allah, tetapi berbakti kepada kedua orang tuanya (Nasrullah Ainul Yaqin, “Kisah Ahli Ibadah yang Durhaka kepada Orang Tuanya”, dalam https://sungkemkiai.com/kisah-ahli-ibadah-yang-durhaka-kepada-orang-tuanya/, 2024).

Baca Juga:  Syarah Syair Qad Kafani 2: Hakikat Doa

Dari Alam Fana hingga Alam Baka

Kewajiban birrul wālidayn ini tidak hanya berlaku ketika orang tua masih hidup saja, tetapi juga berlaku ketika mereka sudah meninggal. Rasulullah saw. mengajarkan beberapa cara birrul wālidayn kepada orang tua yang sudah meninggal, di antaranya adalah: pertama, mendoakan keduanya. Kedua, memintakan ampun (beristigfar) kepada Allah untuk keduanya. Ketiga, bersedekah untuk keduanya. Keempat, memenuhi wasiat-wasiat keduanya. Kelima, memuliakan sahabat-sahabat keduanya. Keenam, menjalin silaturahmi kepada kerabat-kerabat keduanya. Menurut Rasulullah saw., seorang anak yang bersedekah untuk orang tuanya yang muslim, maka mereka akan mendapatkan pahala sedekah tersebut. Di sisi lain, dia juga akan mendapatkan pahala seperti pahala yang didapatkan oleh orang tuanya itu tanpa mengurangi pahala mereka (at-Tafsīr al-Munīr, VIII: 60 & Iyā’, hlm. 221).

Lalu, bagaimana jika seorang muslim memiliki orang tua yang non muslim? Apakah dia masih wajib birrul wālidayn kepada keduanya? Menurut Syekh Wahbah az-Zuḥaylī, kewajiban birrul wālidayn berlaku kepada semua orang tua, baik muslim maupun non muslim. Oleh karena itu, berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua, baik muslim maupun non muslim, adalah wajib selama tidak menyangkut perkara haram dan maksiat. Hal ini berdasarkan surah Luqmān (31): 15, yaitu: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (at-Tafsīr al-Munīr, VIII: 66 & XI: 166-167)

Salah satu bentuk birrul wālidayn seorang anak kepada orang tua yang non muslim dan masih hidup adalah mendoakan keduanya agar mendapatkan hidayah dan mendapatkan rahmat ketika sudah beriman. Dia juga boleh mengajak kedua orang tuanya yang non muslim untuk memeluk Islam dengan ajakan yang lemah lembut. Namun, jika orang tuanya yang nonmuslim tersebut sudah meninggal, maka dia tidak boleh mendoakan keduanya. Hal ini berdasarkan keterangan surah At-Tawbah (9): 113 yang melarang memintakan ampun untuk orang-orang musyrik (at-Tafsīr al-Munīr, VIII: 60 & XI: 167). Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam…

0 Shares:
You May Also Like