Malamati

Karena begitu susahnya menahan nafsu riya’/pamer, dalam sejarah tasawuf sampai-sampai lahir kelompok malamatiyah. Mereka menampilkan diri sebagai orang yang tidak memiliki keutamaan, bahkan memberikan kesan buruk, supaya tertutup semua ruang bagi mereka untuk pamer—suatu sifat buruk yang berisiko membuat mereka menjadi munafik. Mereka sampai menolak untuk menampilkan sikap zuhud karena berisiko menjebak diri mereka untuk ingin dilihat sebagai orang baik yang telah bisa menundukkan nafsunya.

Istilah malamatiyah berasal dari kata malamah yang bermakna tuduhan buruk. Begitu sentralnya upaya menundukkan nafsu pamer ini dalam gerakan-gerakan keruhaniahan masih di awal-awal sejarah Islam ini sehingga pernah ada masa yang di dalamnya istilah malamatiyah diidentikkan dengan tasawuf itu sendiri.

Betapa tidak? Bukankah tasawuf bermakna “penyucian” hati. Dan bukankah sumber semua kekotoran hati itu adalah kesombongan, yang darinya bisa lahir ‘ujub, sum’ah, riya’, dan sejenisnya. Termasuk terperangkap sifat ghurur, yakni tertipu oleh kebaikan diri sehingga kebaikan itu justru bisa berakibat burtuk bagi kita. Karena susahnya perjuangan menaklukkan nafsu tampil baik inilah, maka sebagian sufi memilih sekalian menampilkan kesan buruk atas diri mereka itu—meski dengan demikian mereka tak bisa dijadikan panutan. Pikir mereka, dari pada bisa memandu orang tapi berisiko terjebak kemunafikan, biarlah orang melihat mereka sebagai orang buruk dan menjauh dari mereka, tapi dengan demikian mereka bisa lebih terjamin terbebas dari kemunafikan.

Ya, fenomena malamatiyah ini—kalau pun kita anggap terlalu ekstrem—bisa memberi pelajaran kepada kita tentang susahnya menjadi orang baik yang hatinya bersih. Setidaknya menurut pandangan tasawuf. Semoga Allah jauhkan kita semua dari akar sifat-sifat buruk ini.

Baca Juga:  Berteman dengan Orang Fasik, Apakah Baik?
0 Shares:
You May Also Like